Selasa, 23 Desember 2014

Do'a (Kumpulan Pesan Cinta dari Sahabat)




Entah sejak kapan dimulainya, Mamah (sahabat baikku di kantor), seringkali mengirimiku  sms yang berisi do’a-do’a. Supaya do’a-do’a tersebut tidak hilang, maka aku berinisiatif untuk mencatatkannya di Pesanggrahan Hujan-ku ini saja. Dan, inilah barisan do’a yang senantiasa Mamah kirimkan….

Ya Allah, ajarkanlah kami apa yang bermanfaat bagi kami dan anugerahkan kami kemampuan memanfaatkan apa yang Engkau ajarkan. Ya Allah, limpahkanlah kami ilmu yang bermanfaat, hati yang khusu’, rezeki yang halal, keluarga yang menentramkan hati dan do’a yang terkabulkan. Amin... 
Ya Allah, terimakasih Engkau telah menjadikanku sebagai orang yang beriman dan bertaqwa kepada-Mu sehingga aku mampu mensyukuri setiap karunia yang Engkau berikan dan mampu mengatasi segala kesulitan yang ada pada diriku dan keluargaku. Amin...  
Ya Allah, bila hari ini ada di antara kami yang sedang sakit, sembuhkanlah. Bila ada yang belum memiliki keturunan, berikanlah keturunan. Bila ada yang ingin memiliki pasangan hidup, berikanlah pasangan yang sholeh. Bila Engkau sedang menguji kami, berikanlah kami kesabaran. Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang mampu mensyukuri nikmat-Mu. Amin… 
Ya Allah, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa, janganlah Engkau bebankan kami beban yang berat sebagaimana orang-orang sebelum kami, janganlah Engkau pikulkan kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, rahmatilah kami, Engkau penolong kami, tolonglah kami dari kaum yang kafir. Amin… 
Ya Allah, syukur kami panjatkan atas indahnya pagi ini, rezeki yang Engkau limpahkan kepada kami, nikmat sehat dan keberkahan untuk kami. Ya Allah, hanya kepada Engkaulah kami memohon dan berlindung dari segala marabahaya. Amin… 
Ya Allah, airmata ini mengalir, teringat aku mengacuhkan-Mu setiap kali do’aku tak ter-ijabah. Aku selalu menghitung setiap amalan yang kulakukan dan berharap Engkau membalasnya setimpal. Ya Allah, aku selalu berharap Engkau memuliakanku dengan apa yang kuperbuat dan kecewa jika harapanku tidak jadi nyata. Ya Allah, ampunilah aku. Amin… 
Ya Allah, masukkanlah kami dalam kelompok orang-orang yang bertaqwa, senantiasa bersyukur ketika menerima nikmat-Mu dan bersabar menghadapi musibah. Segala puji bagi Engkau Ya Allah atas nikmat dan karunia-Mu. Amin… 
Ya Allah, kami panjatkan puji syukur kehadirat-Mu karena Engkau telah berikan kami teman-teman yang baik dan suka pada kebaikan. Senantiasa menyayangi dan mendo;akan untuk teman, saudara dan keluarganya. Lindungilah teman-teman kami, limpahkanlah rezeki, kesehatan dan keberkahan selalu untuknya dan keluarganya. Amin… 
Ya Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Tidak ada yang member kebahagiaan selain Engkau, tidak ada yang bisa mengambil kesedihan kecuali Engkau, tidak ada daya upaya melainkan atas kuasa Engkau. Terima kasih Ya Allah atas segala karunia-Mu. 
Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui rahasia hati kami, maka sucikanlah. Engkau Maha Mengetahui keburukan-keburukan kami, maka tutupilah. Engkau Maha Mengetahui kebutuhan-kebutuhan kami, maka penuhilah. Amin… 
Ya Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Penyayang, tunjukkanlah hamba-Mu ke jalan yang lurus, jalan yang memberikan ketenangan hati kami agar kami senantiasa  mensyukuri nikmat-Mu dan bersabar dalam kehidupan ini dengan lapang dada. Amin… 
 
Ya Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Limpahkanlah kami rezeki yang halal dan penuh berkah agar mengalir kehalalan dan keberkahan dalam tubuh kami dan anak-anak kami menjadi anak-anak yang sholeh agar senantiasa taat dalam menjalankan perintah-Mu dan menjauhi larangan-Mu. Amin…
Ya Allah, limpahkanlah kami kebahagiaan dunia dan akhirat, rezeki yang halal dan barokah, pasangan hidup yang setia, anak yang sholeh, kesehatan dan kebugaran tubuh kami agar bisa mencari nafkah untuk keluarga. Dan jadikanlah ketentraman hati kami senantiasa mencintai Al – Qur’an. Amin… 
Ya Allah, kami memohon agar Engkau menjadikan Al – Qur’an sebagai penyejuk hati kami, cahaya mata kami, penyingkap kesedihan dan keresahan kami. Ya allah, jadikanlah kami orang-orang yang mencintai Al – Qur’an, anugerahilah kami kemampuan membaca dan menelaahnya pada siang dan malam hari. Amin…

Sabtu, 13 Desember 2014

Koeln: A Meeting in the Middle December

NB: Gambar diambil dari Google


Jam di pergelangan tangan kananku sudah menunjukkan pukul sembilan pagi waktu setempat. Bergegas kusambar sepasang sarung tangan tebal yang tergeletak di atas tempat tidur, dan menyarungkannya di kedua tanganku, setelah sebelumnya mengecek kembali isi tas punggungku; memastikan bahwa barang-barang yang kubutuhkan sudah masuk semua ke dalam tas. Setelah meyakini bahwa tak ada yang tertinggal, kukenakan tas punggungku. Sejenak aku berhenti di depan kaca rias, untuk melihat penampilanku, sambil membetulkan posisi topi rajut yang menghiasi kepalaku. Setelah itu, aku bergegas keluar dari kamar flat yang selama empat bulan terakhir ini menjadi tempat tinggalku bersama Via – sahabat terbaikku – yang untuk libur akhir pekan kali ini justru terpaksa berkutat dengan berkas-berkas di kantor yang diperlukannya untuk persiapan keberangkatannya ke London, beberapa hari lagi.

“Aku berangkat, Vi. Mungkin sore nanti baru aku akan kembali. Kau ingin kubawakan apa?” kuputuskan untuk menghubungi Via sambil duduk sebentar di atas sofa beludru di ruang tamu. Kuhabiskan teh hangat yang dibuatkan Via sebelum ia berangkat ke kantor, yang kini sudah mulai dingin sambil menggigit sepotong roti panggang berlapis mentega.

/”Aku sedang kerepotan dengan berkas-berkasku. Dan kurasa sampai aku pulang nanti pun aku masih harus bergelut dengan berkas-berkas ini. Jadi kurasa aku tidak akan memiliki sisa tenaga untuk memasak. Sebaiknya kau bawakan saja makanan untuk makan malam kita berdua,”/ balas Via dari seberang. Aku mengangguk, meski tahu kalau gadis itu tidak akan bisa melihat ekspresiku saat ini.

“Baiklah. Akan aku belikan. Mungkin kalkun sebagai hidangan makan malam tidak terdengar sebagai ide yang buruk. Kau jangan telat makan siang lagi seperti kemarin. Ingat sama maag-mu,” pesanku mengingatkannya akan kebiasaan buruknya yang suka menunda-nunda mengisi perut jika sudah bergelut dengan pekerjaan. Kudengar Via terkekeh di ujung sana.

/”Baiklah, baiklah. Aku akan mengusahakan untuk makan siang tepat pada waktunya. Kau pergilah menikmati libur akhir pekanmu. Dan jangan sampai tersesat,”/ ia berbalik mengingatkanku yang memang paling tidak bisa menghapal rute sebuah perjalanan. Sampai hari ini, ketidakberhasilanku dalam hal mengingat arah jalan memang menjadi suatu tanda tanya besar bagi diriku sendiri. Oleh karena itu, sepanjang hidupku, aku nyaris tak pernah pergi ke suatu tempat seorang diri. Selalu ada saja yang menemani. Selain itu, bisa dikatakan kalau aku memang memiliki phobia sesat. Mungkin akibat dua peristiwa tersesat yang pernah kualami di masa lalu.

“Kau tenang saja. Kita kan sudah pernah beberapa kali mengitari kota tua ini, jadi kupastikan meski kali ini aku sendirian, aku tidak akan tersesat. Bersyukurlah jalanan kota ini tidak terlalu sulit untuk dihapal,” ucapku dengan nada yang kuusahakan agar terdengar meyakinkan. ‘Seandainya pun pada akhirnya aku tersesat, aku kan bisa menghubungimu,’ sambungku di dalam hati. Setelah menjelaskan secara singkat rute perjalanan yang akan kulalui pada Via; sebagai antisipasi jika ternyata aku memang akan nyasar dalam perjalanan kali ini, aku segera mengakhiri pembicaraan kami dan menyimpan smart phone-ku di saku mantel bagian dalam.

Kejap berikutnya, aku segera membuka pintu flat yang dinding bangunannya terbuat dari batu bata merah ini. Cuaca dingin langsung menyapa wajahku, membuatku mengeratkan lilitan syal yang cukup tebal di leher. Kuayunkan langkah dengan perlahan, menelusuri jalanan yang cukup dingin karena beberapa waktu sebelumnya terjadi hujan salju, sambil menikmati setiap pemandangan yang didominasi warna putih yang ditawarkan di setiap sudut kota tua ini. Butiran-butiran salju yang menempel di ranting-ranting pohon dan daun cemara di kanan dan kiri jalan yang kulalui terlihat sangat cantik. Segera kukeluarkan smart phone-ku, lalu mengabadikan keindahan yang tersaji di hadapanku.

Setelah mengambil beberapa gambar dengan angle terbaik, aku kembali melanjutkan perjalanan sambil merapatkan mantel tebal selutut yang kukenakan. Cuaca benar-benar dingin, meskipun menurut perkiraan cuaca yang kudengar di radio, akan ada matahari yang diselingi hujan dalam skala kecil pada hari ini, dimana suhu udara berada pada kisaran 2 derajat Celcius. Bagiku yang sudah terlalu biasa dengan cuaca tropis, keadaan ini membuatku nyaris membeku. Badanku bahkan sampai menggigil, meski sudah memakai baju dan celana rangkap di balik mantel tebal yang kugunakan, untuk mengusir udara yang terasa sangat dingin menusuk tulang ini.

Koeln atau Cologne, yang merupakan kota ke-empat terbesar dari segi populasi di Jerman setelah Berlin, Hamburg dan Munich ini benar-benar sangat indah di musim dingin. Kumasukkan kedua tanganku yang terbungkus sarung tangan tebal ke dalam saku mantel, lalu melanjutkan perjalananku menghabiskan akhir pekan dengan menikmati keindahan kota tua bersejarah ini. Dalam hati aku bertekad untuk tidak akan membiarkan hawa dingin menghalangi niatku menjelajahi setiap sudut kota Koeln yang sudah membuatku jatuh hati sejak pertama kalinya menginjakkan kaki di negara ini. Mumpung hari libur dan Natal sudah semakin dekat, aku akan sekalian mencari beberapa hadiah dan pernak-pernik Natal.

“Hati-hati dengan pencuri,” ujar salah seorang lelaki pemandu wisata tak jauh dari tempatku berdiri dalam bahasa Jerman pada serombongan pengunjung yang wajah-wajahnya terlihat akrab di mataku. Mungkin pelajar-pelajar Indonesia yang sedang mengikuti program pertukaran pelajar. Aku tersenyum ramah saat lelaki pemandu wisata bertubuh jangkung yang memiliki rambut berwarna keemasan dan sepasang bola mata berwarna biru itu beradu pandang denganku. Namun senyum ramah itu segera menghilang dari wajahku ketika lelaki jangkung itu mengedipkan sebelah matanya padaku. Sambil mendengus kesal, aku segera mengalihkan pandangan dan melanjutkan perjalananku. Sementara lelaki jangkung itu masih memberikan beberapa petuah yang terdengar semakin sayup di telingaku. 

Katedral Koeln yang berdiri kokoh menjulang tinggi di tepi Sungai Rhein menyapa pandanganku, dan selalu berhasil membuatku terkagum-kagum, meski ini bukanlah kali pertama aku melihatnya. Katedral bergaya gothic yang serba lancip ini ukurannya sangat besar. Panjangnya saja mencapai 146 meter dengan dua menara kembar yang menjulang setinggi 157 meter, sehingga membuatnya menjadi gereja gothic terbesar di Eropa Utara. Katedral ini mula dibangun pada tahun 1248, lalu sempat dihentikan pengerjaannya, meski kemudian dilanjutkan kembali dan rampung pada tahun 1880. Sungguh luar biasa. Enam abad. Aku menangkap pelajaran tentang sikap tak mudah putus asa dan mudah menyerah dalam sejarah pembangunan katedral ini.

Kubuka galeri photo di smart phone-ku, dan membandingkan gambar gereja yang dikirimkan oleh teman facebook-ku yang berasal dari Utrecht, Belanda dan Barcelona, Spanyol dengan Katedral Koeln ini. Modelnya tak jauh berbeda. Di setiap sudut, berdiri menara-menara tinggi dengan warna tembok kehitaman akibat dimakan jaman, juga perubahan cuaca. Aku berdiri tak jauh dari pintu masuk katedral yang masih berdiri gagah meski sudah berusia ratusan tahun ini, berbaur dengan ratusan atau mungkin juga ribuan orang yang berdiri berdesak-desakan untuk dapat masuk ke dalam katedral, entah untuk sekadar photo-photo, melihat keindahan arsitektur katedral, atau membakar lilin sambil berdoa. Seorang pendeta mendekati kami yang berada di barisan depan dan memberitahukan bahwa pintu depan adalah untuk jemaat, sementara pintu belakang bisa digunakan oleh para turis. Beberapa pemandu mengajak rombongannya untuk mengambil jalan memutar, sementara aku yang sudah beberapa kali memasuki katedral di akhir pekan memutuskan untuk tidak masuk kali ini.

Denah Katedral Koeln seperti umumnya geraja Katolik adalah berbentuk salib. Langit-langit ruangannya sangat tinggi, sementara dinding katedral dihiasi jendela-jendela dengan mosaik yang sangat cantik. Cahaya matahari di musim dingin yang masuk melalui jendela membuat keadaan di dalam ruangan terlihat semakin indah. Akan tetapi, yang paling menarik perhatian adalah relik suci Tiga Raja yang terletak di belakang altar utama katedral, atau di bagian kepala dari denah ruangan berbentuk salib itu. Di bagian itu terdapat jejeran setengah lingkaran, makam para kardinal dan uskup terdahulu. Relik suci Tiga Raja mendapatkan tempat khusus di tengah dan paling tinggi, berupa sebuah peti mati dari emas yang dihias perak dan batu-batu mulia. Untuk melindungi relik suci ini dibuatkan penutup kaca. Cahaya lampu memantulkan kemilau emas dari relik suci tersebut.

Aku mengurungkan niat untuk mengambil beberapa gambar katedral dari luar, sebab karena ukurannya yang sangat besar, maka akan lebih bagus jika aku mengambil gambar dari arah jembatan tiga lengkung yang lokasinya berada tepat di atas Sungai Rhein. Jembatan Hohenzollern yang sekilas mirip dengan Sydney Harbour Bridge yang berada di New South Wales, Australia. Gambar yang dihasilkan pasti jauh lebih baik ketimbang aku mengambilnya dari jarak dekat. Sejenak aku memandangi menara kembar yang memiliki 509 anak tangga yang berdiri kokoh di kiri dan kanan katedral, lalu melanjutkan kembali perjalananku. Meski aku ingin sekali mengabadikan pemandangan kota Koeln dari atas menara, namun aku tak ingin menaiki anak tangga yang demikian banyak itu sendirian. Nanti saja kalau Via kebetulan libur.

Aku terus mengayun langkah dengan perlahan, menelusuri sisi kiri katedral dimana Pasar Natal yang merupakan pasar tahunan yang diadakan setiap akhir tahun menjelang Natal dan Tahun Baru berdiri. Karena pasar ini merupakan tradisi yang diadakan hanya sekali dalam setahun, maka tak heran jika jika orang-orang dari berbagai lapisan usia, tua-muda, anak-anak, bahkan orang lanjut usia, baik warga setempat maupun wisatawan asing, tumpah-ruah di depan pasar tahunan yang bangunannya mengingatkanku pada pasar tenda di tanah air. Aku menghampiri stand yang pernah kukunjungi minggu lalu, yang menjual makanan khas Indonesia. Bahkan penjualnya adalah seorang ibu dari Indonesia. Aku membeli beberapa kerupuk udang untukku. Karena Via alergi udang, maka aku membelikannya beberapa makanan kering yang akan sedikit mengobati kerinduannya pada kampung halaman. Setelah mengucapkan terima kasih, aku melanjutkan perjalanan menuju salah satu stand yang menyediakan pernak-pernik kerajinan untuk kebutuhan Natal. Memilah-milah dan menimbang-nimbang apa saja yang kubutuhkan, sementara aroma khas kue-kue Natal di stand sebelah menggoda penciuman. Ugh, aku akan membeli kacang macadamia berlapis cokelat – kesukaan Via – yang dijual di stand itu nanti, setelah selesai mencari pernak-pernik Natal.

“Aya…?!” 

Kegiatan menimbang-nimbang dan memilah-milah barang apa yang kubutuhkan seketika terhenti, ketika sebuah suara yang bernada ragu mengusik gendang telingaku. Keningku berkerut, karena suara itu rasanya sangat akrab di telinga, meski aku lupa dimana aku pernah mendengarnya.

Kuletakkan kembali kaus kaki kasmir berbeda warna yang sejak tadi kupegang dengan tangan kanan dan kiriku sambil melemparkan pandangan penuh permohonan maaf kepada lelaki tua berambut coklat ikal yang menjaga stand itu. Kutegakkan tubuhku sambil membetulkan letak tas punggungku, lalu membalikkan badan. Arah pandangku pada awal mulanya tertuju pada sepasang sepatu boot yang menutupi kaki celana jeans hitam. Lalu kunaikkan arah pandang, pada dada yang cukup bidang yang dibalut kaos biru tebal yang ketat dilapisi sweater hitam yang sepertinya dari bahan kasmir lembut, sehingga memetakan otot-otot yang cukup keras. Selanjutnya mantel tebal dengan hiasan bulu-bulu di bagian leher yang dibiarkan terbuka. Aku kemudian mendongak, hendak memastikan raut wajah dari sosok lelaki yang kuyakini sebagai orang yang telah menyebut namaku tadi. Detik-detik paling krusial itu entah mengapa membuat dadaku berdetak lebih kencang dari biasanya.

Deg!

Aku buru-buru menutup mulut, menahan pekikan yang nyaris meluncur begitu saja dari bibirku. Refleks, aku memundurkan langkah, hingga pinggangku nyaris menabrak meja stand di belakangku. Mataku melotot garang, ketika mengetahui siapa sesungguhnya sosok jangkung ini. Makhluk hidup berjenis kelamin lelaki dari spesies manusia yang sungguh tak ingin kutemui!

“Shin?” pertanyaan itu lolos juga. Dan ada perasaan bangga ketika aku berhasil memasang seringai sinis di sudut bibirku. Hingga tak menyadari bahwa aku memanggil lelaki itu dengan nama panggilan kesayanganku. ‘Kau melakukannya karena kau bahkan tak ingat nama aslinya,’ bantah hatiku.

Lelaki itu, Shin, menggerakkan sepasang kaki panjangnya, hendak mendekatiku. Tapi aku lebih dulu menahan gerakannya. Tanganku mengambang di udara di depan tubuhku, memberikan pesan bisu tentang penolakan.

“Jangan mendekat!” desisku murka setelah keterkejutan itu sirna, dengan suara agak tercekat. Kupikir, seiring berjalannya waktu, luka lama itu sudah pergi, dan aku akan siap dengan hari ini. Hari dimana pertemuan adalah hal di luar kendali, sebab itu adalah skenario Tuhan yang Maha Tinggi. Tapi perih itu merambat diam-diam, mengepung dari segala arah, lalu menyatu dan menyeruak ke permukaan. Tanganku yang masih mengambang terlihat gemetar, dan anak-anak hujan merapatkan barisan di ceruk pandang.

“Ay…,” perasaan marah yang datang tiba-tiba membuatku tak memerhatikan getar pada nada suara lelaki itu.

“Jangan pernah menyebut namaku dengan mulut kejimu. Kau sama sekali tak berhak melakukannya!” semburku dengan perasaan terluka. Tanpa menunggu ia membuka suara, aku segera memutar tubuh, dan setengah berlari meninggalkan tempat itu. Kututup mulutku dengan sebelah tangan, sambil terus berlari tanpa tujuan. Airmata jatuh satu demi satu, menuruni pipiku, lalu jatuh di atas jalan yang berselimut salju. Hatiku mencelos dipenuhi kenangan-kenangan yang menyakitkan. Sudah tujuh tahun, tapi kenapa terasa seperti baru kemarin?

Aku menghentikan lariku saat merasa dadaku sesak. Dengan kasar kuseka airmata yang masih menggenang. Kuedarkan pandanganku, merayapi sekeliling yang mendadak terasa asing. Ketakutan itu datang seperti badai yang terlewat dari pantauan. Aku diterjang kepanikan luar biasa saat nyaris tak mengenali dimana tempat aku berdiri. Aku mencoba tenang, dengan menghembuskan napas perlahan-lahan dan berulang. ‘Aku tidak boleh panik! Aku harus tenang!’ rapalku berulang sambil mensugesti pikiran agar aku bisa berpikir dengan tenang. Beberapa saat kemudian, hal itu menunjukkan hasil. Aku kembali mengedarkan pandangan, dan baru menyadari bahwa aku tidaklah terlalu jauh berlari. Aku berada tepat di sebelah stasiun kereta.

“Ay, tunggu! Demi Tuhan, jangan menghindariku seperti seorang penjahat!” suara itu terdengar jelas dari belakangku. Dengan kakinya yang panjang, tentulah tidak sulit bagi lelaki itu untuk mengejarku. Tapi, apa yang tadi dia katakan? Jangan menghindarinya seperti seorang penjahat? Bukankah dia memang penjahat? ‘Penjahat hati,’ lagi-lagi hatiku berbisik.

Lelaki itu, Shin, meletakkan tangannya di bahuku.

“P-pergilah!” aku berusaha melepaskan diri.

“Kau tidak ingin aku pergi,” sahutnya dengan lembut, penuh rasa percaya diri.

“Memangnya kau pikir kau siapa hingga berani bicara seperti itu, seakan-akan kau paling tahu apa yang kuinginkan?” tanyaku geram, setelah berhasil melepaskan tangannya di bahuku. Aku berpaling, dan kini berdiri saling berhadapan dengannya. Di antara orang-orang yang lalu-lalang di dalam kota. Aku menatapnya penuh kemarahan.

“Mengapa kau tidak memberi tahu aku?” saran Shin dengan nada lembut yang terdengar memuakkan di telingaku.

“Baiklah, aku akan memberitahumu. Aku ingin rasa hormatmu, Shin! Jika kau tidak bisa memberinya dalam kadar yang banyak, setidaknya berikan sedikit saja padaku. Kau lupa perkataan untuk berlaku tak saling kenal itu, hemmm? Bukankah sebagai orang yang tak saling kenal, kau termasuk lancang dengan berani menyentuhku?” amarah memenuhi dadaku, dan merangkak naik ke ubun-ubun, hingga membuat kepalaku nyaris pecah. 

“Tapi kau memanggilku Shin. Itu artinya kau mengenalku,” timpalnya, membuatku nyaris mengerang putus asa.

“P-per…,”

“Papaaa…,” teriakan nyaring seorang anak kecil memotong kalimat pengusiran yang hendak kembali kulontarkan. Dari arah belakang, seorang anak perempuan berwajah manis mengenakan topi Sinterklass berlari kecil mendekati Shin. Anak kecil bermantel tebal yang rambut hitam panjangnya dikepang di kedua sisi kepalanya itu lantas memeluk kaki Shin, dan menyurukkan wajahnya di sana. Keningku berkerut. ‘Papa?’

Shin tersenyum lebar melihat anak perempuan itu. Ia lantas meraih tubuh mungil anak perempuan yang kuperkirakan berusia lima tahun itu, dan menggendongnya di dadanya, seperti koala. Anak perempuan itu menyurukkan wajahnya di bawah dagu Shin yang mulus tanpa bekas cukuran.

“Caca kesini sama siapa, Sayang? Mama mana?” tanya Shin pada anak perempuan itu, dan menganggap seakan aku tidak ada di antara mereka. Aku mendengus kesal, meski tidak juga beranjak dari sana. Malah sebaliknya, aku memasang telinga lebar-lebar, menantikan jawaban dari anak perempuan itu.

“Sendiri. Sejak di stand tadi Caca berdiri di belakang Papa. Saat Papa berlari mengejar Tante itu, Caca juga ikut ngejar Papa. Kalau Mama, Mama masih ada di stand yang jual siponir, Pa,” jelas anak kecil itu dengan lancar.

Souvenir, Sayang. Sou-ve-nir,” koreksi Shin dengan penuh kelembutan. Aku menggigit bibir bawahku. Papa? Mama? Itu artinya Shin sudah menikah. Jika benar perkiraanku bahwa anak yang dipanggil Shin dengan nama Caca itu berusia lima tahun, berarti usia pernikahan mereka sudah berjalan hampir enam tahun. Aku tertawa getir di dalam hati. Apakah pada akhirnya ia menikahi perempuan itu? Tapi, aku tak melihat adanya garis kesamaan di wajah anak kecil yang manis itu dengan perempuan yang wajahnya mendadak terbayang di benakku. Padahal, kalau diperhatikan baik-baik, gadis kecil itu dan Shin memiliki garis tulang pipi yang sama.

Hah! Apa peduliku? Dia sudah menikah atau belum bukanlah urusanku. Huft, sepertinya aku harus segera beranjak dari sini. Pertemuan kembali dengan lelaki ini tidaklah baik untuk jantungku.

Sepertinya aku terlalu larut dengan pikiranku sendiri, hingga tak menyadari kalau sosok ayah dan anak itu kini memandangiku dengan tatapan yang sukar diartikan. Aku baru menyadari keadaan ketika kurasakan sekelilingku dilingkupi kesunyian, padahal orang-orang masih saja berlalu-lalang.

Aku mendongak, dan dua pasang mata berwarna cokelat gelap langsung menyambutku.

“Sayang, ayo kenalan dulu sama Tante Aya. Tante Aya ini teman lama Papa sewaktu di Indonesia,” ucap Shin dengan nada lembut pada putri kecilnya yang kuakui sangat manis dan cantik itu. Akan tetapi, suara lembutnya tetap tak mampu menghilangkah perih yang kembali muncul mendengar kata yang terlontar dari bibirnya. Teman? Cuih! Bisa-bisanya lelaki kurang ajar ini bersikap seperti itu padaku. Supaya anaknya melihat bahwa ia adalah sosok ayah yang baik? Apakah ia menganggap ini semacam permainan, dan ia berpikir bahwa dia bisa mengendalikannya? ‘Baiklah, akan kuikuti jalannya permainanmu, Shin.’

“Hai, Cantik! Siapa namamu, Anak Manis?” tanyaku dengan keramahan sempurna yang sesungguhnya dibuat-buat, seraya mengulurkan tangan, berinisiatif untuk terlebih dahulu mengenal anak kecil yang menggemaskan itu. Gadis kecil itu menyambut uluran tanganku dengan tangannya yang mungil, sambil memamerkan senyumnya yang sangat manis, membuatku ingin mencubit kedua pipinya.

“Hai, Tante Aya. Namaku Bianca. Tapi lebih sering dipanggil Caca sama Papa dan Mama,” jawab anak itu dengan ramah dan jelas. Ia mengucapkan satu demi satu kata dengan begitu lancar.

“Anak pintar!” pujiku, kali ini penuh ketulusan. “Berapa usianya?” tanyaku, mengerling pada Shin dengan menahan muak, sambil membiarkan Bianca tetap menggenggam erat tanganku. ‘Kita lihat sejauh mana kau mengendalikan permainan ini, Shin. Kau ingin aku berpura-pura ramah di depan anakmu, maka akan kulakukan, meski sebenarnya aku ingin sekali menampar wajahmu, lalu menendang selangkanganmu. Kau memilih lawan yang salah kali ini,’ aku tertawa sinis di dalam hati.

“Natal tahun ini Caca akan berusia lima tahun,” jawabnya penuh dengan nada kebanggaan seorang Ayah, sambil menatap gadis kecil itu dengan tatapan penuh kasih. Aku memajang senyuman kecil, lalu merapikan anak-anak rambut yang menjuntai di antara pelipis gadis kecil itu, juga membetulkan topi Sinterklassnya yang nyaris menutupi kedua bola mata indahnya yang bulat besar itu. Untuk sesaat kukira aku melihat Shin tertegun. Mungkin heran dengan perubahan sikapku yang sedemikian cepat. Sepertinya baru beberapa saat yang lalu aku bersikap seperti singa yang terluka, akan tetapi kali ini sikapku tak ubah seperti anak kelinci yang manis.

Well, apa istrimu tidak kuatir membiarkanmu terlepas dari pandangannya? Bukankah seharusnya ia terus bergelayut di lenganmu?” tanyaku sambil tersenyum samar. Shin dengan cepat menangkap maksudku yang menyindirnya. Tapi ia hanya membalas pertanyaanku dengan tawa kecil. ‘Hemmm, pertahananmu kuat juga,’

“Kebetulan istriku bukanlah tipikal wanita yang suka bergelayut manja di lengan suaminya,” sahutnya enteng. ‘Oh! Masih tetap memandangnya sebagai perempuan paling sempurna rupanya.’

“Kau menamai putrimu Bianca. Mengapa bukan Erry? Kurasa di suatu masa dulu, kau pernah mengatakan pada teman lamamu ini bahwa kau akan menamai anak perempuanmu dengan nama Erry,” tanyaku lagi, berusaha tak terpancing pada sikapnya. Shin tergelak. Dan aku kembali merasa muak mendengar tawanya yang seolah mengejekku itu. Tapi aku tidak akan menunjukkan perasaan muakku di depannya saat ini. Paling tidak, di saat putrinya ada di dekatnya. Masalahku adalah dengan Shin, dan anaknya yang polos itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya.

“Aku tidak menikah dengan Cherrysta, Aya. Tidak seperti yang kau pikirkan. Karena itu aku tak mungkin memberikan nama Erry sebagai nama putriku yang kumiliki sebagai hasil pernikahanku dengan wanita lain,” jelasnya. Terus terang aku terkejut mendengar penjelasannya, namun berharap aku berhasil menyembunyikan raut keterkejutan itu dengan baik dari pandangan matanya. Untuk sesaat, matanya yang cokelat memerangkap manik mataku. Tak ada suara yang terlontar dari bibir kami berdua, sebelum akhirnya aku memutuskan kontak mata, dan kembali menjatuhkan pandanganku pada Bianca, gadis kecil yang mulai menggigil dalam gendongannya. Hujan salju mulai turun perlahan.

“Di sini sangat dingin. Putrimu juga terlihat sudah menggigil kedinginan. Sebaiknya kalian segera masuk ke café yang di sana,” aku menunjuk sebuah café yang dibangun tepat di tengah-tengah, antara stasiun kereta dan Katerdal Koeln. “Cokelat hangat di sana adalah yang terbaik. Aku yakin Bianca akan menyukainya,” saranku sambil menyingkirkan butiran salju tipis yang bertengger di bahu mantelku. Tanpa berkata apa-apa, aku langsung membalikkan tubuh, lalu berniat melanjutkan kembali perjalananku. Atau mungkin mampir di café yang lain untuk mengisi perutku yang mendadak melolong minta diisi.

“Ay, tunggu…,” suara Shin mencegatku. Aku menghentikan langkah tanpa berbalik.

“Urusan di antara kita tidak ada lagi, Shin. Segeralah bawa putrimu ke tempat yang hangat. Jika kalimat terakhirmu tujuh tahun yang lalu berisi permintaan untuk bersikap tak saling kenal, maka kali ini aku meminta hal yang serupa. Bukan sekadar tak saling kenal, tapi lupakan jika kita pernah bertemu di sini, dan terlibat dalam permbicaraan singkat. Selamat tinggal!” sekuat tenaga kuusahakan agar suaraku terdengar wajar, tanpa gemetar. Berikutnya kulanjutkan langkah, tanpa mendengarnya kembali mencegah. Perasaanku campur-aduk. Ada benci yang mendominasi, tapi juga ada rindu yang menyusupi, yang terlalu malu untuk kuakui meski di dalam hati. ‘Tidak! Aku tidak boleh terjebak dalam perangkap rindu ini lagi! Tujuh tahun yang lalu Shin sudah dengan sangat gamblang menjelaskan, bahwa aku dan dia harus bersikap selayaknya dua orang yang tak saling kenal, demi menjaga perasaan perempuan itu. Perempuan yang sangat ia cintai, hingga ia memilih untuk dibenci. Perempuan yang sangat ia puja, hingga dalam waktu bersamaan ia seakan lupa kalau aku juga seorang wanita? Bukankah ia juga berkata, apapun yang terjadi, maka ucapannya waktu itu adalah yang paling benar?’



ooo 000 ooo



Kumasuki sebuah café kecil yang berada di sebelah kanan stasiun kereta. Suasana di sini cukup hangat oleh pemanas ruangan dari café yang mulai dihiasi pernak-pernik Natal ini. Pohon Natal kecil setinggi pinggangku tampak berdiri manis di pojok kanan ruangan, lengkap dengan segala hiasannya. Kuedarkan pandangan, mengelilingi ruangan yang tak terlampau luas ini. Tak terlalu banyak orang yang memilih café ini, tapi itu justru menguntungkanku. Kubuka mantel yang membungkus diriku, melepaskan sarung tanganku dan memasukkannya ke saku mantel, mengeluarkan ponselku, lalu menggantungkan mantelku pada gantungan kuno yang terletak di sebelah kiri pintu. Kupilih sebuah meja yang terletak di samping jendela. Menghenyakkan pantatku di sebuah kursi, lalu melepaskan tas punggungku dan meletakkannya di kursi satu lagi. Seorang pelayan pria yang cukup tampan menghampiriku, dan menanyakan pesananku. Setelah aku menyebutkan pesananku, pelayan pria itu segera berlalu sambil tersenyum manis dan memintaku menunggu.

Dengan ujung jari, kumainkan ponselku. Sebenarnya aku ingin sekali menghubungi Via, akan tetapi hati kecilku mengingatkanku akan kesibukannya. Kutahan diri, dan memilih untuk mengarahkan pandanganku ke luar jendela. Serpih-serpih salju tipis masih berjatuhan, seolah-olah langit tidak rela melepaskannya. Mendadak aku merasa sendu. Lalu satu persatu perasaan lain muncul, hingga aku tak mampu lagi mengenalinya. Mengapa lelaki itu harus kembali muncul dan menguak luka lama? Luka yang kukira sudah berhasil kuobati dengan baik. Selama ini aku bahkan bisa bercerita tentangnya dengan Via tanpa perasaan terluka, aku bisa menyebut namanya diiringi canda tawa. Tapi kenapa setelah bertemu kembali dengannya luka itu kembali menganga? Apa mungkin lukaku seperti luka bekas jahitan operasi caesar, nampak baik di permukaan, tapi di dalam belum sembuh benar?

Pelayan pria itu kembali sambil membawa pesananku, membuyarkan lamunanku. Kuucapkan terima kasih, sambil memberinya senyum tipis. Setelah ia berlalu ke belakang, aku menggigit croissant yang kuolesi selai ceri hitam banyak-banyak. Aku menyapu sisa-sisa selai dengan jari lalu menjilatinya dengan nikmat.

Sepertinya aku terlalu terpaku pada kegiatan mengisi perutku, hingga tak menyadari pintu berbunyi, dan seseorang menyeret langkahnya, bergerak menghampiriku. Aku baru menyadarinya ketika mendengar kursi di depanku bergeser, dan seseorang – dengan lancangnya – menghempaskan pantatnya di sana.

Shin!

Perutku mendadak kenyang. Dan selera makanku menghilang begitu saja. Lelaki ini pantas mendapat bintang untuk keberhasilannya merusak mood seseorang!

“Apa aku mengganggu makanmu?” pertanyaan bodoh apa pula itu?

“Apa kau sejenis manusia tak tahu malu yang suka menjilat ludah sendiri?” aku balik bertanya dengan nada ketus, tanpa menjawab pertanyaan tololnya. Juga tanpa melihat wajahnya. Croissant yang tersisa di piring sebenarnya tampak menggoda, sayang aku benar-benar kehilangan selera.

“Kita perlu bicara, Aya. Untuk meluruskan semua kesalahan di masa lalu. Jangan lari lagi, please.” ‘Hah? Kau memohon? Tapi kenapa aku tidak terkesan?’

“Kau yang bermasalah. Kalian, tepatnya. Bukan aku,” jawabku santai, masih tak ingin memandang wajahnya. Melupakan etika kesopanan untuk memandang lawan bicara. Tidak, aku tak ingin airmata ini bergerak bebas seandainya aku memandang matanya.

“Aku tahu. Dan akulah pihak yang paling bersalah. Pada Cherry, terlebih padamu. Aku telah bersikap tak adil padamu di masa lalu, Ay. Karena itu, mumpung kita bertemu, aku ingin meminta maaf atas semua kesalahanku dulu. Kau pantas membenciku. Kita berteman sejak Sekolah Dasar, tapi dengan alasan cinta aku memintamu bersikap seolah kita tak saling kenal hanya demi menjaga perasaan Cherry. Dan melupakan perasaanmu. Seharusnya aku memang tak menggadaikan persahabatan kita, Ay. Aku yang merusak segalanya. Merusak hatimu, cintamu, perasaan tulusmu sebagai seorang sahabat. Kau bisa menambahkan list yang lain, dan itu semua adalah kesalahanku,” airmata menggantung di pelupuk mataku. Kuangkat wajahku yang basah, memandangi wajahnya yang duduk di depanku, dengan meja bundar ini sebagai pembatas.

Pinggiran manik cokelat itu terlihat memerah. Meski sedikit terhalang oleh airmata, aku dapat menangkap kesan lelah di raut wajah Shin. Mungkin ia sudah menanggalkan topeng yang ia kenakan tadi, saat bersama putrinya. Dan kali ini menunjukkan wajah sesungguhnya. Tulang pipi Shin terlihat menonjol. Ia semakin tirus. Aku baru menyadari bahwa tubuhnya terlihat lebih kurus daripada tujuh tahun yang lalu. Mungkinkah ia hidup dengan menanggung beban perasaan bersalah?

Kelemahanku adalah airmata. Aku paling tak tahan melihat seseorang menangis. Terlebih itu adalah seorang pria. Bertahun-tahun jadi sahabatnya, Shin tak pernah menitikkan airmata. Tidak di saat ia lagi-lagi gagal masuk dapur rekaman, pun tidak di saat kakeknya dari pihak ibu kembali ke sisi Tuhan saat kami kelas enam. Shin menjelma sosok setangguh karang. Tapi hari ini, aku melihat airmata itu jatuh di depanku. Perasaan nyeri itu menelusup kembali, menikam jantungku.

Aku tak tahu harus mengatakan apa. Hingga akhirnya kami hanya saling tatap tanpa suara. Aku berharap masih bisa menerjemahkan bahasa diam Shin, seperti dulu. Tapi tiba-tiba kalimat itu berputar seperti pita kaset di benakku. Membuatku bagai tersengat kalajengking. 

‘Apapun yang terjadi, ingatlah bahwa hari ini adalah yang paling benar. Paling benar. Paling benar…’

“Sebagai lelaki, kau sungguh terlihat menyedihkan!” Shin melengak dengan tatapan terluka. Aku tersenyum sinis, mengutuk diriku yang sempat lengah. Tujuh tahun aku membangun tembok pertahanan diri, dan hanya dengan sedikit kalimat, dalam sehari ia bisa menghancurkan tembok yang kubangun dengan susah payah? Tak akan kubiarkan!

“Ay…,”

“Aktingmu sangat buruk. Kau perlu belajar lebih lama lagi, agar bisa mengelabuiku dengan airmata palsumu,” tukasku dengan tak berperasaan. Shin mengerjap tak percaya, seakan-akan tak lagi mengenali sosokku yang berada di depannya.

What? Merasa terkejut karena aku bukan lagi kucing manis yang bisa kau bodohi?” tanyaku melengking. Sesaat kurasakan suasana mendadak hening. Kuedarkan pandanganku berkeliling. Semua mata penghuni café tertuju padaku. Kuberikan tatapan penuh permintaan maaf karena telah mengusik ketenangan pengunjung yang lain, sambil menganggukkan kepalaku. Mereka lalu berbalik, dan kembali melanjutkan aktivitas mereka. Sedang aku menatap Shin dengan penuh murka.

“Aku sama sekali tak bermaksud mengelabuimu, Ay. Aku menemuimu dengan niat tulus untuk meminta maaf, dan ingin memperbaiki semua kesalahanku di masa lalu,” ucap Shin penuh kelembutan.

“Tulus, katamu? Tahu apa kau tentang kata tulus? Kau tahu, apa pun yang akan kau katakan hari ini, tidak akan berpengaruh apa-apa buatku. Aku selalu berpegang pada kata-kata terakhirmu, bahwa apa pun yang terjadi, hari itu adalah yang paling benar. Jadi bagiku, kata-katamu hari ini, besok, dan seterusnya, tak akan memiliki arti apa-apa. Karena ucapanmu pada hari Minggu di penghujung Mei tujuh tahun itulah yang paling benar! Biar kuingatkan kembali jika kau memang lupa, kau memutuskan hubungan kita hari itu, setelah dua bulan lamanya aku menyandang status sebagai kekasihmu. Kekasih yang rupanya hanya kau cintai setengah hati, sementara aku memberikan seluruh hatiku padamu. Kau memutuskanku tepat di hari ulang tahunku. Dan kau memintaku untuk bersikap seakan-akan kita tak pernah saling kenal. Aku bisa menerima jika kau mencintaiku dengan hati separuh. Tapi apa kau juga harus berlaku demikian kejam dengan memintaku melupakan jalinan persahabatan yang sudah terjalin bertahun-tahun?” aku meradang. Suaraku parau, berbaur dengan airmata yang tak lagi sanggup kutahan. Rasa sakit itu seakan berlipat, ketika kenangan pahit masa lalu singgah dan menetap di sudut benak. 

Shin menggenggam jemariku, yang kutepis cepat-cepat, seakan-akan dia sejenis penyakit menular yang harus dihindari. Tapi ia tak menyerah. Ia malah memindahkan tas punggungku, meletakkannya di kursi lain di sampingku, lalu berjalan memutari meja bulat itu dan mendudukkan diri di tempat yang sebelumnya ditempati oleh tas punggungku. Direngkuhnya pundakku, dan membawanya ke dadanya. Aku meronta, tapi akhirnya tak berdaya dan menumpahkan tangisku di sana. Tangisku pecah di dalam pelukannya. Aku merasa pelukannya makin erat, hingga aku bisa merasakan dadanya yang hangat. Rasa sakit dan semua kepedihanku meledak. Dalam dekapan hangatnya, aku bisa merasakan jemari Shin bermain di antara helaian rambutku. Membuatku tergugu. Sekuat apa pun aku ingin bertahan, aku tetaplah seorang perempuan. Seberapa besar pun aku ingin terus membenci, Shin tetaplah satu-satunya sahabat – mantan sahabat – lelaki yang kumiliki. Lelaki yang juga pernah kucintai, bahkan mungkin di bagian bawah dari semua perasaan benci itu, perasaan cintaku masih tak mau pergi.

Shin membiarkanku untuk beberapa saat menangis di dadanya. Yang hangat, meski tidak terlalu bidang. Entah bagaimana, meski kurus, tapi otot-ototnya terbentuk dengan cukup baik. Setelah merasa cukup tenang, perlahan aku melepaskan diri dari dekapan Shin. Lelaki itu mengeluarkan sehelai sapu tangan dari kantung celananya, dan mengulurkannya padaku. Sejenak aku menatap kain segi empat bermotif kotak-kotak yang terlipat rapi itu dengan tatapan ragu. Keraguanku bukanlah tak beralasan, Shin yang kukenal dulu punya kebiasaan menyimpan sapu tangan di saku celananya sampai berhari-hari.

“Tenang saja, masih baru, kok. Belum kugunakan sama sekali,” ujarnya, seakan mengerti keraguanku. Aku tersenyum kecil, dan meraih sapu tangan itu, lalu menyeka airmataku yang masih tersisa. 

“Ambil saja untukmu, tidak usah kau kembalikan,” sambungnya, seakan mengerti raut bingung yang kutunjukkan. Kutatap lelaki itu tanpa suara, lalu menganggukkan kepala. Amarahku sudah mereda. Aku merasa hatiku sedemikian tenang, seolah bongkahan batu besar yang selama ini menindih pundakku telah diangkat dan dipindahkan. Kuhembuskan napas panjang, mencoba untuk menghilangkan beban terakhir yang mengendap di dadaku.

“Mana putrimu?” tanyaku dengan suara serak, tiba-tiba teringat akan putri kecilnya yang menggemaskan. 

“Kutinggalkan di café bersama Mamanya,” sahut Shin dengan singkat, dan memandangku lekat.

“Kau memiliki seorang putri yang sangat cantik, Shin,” pujiku, sebab mendadak semua perbendaharaan kata yang kumiliki menguap. Hanya itu yang terlintas di benakku.

“Terima kasih. Caca mewarisi kecantikan Mamanya…,” aku terdiam, dan Shin sepertinya tersadar dengan ucapannya. “Maaf, Ay, aku tak bermaksud….”

Kuhadiahkan senyum terbaikku. “Tidak apa-apa, Shin. Kau tidak perlu meminta maaf karena telah memuji istrimu di depanku,” ‘aku yang hanya serpihan masa lalumu.’

“Christina.”

“Huh?”

“Istriku, namanya Christina,” ulang Shin. Aku mengangguk, lalu bungkam.

Suasana canggung kembali menyelimuti kami berdua. Aku tidak sadar kapan Shin memesan minuman, tapi ketika memusatkan perhatian ke atas meja, aku menemukan sebuah gelas berisi Gluhwien, sejenis rum/wine yang disajikan hangat-hangat dan agak pedas, yang tinggal setengah. Sejujurnya rasanya agak aneh di lidah ketika aku pertama kali mencicipinya, karena itu aku tak pernah lagi memesan minuman serupa. Akan tetapi, kulihat orang-orang di sekelilingku sangat menikmati minuman itu sambil berbincang-bincang. Mungkin karena terbiasa.

“Bagaimana dengan Cherry?” aku menekan perasaan sedih ketika mengucapkan nama itu.

“Aku juga tidak tahu, Ay. Terakhir sekali kudengar, ia menikah dengan seorang pria Bandung, dan pindah ke tempat suaminya. Setelah putus darimu, aku memang sempat kembali pada Cherry. Tapi hubungan kami hanya bertahan selama tiga bulan. Dan hari-hari dalam hubungan kami selalu diwarnai pertengkaran. Aku menyadari bahwa kami terlalu memaksakan keadaan, sementara perasaan cinta itu sendiri sudah lama menghilang. Akhirnya kami berpisah. Di saat itulah aku merasakan penyesalan luar biasa, Ay. Hingga akhirnya aku mencoba peruntunganku di Yogya. Mulai dari jadi pengamen, sampai akhirnya berakhir menjadi staff IT di sebuah perusahaan, tempat aku bertemu Christina. Kau mungkin tak percaya jika kukatakan aku nyaris jadi gembel, kan? Tapi itulah kenyataannya. Merantau di kota dimana tak ada satu orang pun yang kukenal, aku memulai kehidupan dari nol. Mungkin itu semacam hukuman atas perbuatanku padamu dulu,” jelas Shin panjang lebar. Aku sedikit terperangah, tak percaya jalan hidupnya begitu berat.

“A-apa saat kau menyesal dulu, kau pernah berusaha mencariku?” tanyaku tanpa maksud apa-apa, hanya sekadar ingin tahu.

“Tentu saja, Ay. Aku mendatangi rumahmu, tapi hanya berhasil bertemu kedua orang tuamu. Mereka mengatakan kau pergi ke Surabaya. Aku ingin menyusulmu, tapi kau tahu sendiri, masalah dana menjadi kendala. Akhirnya aku mencoba memperbaiki kesalahanku dengan berusaha menata kehidupanku, dengan harapan suatu hari nanti akan bertemu denganmu. Aku tak menyangka, tujuh tahun kemudian Tuhan mengabulkan doa yang kupanjatkan setiap pagi, Ay. Aku menemukanmu. Takdir menuntunku untuk mendapatkan kesempatan agar bisa meminta maaf secara langsung padamu.” Shin memberanikan diri untuk meraih kedua tanganku. Kali ini aku tak lagi menolak, tak lagi berontak.

“Jadi, apakah sekarang kita kembali berteman?” tanyaku. Shin tersentak kaget dan spontan melepaskan genggaman tangannya dari tanganku.

“Ya Tuhan, Ay! Dari apa hatimu? Setelah semua luka yang kuberi, setelah bertahun-tahun membenci, dan itu pertanyaan yang bisa kau ajukan? Berteman? Memangnya kau mau kembali menjalin pertemanan dengan manusia sepertiku?” seperti ada sebuah paku yang ditancapkan pada hatiku. Manusia sepertiku? Shin terlalu memandang rendah dirinya. Apakah begitu besar dampak perasaan bersalahnya? 

“Jika kau ingin tahu, maka sesungguhnya aku ingin membencimu lebih lama, Shin. Kata-katamu dulu seakan sebuah pedang yang menggores terlalu dalam di hatiku. Tapi hidup dalam kebencian tak pernah berhasil membuat kita tenang, kan? Terlebih, aku tak memiliki kendali di atas hati, ketika Tuhan yang bisa dengan mudah membolak-balikkan hati mencabut segala kebencianku padamu. Saat itu, kita berdua belum terlalu dewasa dalam menyikapi masalah. Aku memaafkanmu, Shin. Karena itu, mulai sekarang jalanilah hidupmu dengan bahagia, tanpa beban perasaan bersalah. Dan aku akan sangat bahagia, jika kita bisa kembali menjadi teman. Aku tak banyak memiliki teman lelaki, setidaknya aku tak pernah bersikap terbuka seperti yang kulakukan padamu,” jawabku dengan sebuah kelegaan luar biasa. Kuhadiahkan senyum tulus untuknya, dan menggenggam erat kedua tangannya yang terkepal, menahan segala perasaan.

“Aku merasa tak pantas mendapatkan kehormatan untuk kembali menjadi sahabatmu, Ay. Mendapat maafmu saja sudah cukup untukku.”

“Ya sudah kalau begitu,” aku melepaskan genggaman tanganku pada kedua tangannya. “Segeralah angkat kaki dari hadapanku!”

“Kau masih suka merajuk seperti ini, hemmm?”

“Bukan urusanmu!”

“Ngomong-ngomong, kau sudah berapa lama tinggal di negara ini? “ tanya Shin kembali, tanpa berniat beranjak pergi.

“Baru empat bulan,” jawabku singkat.

“Kau tinggal sendiri?” sambungnya cerewet seperti perempuan.

“Ah, tentu saja tidak. Aku tinggal dengan soulmate-ku. Separuh jiwaku,” aku tersenyum bangga mendengar jawabanku. Sesaat aku mendapati raut wajah Shin berubah. ‘Oh, tidak! Tidak kau juga,’ erangku dalam hati. Aku cukup sering menerima reaksi seperti ini jika mengatakan sesuatu tentang soulmate-ku. “Soulmate-ku seorang perempuan,” terangku, agar dia tidak salah paham.

Shin memandangku dengan tajam. Aku mengibaskan tangan di depan wajahku.

“Aku tidak berubah menjadi lesbian, Shin, jika itu yang ingin kau tanyakan,” ujarku, sebelum ia mengeluarkan sebuah pertanyaan lanjutan. ‘Kau pikir dunia sudah sangat kekurangan lelaki sehingga aku harus berputar haluan hanya karena kisah cinta kita berakhir berantakan?’

“Aku bahkan belum bertanya apapun padamu, Ay,” sanggahnya sambil mengulum senyum. Tapi ia tidak bisa membohongiku. Aku mengenalnya bertahun-tahun.

“Tapi aku tahu itulah yang kau pikirkan. Aku bisa membacanya dari sinar matamu,” jawabku.

“Tapi itu belum tentu benar,” lagi-lagi ia menyanggahnya, sambil tersenyum kecil.

“Kau lupa? Sejak dulu aku tak pernah salah mengartikan isyarat yang tertera di matamu.” Shin terdiam. Lalu kembali meminum minumannya. Sedang aku menghabiskan cokelat panasku yang sudah sejak lama mendingin.

Kuambil dompetku, membukanya dan mengeluarkan sehelai kartu nama, lalu meletakkan di samping gelas Shin. “Ini kartu namaku. Datanglah ke flat-ku besok. Bawa anak dan istrimu. Aku ingin berkenalan dengan wanita yang cantik yang berhasil memikat hatimu, hingga memberimu anak secantik Bianca,” ucapku.

Shin mengamati kartu nama yang kuberikan. Lalu menatapku, dengan tatapannya yang tajam. “Apa tidak apa-apa?”

“Kenapa? Kau takut? Tenang saja, paling-paling Via akan menyiram wajahmu dengan kopi panas,” sahutku enteng, sambil menyeringai lebar.

“Eh?”

“Aku sering bercerita tentangmu pada Via, soulmate-ku itu.”

“Pasti bukan cerita yang baik-baik,” tuduhnya sambil menyandarkan punggung ke kursi yang didudukinya.

“Meski membencimu, aku tak pernah bicara jelek tentangmu. Yang kuceritakan pada Via adalah kelebihan-kelebihanmu,” terangku tak terima dengan tuduhannya. “Dan, hei! Singkirkan raut bangga dari wajahmu itu!” 

Shin tertawa lepas, dan bersamaan dengan tawanya, aku merasa semua bebanku seakan menghilang. Seolah-olah ikut lenyap bersama tawa yang dia keluarkan.

“Shin…,” aku memutus tawanya. Dia memerhatikanku lekat. Sinar matanya kali ini, terlihat jauh lebih hidup. “Ada kalanya, kita tidak bisa memiliki dua hal dalam waktu bersamaan. Persahabatan dan cinta. Ada kalanya, kita harus memilih salah satu. Apa yang terjadi di antara kita adalah bukti yang nyata. Tujuh tahun yang lalu kau pernah memilih cinta, dan banyak hati yang terluka karenanya. Oleh karena itu, untuk kali ini biarkan aku yang memilih. Dan aku memilih persahabatan kita. Kembalilah jadi sahabatku.”

Kutemukan senyum lebar di wajah tirus Shin. Lelaki berdarah Batak itu lalu merengkuh pundakku, dan menyatukan kening kami – kebiasaan yang kami lakukan bertahun-tahun dulu.

“Sahabat. Kali ini untuk selamanya, Ay. Selamanya.” Aku menganggukkan kepalaku, sambil mengulang perkataannya di dalam hati. ‘Sahabat, selamanya, Shin.’

Alunan suara merdu Kim Jaejoong, penyanyi berwajah androgoni asal Korea Selatan yang menandakan ada telepon masuk mengusik kesunyian yang membekap kami berdua yang masih saling beradu kening. Kujauhkan diri darinya, meraih ponselku dan mendekatkannya ke telinga. Mendengarkan untaian kalimat dari Via.

“Ya…? Baiklah. Sampai jumpa,” kumasukkan kembali ponsel pintar-ku itu ke dalam saku bajuku, lalu mengeluarkan dompet dan meletakkan beberapa euro seharga makanan yang kami nikmati. 

“Maaf, Shin, tapi aku tidak bisa menemanimu lebih lama. Soulmate-ku sudah menungguku,” ujarku. Ternyata pekerjaan Via lebih cepat selesai dari yang ia perkirakan, sehingga ia bisa menemaniku menghabiskan akhir pekan ini berdua. Via menelponku untuk sekalian mengajakku makan siang.

“Kau akan segera pergi?” tanya Shin seakan tak rela aku pergi.

“Ya!”

“Aku tak mungkin bisa mencegahmu, kan? Pergilah. Terima kasih untuk semuanya, Ay. Sampaikan salamku untuk separuhmu itu ya?”

“Akan kusampaikan. Kau juga, sampaikan salamku untuk istrimu dan Bianca. Jangan lupa besok ke rumahku. Bye, Shin. Sampai jumpa. Oh iya, sebelum aku lupa, selamat ulang tahun. Semoga kebahagiaan akan selalu mengisi hari-harimu,” ucapku sambil tersenyum seraya bangkit dari kursiku. Kukenakan kembali tas punggungku, dan sedikit membungkuk, memberikan ciuman kecil di pipi Shin, tanpa perasaan apa-apa. Aku lalu melangkah mendekati gantungan kuno di sisi pintu café, mengenakan sarung tangan dan mantelku, lalu melangkah keluar meninggalkan Shin yang melambaikan tangannya padaku. Senyum indahku merekah sepanjang jalan menuju tempat janji temu-ku dengan Via. Ah, aku tak sabar bertemu gadis itu, dan berbagi cerita dengannya. Benar-benar tidak sabar.



End


Minggu, 30 November 2014

Mengais Maaf yang Tersisa

NB: Gambar diambil dari Google



     Kembali, riak-riak hujan mencumbu rekahan tanah akibat kemarau, menyulam senyum pada baris pepohonan di kiri kanan jalan sepanjang perjalanan menuju pulang. Sumringah dara remaja, memanggul kendi-kendi sajak berbingkai canda di selasar senja; menjaring makna di tingkap petang. Berkali kau membagi lirikan, berharap aku membuka jalan percakapan dan berbalas pandang. Namun sayang, untuk kali ini aku tak lagi mampu jadi pendahulu, mengajak engkau bertukar sapa bersahut kata, berbagi rerupa cerita tentang ilalang. Perih ini membuat berbilang waktu terlewatkan dalam episode diam yang nyata terpancang.

     Hening merajam, memaksa persada pikirku mengulang silsilah luka dalam rentang jarak. Di simpul ingatan, membayang remah noda yang menuai kecam tersalah pijak. Dengan dalih tak sengaja, lagi-lagi kau cipta luka serupa yang membuka kenang lama di setapak jejak. Sungguh, terkadang kukira kau benar-benar tak ingat bagaimana rasanya perih yang memilih hati sebagai muara untuk beranak-pinak.

     “Aku benci rintik hujan ini. Mengingatkanku pada luka yang berkali kucipta pada perempuan yang sama. Perempuan yang terlalu sempurna untuk kuhadiahkan nestapa sepanjang usia,” akhirnya kau membuka suara. Aku melirik sekilas tanpa selera. Lalu membuang pandang, tak ingin bertentang mata.

    “Aku selalu suka suasana hujan. Tameng terbaik untuk menyamarkan bebutir airmata. Pun pendengar setia yang tak akan menyela saat aku berteriak menyuarakan murka,” sahutku. Dan kau tergugu lagi tanpa suara. Mungkin kehilangan kata-kata.

     “Untuk airmatamu yang tumpah, permintaan maafku akankah mampu meredakan amarah?” tanyamu lagi setelah sekian lama merenung, memilih kata yang tepat untuk menguak bisu yang memasung.

     “Amarah sebab kau menyemai benih sengketa di sekeping hatiku yang kini tinggal remah sahaja? Amarah sebab kau selalunya membisu atas semua isyarat pedihku dan berlagak lupa akan ikatan tak kasat mata yang mengungkung kita, sebab tak ada sebentuk cincin pun melingkar di jari sebagai penanda? Amarah sebab aku merasa terbuang, meski sesungguhnya akulah sebelah rusukmu yang hilang? Amarah sebab kesekian kalinya kau dilanda penyakit lupa, bersikap biasa setiap kali kau merajah luka di perjalanan usia? Katakan, permintaan maafmu untuk amarah yang mana, Kanda?” aku menyeka airmata di penghujung tanya. Aduhai perih, kenapa tak lekas kau beralih?

     Lagi, kubuang pandang dan mematung. Memerhatikan gerbang senja tempat bernaung. Bougenvil jingga di sudut taman menebar rimbun di pagar yang terpasung. Selarik senyum simpul tersungging di bibir perempuan tua yang menyimpan dekik pipi di sebalik payung. Akan tetapi, tetap saja tak membuatku mampu meredakan amarah yang kembali menjelma diantara temaram yang melahap lembayung.

     “Aku minta maaf, Dinda. Untuk semua perihmu, kesakitanmu. Untuk semua airmatamu. Aku minta maaf,” kau beranjak dari dudukmu, bersimpuh memeluk kakiku yang menjelma arca, tak bergerak. Lara itu mengirim kepingan kenang ke sudut benak, memunculkan sebak. Berbilang purnama, kau mengebumikan sayap-sayap batin dalam kotak kematian sajak. Ingatan itu berlintasan, berbenturan dengan rak membeku dimana berlembar sejarah meruah tumpah seumpama embun di titian kelopak. Aku terperangkap, dalam bimbang tak berkesudahan untuk memberi sepenggal maaf sebagai penenang jiwa yang bergejolak.

     “Andai saja sehelai maaf mampu mengembalikan hati seperti semula, tanpa gurat luka…,” lirihku dalam berkata. Sebenarnya aku tak ingin menghukummu dalam sehampar sunyi yang membuat bayang purnama terlihat semakin nyata. Di sudut hati, masih bersisa setitik iba yang mengirim pesan ke ruang minda untuk melupakan noda yang kau rajah dengan sengaja. Mungkin itulah serpihan kecil cinta yang masih mampu memancarkan sinar di pelupuk mata, saat bagian yang lain kehilangan rasa. Entahlah, Kanda. Untuk sementara biarkan begini saja, beri jeda untuk kita agar bisa menerjemahkan makna dengan seksama. Beri waktu pada hati yang kau beri luka untuk berdamai dengan perasaan tanpa terpaksa, tanpa prasangka yang akan kembali membuat hilang percaya. Biarkan begini saja. 



Jumat, 28 November 2014

Sekali Ini Saja


NB: Gambar diambil dari funkytridoretta.worpress.com



Shin...

Aku hanya ingin menikmati senja denganmu, sekali lagi…

Sekali waktu, kukira kau tak lagi ingin mendengarkan nada-nada hujan yang mengeja hikayat luka di atap rumah. Mungkin biramanya sedemikian sumbang untuk hati-hati yang pincang. Atau mungkin kau memang tak pernah ingin membiarkan jejak kisah bertandang tanpa diundang, merobek luka lama seumpama tajam ilalang mengiris tungkai dara jelita yang malang.

Tapi aku ingin duduk di sini, selurus bayang mampu kupandang, setatap tikaman hujan mampu kusandang. Aku ingin di sini menyambut pesan alam lewat kepak sepasang bangau sebelum senja meminta pulang. Lembayung memang terlihat indah mendekap tiang-tiang perahu nelayan, dengan senandung kenang bertatah bimbang. Dan aku ingin kakiku tetap terpancang di sini, di sisi dermaga yang selalu lengang.

Kau lihat lentera di anjungan perahu itu? Kadang diam, kadang berayun dipermainkan angin petang. Entah berapa aksara bertebaran menjelma swargaloka kata di tirai tanpa ambang. Aku hanya ingin meminta sedikit waktumu, menemaniku di sini seraya memetik tangkai-tangkai bunga ilalang. Tak kuminta senja yang lain kecuali hari ini, sebab kau dan aku sama tak tahu kapan ajal menjemput badan.

Sementara membiarkan jejak kisah melandai di sepanjang pantai, aku tak pernah ingin membagi senjaku dengan yang lain. Cukup buatmu, seolah hela nafas dalam tiap nadi kehidupanku. Walau pada akhirnya jatuh, menitik, menembus sukma tanah, dan tak kembali padamu…


aku hanya terlalu menyayangimu
tanpa ingin membagi senjaku
untuknya, atau yang lain...



Quote: About Life


NB: Gambar diambil dari Google


Simple BYE make us CRY, 
simple JOKE make us LAUGH, 
simple CARE make us FALL IN LOVE, 
simple TOUCH make us FEEL BETTER, 
but simple HI will make us SMILE.


Quote: About Love


NB: Gambar diambil dari Google


Love is like a roller coaster. Once you have completed the ride, you want to go again!


Maka Kita Menangis

NB: Gambar diambil dari Google (crying in the rain by oloferla)


maka kita menangis, mengeja kenang berpayung gerimis

di bawah reranting jambu air, pada petikan
dawai gitar dalam dekapan malam. nada-nada alam yang
berhembus, melagukan harap. aku umpama bintang,
selayak puisi yang kau pinta tetap tinggal.

maka kita kembali menangis, mengeja kenangan berpayung hujan

di atas ranjang tua. kasur lusuh yang tak lagi
diketahui warna aslinya. mengurai kisah, mengapa
tak sedikit lagi mencoba, memahami senja yang tunduk
pada petuah langit. tak teraba nurani. sekali lagi.

maka
kita
?

Kupu-kupu Senja



NB: Gambar diambil dari Google


: Shin

Di tapak senja itulah kubina taman kecil; singgasana terindah untuk batang-batang ilalangku yang merapuh manakala hujan tak sudi bertandang menyapa subuh yang gaduh.
Pada tamadun petang itu pula kurenda gubuk mungil; pesanggrahan lelah untuk sepasang lebah yang menyaring madu setelah pagi menanak mimpi pada embun-embun yang luruh.

Dari sanalah aku mengenal engkau dalam balutan sepasang sayap hitam putih terkembang anggun, bergelayut manja di bawah helaian pucuk-pucuk buluh.
Tatapmu bergenang selaksa tanya tanpa setitik pertanda yang mampu kueja di garis-garis daun, pun tak engkau beri sekerat saja isyarat pada remang hari yang kian berembun.

Entah pedih selayak apa terhampar di muara airmatamu, yang akhirnya membuatku mengajukan tanya agar engkau luluh.
: Maukah engkau sejenak mengatupkan sepasang sayapmu, menemaniku duduk di sisi beranda; mengeja kenangan lusuh.



Sebelum jatuh?


Selasa, 25 November 2014

Quote: Broken Heart


NB: Gambar diambil dari Google


tak perlu kau sangkal dan mengatakan ini tidak benar: cintamu padanya pastilah teramat sangat besar. hingga luka hati sepeninggalnya hingga kini masih menganga lebar.

@Aya


Tiga Sajak Pendek Tentang Shin


NB: Gambar diambil dari Google


Shin, 
di wajahmu putik-putik nyeri berlomba memajang diri; memiuh jejak di sisa hari. menetak rindu di pinggiran hati agar rindu tak lagi pergi.

Shin,
dalam rindu paling syahdu, kau menjelma puisi di ujung kata; persinggahan rasa di telaga aksara, penawar dahaga di anjungan bahtera.

Shin,
selayaknya hujan, kurindukan engkau dalam tiap perjalanan kemarau. dalam genang yang melebur kenang. dalam rindu yang memagut waktu.


Quote: Kuasa Untuk Mengubah Ada di Tanganmu

NB: Gambar diambil dari Google


Hidup adalah serangkaian keadaan yang dapat kau ubah, tingkatkan, dan jadikan lebih baik dari hari ke hari. itu adalah keputusanmu; itu ada dalam tanganmu.

Seperti pembuat barang tembikar dengan jentera putarnya, kau adalah tenaga yang memutar dan menggerakkan tanah liat itu menjadi suatu benda yang indah.

Seperti kuas sang pelukis yang menggambarkan sesuatu yang segar dan baru dan indah, kau dapat menciptakan pemandangan paling indah untukmu.

(Barbara J. Hall)


Rabu, 19 November 2014

A Stupid Thing

NB: Gambar diambil dari Google


Mungkin aku yang bisa dikatakan gagal mengendalikan perasaanku, hingga setiap kali kau di dekatku aku tak kuasa membendung debaran yang seharusnya tak lagi ada. Bukankah sudah dengan sangat nyata kalau kau tak lagi memiliki perasaan apapun padaku, selain teman dekat, mungkin? Atau teman yang hanya kau ingat saat kau membutuhkannya.

Dengan bodohnya aku masih merasakan perasaan melambung ketika kau menelponku, menanyakan kabarku, mengajakku makan siang, bercerita hal konyol yang kau lakukan sepanjang hari. Lalu dengan tak tahu malu perasaan sakit bak ditikam trisula tak kasat mata itu hadir saat kau mulai bercerita tentang dia. Dia yang mungkin telah menggantikan kedudukanku di hatimu. 

Mengapa hanya aku yang dimanja harapan semu? Sedangkan kau telah melangkah maju dari halaman kitab masa lalu. Bagian mana yang salah? Ketidakmampuanku untuk mengajak hati berdamai agar tak terpengaruh dengan perhatian-perhatianmu lagi, atau memang sejak dulu perasaanmu tak cukup kuat untukku? 

Bisakah sekali saja kau peka pada perasaanku? Memahami untuk pertama sekaligus terakhir kali bahwa aku terluka, namun aku kehilangan kata untuk mengungkapkannya padamu. 

Kau begitu bersemangat untuk memahami bahasa tubuhnya, sedangkan bahasa diamku selalu kau artikan bahwa aku baik-baik saja.


***


NB: Hahaha, sungguh, aku sama sekali tidak sadar bahwa tulisan di atas adalah tulisanku sendiri. Saat membaca tulisan ini di Rumah Hujan, aku sempat menangis, lalu langsung mengirim pesan pada sahabatku. Tak tahunya dia bilang tulisan itu adalah karyaku, yang kukirimkan padanya dalam bentuk penggalan pesan singkat. Aish, mengapa aku sampai tidak menyadari ciri tulisanku sendiri?



Sebuah Kata Maaf

NB: Gambar diambil dari Google


: SK (lelaki senja pemilik segala cinta yang kupunya)


Shin, 
akankah dengan patahan ranting mahoni yang tersisa kau lukis paras rembulan yang tinggal sepotong di rahim waktu yang kerap melahirkan sajak-sajak nestapa? Berhentilah sejenak. Tanganmu semakin ringkih, tidakkah lelah merangkai kenangan tak sudah yang senantiasa memaksa perasaan mengirim semacam pesan ke sudut benak, lalu menitah ceruk mata untuk menjatuhkan bulir-bulir embun surga, selayaknya fragmen senja yang terkelupas dari bingkai masa? Sudah lima kali almanak berganti wajah, dan aku masih tenggelam dalam kubangan kenang hingga lupa memagari hati,  hingga sedih kerap bertandang mencipta gerimis yang menggenangi serambi lalu menelusup ke tiap sendi, ketika aku terdampar di rumah kayumu. Dan selalu, untuk sesaat aku kembali membiarkan sukmaku memaknai remuk redam, ketika sebentuk keegoisan menyeruak ke permukaan. Sebentuk perasaanini masih milikmu, hingga aku tak siap ketika perih menuntunku menelusuri bait-bait kisah yang kini tak lagi kau tujukan untukku.


Shin, 
dalam gelegak rindu paling biru, pada satu waktu, aku mengatupkan kedua tangan ketika lonceng gereja tua di sudut kota mulai berdentang, memohon pada barisan waktu agar selalu memeram rahasia kita, manakala sebelah tanganku terlalu gemetar untuk mengukir jejak di samudera hikayat. Dalam pinta yang tergagap kueja,  dalam potongan do’a tanpa amin yang kuulang pada birama yang sama, aku berharap agar kau dan aku semakin piawai merawat rerupa luka, melindungi daging segumpal yang bersembunyi di balik barisan tulang itu agar tak lagi merasakan perihnya peluh masa yang memandikan sayatan luka. Tertatih kurapal kata laksana mantera, tak lagi memanja perasaan,dan mencoba berjabat tangan dengan kenyataan.

Shin, 
bukankah rajah di telapak tangan kita memiliki sirat-sirat tipis serupa benang halus yang mengandung segantang makna, hingga tak usai kita bersahut kata? Tanyaku tak pernah mengenal ujung, berputar tanpa berminat diam menyuarakan ketidakmengertianku akan ketidaksanggupan untukmengubur sembilan belas abjad perangkai namamu ke dalam  genangan lumpur, lalu meninggalkannya tanpa sebarang tiang penanda. Mungkin, karena saat itu aku terlalu memercayaimu, hingga kutitipkan seluruh hatiku, tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan suatu hari kau juga yang akan membuatnya tinggal kepingan. Aku yang terlambat membuat perhitungan bahkan membela diri dengan menyalahkan keadaan yang menurutku bengis, karena membuatku kembali menangis. Betapa pandai lidahku merajut kilah, membuatmu tampak sebagai pihak paling bersalah, hingga aku melupakan kenyataan: benih dusta itu, akulah penaburnya!


Shin, 
untuk semua kecewa yang pernah kutoreh atas nama waktu, sebuah kata maaf, masihkan akan memilki makna bagimu?