Rabu, 19 November 2014

Arti Diamku

NB: Gambar diambil dari Google



Pulang sekarang juga!

Aku sedikit mengerutkan kening membaca pesan singkat dari gadis yang kuklaim sebagai separuhku itu. Apa maksudnya dengan seenaknya memintaku pulang,sementara dia tahu persis betapa sibuknya aku? Terlebih menjelang akhir tahun seperti ini. Kesibukanku akan semakin menggunung. Dan apa-apaan itu? Tanda seru di ujung kalimatnya cukup membuat mataku iritasi. Sebuah perintah yang tak boleh diabaikan. Haaah, aku bukan dirinya yang seorang penulis dengan jam kerja yang bisa dia atur semaunya.

Jangan bertanya apa pun. Pulang sekarang!

Muncul pesan kedua. Dan aku mengedarkan pandanganku ke setiap jengkal ruangan kantorku. Jangan-jangan gadis tengil itu memasang kamera tersembunyi lagi di dalam ruanganku ini, sehingga gerak-gerikku terbaca jelas. Ah, tidak mungkin! Aya tak mungkin melakukan hal sekonyol itu. Gadis itu hanya terlalu mengenalku, karena itu ia seolah bisa membaca isi pikiranku. Dan sekarang, apa yang harus kulakukan? Menuruti keinginan gadis aneh yang sebut sebagai separuh jiwaku yang otomatis membuatku juga terlihat aneh itu, atau tetap berkutat dengan pekerjaanku? Apa yang harus kukatakan pada Big Boss, atasan super galakku? Aaarrrggghhh, kau membuatku tak punya pilihan, Aya!

Kusambar  tas tanganku yang terdiam anggun di tepi meja kerjaku, memasukkan beberapa barang penting, lalu menyambar kunci motorku. Sejenak aku melirik tumpukan kertas di atas meja yang menanti sentuhan tanganku. Ucapkan selamat tinggal pada kertas-kertas itu, Wa, batinku.

Aku memutuskan untuk menuruti permintaan Aya. Setelah kupikir kembali, gadis itu tidak akan pernah memintaku melakukan sesuatu tanpa alasan yang jelas.

“Kau terlambat 10 menit 15 detik,” sambutnya saat aku tiba di muka pintu.

Demi jenggot Dylan, pria Bali yang menjadi kekasihnya, ingin sekali kukemplang kepala gadis itu dengan tas tanganku.

“Apa kau pikir aku pulang lewat jalur khusus yang kau bangun hingga kau berharap aku tiba di rumah tepat waktu? Dan menurutmu, aku tidak perlu melimpahkan pekerjaanku kepada stafku sebelum pergi? Begitu?” aku menggertakkan gigi, menahan geram.

“Seharusnya tak perlu. Dengan bakat terpendamku sebagai aktris, aku sudah menghubungi PakTua, boss-mu yang galak itu. Dengan nada suara yang kubuat se-memelas mungkin, aku mengatakan padanya bahwa aku sangat membutuhkanmu saat ini. Dan pria tua itu termakan tipuanku. Dia bahkan mengijinkanmu libur sehari,” jawabnya enteng sambil tersenyum.

“Apa?!!Katakan sekali lagi!” 

Gadis nekad, batinku. Dia melakukan itu? Ck….

“Masuklah!Ganti pakaianmu, lalu ikut aku,” perintahnya. “Dan aku tak menerima pertanyaan apa pun saat ini.”

Aya sukses membungkam mulutku yang baru saja hendak meloloskan sebuah tanya.

Aku berganti pakaian santai dengan cepat, lalu menemuinya yang selalu terlihat pas mengenakan kaos putih bergambar Mickey Mouse dipadukan dengan celana ¾ serta sepatu kets, dandanan kebanggaannya yang tak pernah ribet soal penampilan.

Gadis itu memasangkan ransel di punggungnya, entah apa isinya. Jangan sampai dia mengajakku kemping lagi, batinku. Oh ayolah, siapa pekerja yang memilih kemping pada hari Selasa, maksudku.

“Jangan kuatir, aku gak akan mengajakmu kemping, kok,” katanya santai tanpa melihatku. Tuh, kan? Apa gadis itu menanam semacam chip di otakku, agar mudah untuk membaca pikiranku.

“Dan jangan berpikir aneh-aneh soal kemungkinan aku menanam chip di otakmu,”sambungnya yang membuatku ternganga. 

Akhirnya kuputuskan untuk mengikuti langkah ringannya yang mengajakku entah kemana. Kami berjalan dalam diam, menelusuri jalan kecil di belakang rumah yang di sisi kiri dan kanannya ditumbuhi tanaman bunga matahari. Aku tak bertanya apa-apa lagi pada Aya, meski keningku berkerut juga. Setahuku, hanya ada bukit dengan pepohonan jarang yang akan kami temui di depan nanti. 

“Kau tahu….?” Gadis itu menghentikan ayunan langkahnya. Ia membetulkan posisi ranselnya sebelum berbalik dan menatapku.

“Tidak,” jawabku sok polos dengan maksud menggodanya. Kepalaku turut menggeleng, sebagai penegasan ketidaktahuanku.

“Tentu saja kau tak tahu. Kalau kau dengarkan baik-baik, setelah kalimat tanya itu aku memberikan jeda sejenak yang artinya aku akan menyambung pertanyaan awalku. Tapi kau – seperti kebiasaanmu – lebih dulu memotong ucapanku,” jelasnya. Aku terbahak menemukan sudut siku-siku di kening mulusnya. Menggoda Aya terkadang menjadi suatu hal yang menyenangkan.

“Baiklah, baiklah. Maaf,” aku mengangkat kedua tanganku. “Lantas, apa yang ingin kau tanyakan, atau katakan?” lebih baik mengalah dan mengembalikan topik pembicaraan pada awalnya daripada memancing kemarahannya. Itu satu hal yang selalu kuingat dengan baik. Aya yang sedang marah lebih mengerikan daripada singa betina yang sedang lapar. Tanyakan itu pada Dylan kalau kau tak percaya.

“Kemarin aku tidak sengaja menonton sebuah drama dari Negeri Ginseng. Dan aku menemukan percakapan antara dua orang lelaki di dalamnya. Meskipun sebenarnya kalau disebut percakapan juga kurang tepat, karena lelaki yang  satu ini digambarkan sedang membaca sebuah surat dari lelaki lainnya. Dalam suratnya, lelaki itu menuliskan,”Maafkan adikku yang telah menyukai wanita yang kau cintai.” Aha, lalu tiba-tiba pertanyaan ini terbersit di benakku. Bisa kau bayangkan jika ada seorang wanita menemui pria lain dan berkata,”Maafkan suamiku karena mencintai wanita yang kau nikahi.” Bagaimana menurutmu?”

Ya Tuhan, Aya! Aku mengerjab takjub dengan pemikiran gadis itu yang terkadang suka memikirkan hal-hal yang tak terpikirkan oleh orang lain. Sejurus aku terdiam,memikirkan jawaban yang tepat untuk kuberikan. Kutatapi wajah gadis itu lekat-lekat, membaca emosi yang tergurat di sana.

Well, kurasa aku lebih tidak bisa membayangkan seandainya ada seorang wanita yang menemui wanita lainnya dan berkata,”Maafkan suamiku karena mencintai lelaki yang menikahimu.” Kau juga berpendapat sama, kan?” tanyaku. Aya terperangah. Bola matanya yang berwarna coklat membulat sempurna. Kukira gadis itu untuk selanjutnya akan melontarkan kecaman atas jawaban ngawurku. Tak kusangka jika ia kemudian tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Ransel di punggungnya terguncang-guncang.

“Kau benar.” Ia menyambung tawanya. “Aku juga tak bisa membayangkan jika hal itu benar terjadi,” seolah penyakit menular, tawanya membuatku merajut hal serupa. Aku tertawa terbahak-bahak di sampingnya.

“Haaah,rasanya sudah lama sekali aku tak mendengar kau tertawa lepas seperti ini,” sambungnya. Aku mendadak terdiam dengan hati membenarkan perkataannya. Kapan terakhir kalinya aku tertawa selepas ini? 

Aya kemudian kembali memutar badannya, dan mengayunkan sepasang kakinya, melanjutkan perjalanan. Aku pun melakukan hal yang sama. Namun kali ini, tak ada lagi pembicaraan yang terjadi di antara kami. Aku dan Aya dikerangkeng sunyi.

“Taraaaaaaaaaaaa…! Kita sampai!!!” seru gadis itu tiba-tiba dengan nada riang setelah hampir setengah jam lebih kami memutari bukit itu.

Pemandangan yang terhampar di depan mata membuatku ternganga. Sebuah padang ilalang luas yang sedang berbunga. Bunga-bunganya yang bertangkai panjang memutih, tampak seperti permen kapas di tangan mungil para peri, dan terlihat lembut jika disentuh.

“Indah, bukan?” bisiknya saat aku telah berdiri tepat di sampingnya. Aku tak menjawab, tapi aku yakin dia puas melihat binar mataku saat melihat padang ilalang di depan kami ini.

“Aku gak sengaja menemukannya saat mengejar Francois beberapa waktu yang lalu,” katanya sambil tertawa renyah.

Francois? Aku langsung teringat pada anak anjing dengan bulu tebal berwarna putih pemberian Dylan, kekasihnya.

“Menurut artikel yang kubaca, sekarang adalah saat puncak ilalang-ilalang ini berbunga. Besok mereka sudah mulai berguguran. Karena itulah aku memaksa kau ke sini hari ini,” jelasnya sambil melepaskan ransel dari punggungnya, dan meletakkannya di ujung kakinya.

“A-aku…,” kata-kataku terpatah. Aku tak tahu kata apa yang harus kupilih untuk mewakili perasaanku.

Gadis mungil di sampingku itu tersenyum, sembari menyatukan jemarinya dengan jemariku. “Tak usah berterima kasih. Aku tahu hanya ini yang kau butuhkan saat ini. Beristirahatlah sejenak, bebaskan pikiranmu. Aku mau mengabadikan pemandangan langka ini melalui goresan kuasku.”

Aku mengerutkan kening. “Kau mau melukisku?” tanyaku, sambil melepaskan tautan jari kami dan duduk di antara bunga ilalang yang berwarna putih itu, mencoba mencari posisi senyaman mungkin.

“Aku tak bilang ingin melukismu, tapi kalau kau ingin jadi relawan yang menyumbangkan separuh badan untuk obyek lukisanku, aku sih gak keberatan,” balasnya dengan nada menyebalkan.

Aku terbahak dan langsung berlari untuk menggelitiki pinggangnya karena gemas. Dan tawa kami pun terbang terbawa angin padang ilalang yang berhembus kencang, menerobos di antara dedaunan dan bebatuan.

Sungguh kau separuhku. Kau  bahkan mampu mengartikan bahasa diamku dengan sempurna. Tak cukup kata terima kasih untukmu, Aya. Tak akan pernah cukup.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar