NB: Gambar diambil dari Google
: SK (lelaki senja pemilik segala cinta yang kupunya)
Shin,
akankah dengan patahan ranting mahoni yang tersisa kau lukis paras rembulan yang tinggal sepotong di rahim waktu yang kerap melahirkan sajak-sajak nestapa? Berhentilah sejenak. Tanganmu semakin ringkih, tidakkah lelah merangkai kenangan tak sudah yang senantiasa memaksa perasaan mengirim semacam pesan ke sudut benak, lalu menitah ceruk mata untuk menjatuhkan bulir-bulir embun surga, selayaknya fragmen senja yang terkelupas dari bingkai masa? Sudah lima kali almanak berganti wajah, dan aku masih tenggelam dalam kubangan kenang hingga lupa memagari hati, hingga sedih kerap bertandang mencipta gerimis yang menggenangi serambi lalu menelusup ke tiap sendi, ketika aku terdampar di rumah kayumu. Dan selalu, untuk sesaat aku kembali membiarkan sukmaku memaknai remuk redam, ketika sebentuk keegoisan menyeruak ke permukaan. Sebentuk perasaanini masih milikmu, hingga aku tak siap ketika perih menuntunku menelusuri bait-bait kisah yang kini tak lagi kau tujukan untukku.
Shin,
dalam gelegak rindu paling biru, pada satu waktu, aku mengatupkan kedua tangan ketika lonceng gereja tua di sudut kota mulai berdentang, memohon pada barisan waktu agar selalu memeram rahasia kita, manakala sebelah tanganku terlalu gemetar untuk mengukir jejak di samudera hikayat. Dalam pinta yang tergagap kueja, dalam potongan do’a tanpa amin yang kuulang pada birama yang sama, aku berharap agar kau dan aku semakin piawai merawat rerupa luka, melindungi daging segumpal yang bersembunyi di balik barisan tulang itu agar tak lagi merasakan perihnya peluh masa yang memandikan sayatan luka. Tertatih kurapal kata laksana mantera, tak lagi memanja perasaan,dan mencoba berjabat tangan dengan kenyataan.
Shin,
bukankah rajah di telapak tangan kita memiliki sirat-sirat tipis serupa benang halus yang mengandung segantang makna, hingga tak usai kita bersahut kata? Tanyaku tak pernah mengenal ujung, berputar tanpa berminat diam menyuarakan ketidakmengertianku akan ketidaksanggupan untukmengubur sembilan belas abjad perangkai namamu ke dalam genangan lumpur, lalu meninggalkannya tanpa sebarang tiang penanda. Mungkin, karena saat itu aku terlalu memercayaimu, hingga kutitipkan seluruh hatiku, tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan suatu hari kau juga yang akan membuatnya tinggal kepingan. Aku yang terlambat membuat perhitungan bahkan membela diri dengan menyalahkan keadaan yang menurutku bengis, karena membuatku kembali menangis. Betapa pandai lidahku merajut kilah, membuatmu tampak sebagai pihak paling bersalah, hingga aku melupakan kenyataan: benih dusta itu, akulah penaburnya!
Shin,
untuk semua kecewa yang pernah kutoreh atas nama waktu, sebuah kata maaf, masihkan akan memilki makna bagimu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar