NB: Gambar diambil dari Google
A story by me and my other half
Hujan tiba-tiba bertandang tanpa diundang. Memberi ketukan-ketukan dengan irama senada pada kaca jendela yang perlahan mengembun. Pada petak-petak ubin di luar, telaga-telaga mungil yang tersamar seolah berlomba menampakkan rupa. Buru-buru kututup tirai berwarna hijau lumut yang menggeliat manja dicumbu angin, lalu beralih menatap seorang gadis yang ku-klaim sebagai separuh jiwaku, yang berbaring menelungkup di atas ranjang beralaskan satin sambil menopang dagu dengan kedua tangannya.
Sebuah album usang bersampul biru dengan warna yang mulai memudar terhampar di depannya. Kuarahkan kakiku,mendekatinya, lalu duduk di tepi pembaringan.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku dengan rasa penasaran membuncah, menampar-nampar sisi benak.
“Membuka kembali lembar kenang,tentangku dan Eri,” sahutnya tanpa mengalihkan pandang. Tangan kanannya yang semula menopang dagu perlahan turun dan mulai membalikkan satu-persatu halaman album foto itu.
“Ah…! Mantan terindah!” seruku dengan raut wajah menunjukkan ketertarikan. “Ceritakan kembali padaku soal dia,”pintaku bersemangat sembari menyandarkan punggung di kepala tempat tidur.
Gadis itu menghentikan gerakannya, lalu menatapku. Nuansa suram mendadak menyelimuti pancaran matanya yang seolah berkata kau-tahu-betapa-sakitnya-menguak-kenang. Kuberikan senyum terbaikku yang selama ini tak pernah gagal untuk meyakinkannya, bahwa semua akan baik-baik saja. Akan kubuat ia menanak kenang tak lagi dengan belanga duka.
“Aku akan ceritakan tentang Eri,kalau kau juga mau menceritakan padaku tentang Shin-mu,” tawarnya. “Kau tahu, aku sangat penasaran dengan mantanmu yang satu itu. Kau sangat pelit untuk menyulam tutur kalau sudah menyangkut Shin.”
Aku terdiam sesaat. Sedikit keberatan, namun akhirnya kuanggukkan kepalaku. Menyetujui tawarannya.
Perlahan gadis itu menghela napas panjang, sebelum mulai bertutur. “Eri adalah satu-satunya kekasih yang pernah menulis puisi untukku. Tak seperti kau yang beruntung medapatkan mantan dengan keahlian meramu kata bak pujangga, mantan-mantanku tak ada yang berjiwa seni. Dan kembali pada puisi yang Eri tulis, isinya sangat pas dengan kata pepatah: jauh panggang dari api, alias gak nyambung,” tuturnya sambil sedikit tersenyum.
“Tentu saja. Dia membuatkan sebuah puisi saat kami sedang berada di pinggir pantai dan memakan semangkok ice cream berdua. Alih-alih menulis keindahan pantai dan kebersamaan kami, dia malah menulis tentang warna dan rasa ice cream di dalam mangkok,”terangnya sambil cemberut. Mataku membulat sempurna mendengar penjelasannya, sebelum akhirnya tawaku pecah, menyaingi derap hujan.
“Hahaha, well, setidaknya dia sudah berusaha, walau gagal,” jawabku sambil terus tertawa.
Separuhku ikut tertawa, sebelum melanjutkan ceritanya. “Aku dan Eri itu seperti Tom dan Jerry. Kami ribut tanpa mengenal tempat. Meskipun begitu,teman-teman kami tahu kalau kami berdua saling menyayangi. Yaaah, cara kami berdua mengungkapkan perasaan memang sedikit berbeda dari pasangan lainnya.Kalau menggunakan persentase, maka sisi romantis kami hanya 20 persen, sisanya ngelawak,” katanya memberi jeda sambil terkekeh pelan. “Dia tipikal pria yang acuh tak acuh di depan orang banyak, tapi pada saat sedang berdua dia bisa berubah menjadi sosok yang begitu posesif,” lanjutnya.
Gadisku memiringkan tubuhnya menghadapku, dengan tangan kiri menopang kepalanya.
“Lalu Shin-mu? Bagaimana dia?” tanyanya sambil tersenyum menggoda.
Aku tersenyum kecil dan menerawang, mencoba menggali kenanganku bersama lelaki itu. Shin-ku. Ah, bahkan sekedar menyebut ulang namanya di dalam hati membuatku ingin tersenyum.
“Mmmm…, Shin-ku tipikal lelakiyang jarang mengumbar kata cinta. Dia lebih memilih mengungkapkan perasaannya melalui lirik-lirik lagu yang ia ciptakan. Ia tak menyukai kekasih yang posesif, bahkan terkadang menolak perhatian. Di awal-awal hubungan kami, aku cukup sering mengiriminya sms sekedar menanyakan apakah ia sudah makan atau belum,dan sejenisnya, dan kau tahu reaksinya? Ia terus terang mengatakan ketidaksukaannya. Sejak saat itu aku tak lagi mengiriminya sms ataupun menelpon, hingga akhirnya 5 hari kemudian dia yang blingsatan menghubungiku,hahaha,” aku tertawa renyah mengingat kembali tentang lelaki itu.
“Kok bisa? Kalau Eri…, handphone-ku bisa meledak kalau sehari saja aku nggak kasih kabar ke dia. Hampir sama sih denganku, aku selalu panik kalau dia tak memberi kabar,” jelas gadis berkacamata di depanku itu. Ya, aku percaya. Separuhku itu memang memiliki sifat panik yang kadarnya menurutku berlebihan. Entahlah, itu salah satu kelebihannya atau kekurangannya.
Gadis itu lalu kembali menelungkup dan membuka lembar lain dari albumnya. “Lihat ini, Eri-ku sangat menjaga penampilan. Bukan maksudku memuji berlebihan, tapi dia selalu rapi dan wangi. Dia suka pakai parfum atau cologne, dan selalu ribut kalau dua barang itu habis,” katanya sambil menunjuk pada sebuah foto sambil tertawa.
“Kebalikan dari Shin,” sambungku.“Shin suka tampil seadanya. Cenderung slebor, menjurus ke slengean. Celana jeans berkaki lebar dengan kaos putih kurasa penampilan terbaiknya. Terkadang, dia akan memanjangkan jenggotnya,membuat tampangnya terlihat semakin menyeramkan. Dengan rambut ikalnya yang mirip sarang burung itu, ditambah jenggot pula, kurasa kau bisa membayangkan seperti apa rupanya. Tapi entah kenapa, aku selalu takluk dengan pria model begitu,” kataku.
Gadis yang selalu mengikat rambutnya dengan gaya ekor kuda itu terpingkal-pingkal mendengar penuturanku.
“Kau tahu, Shin itu memiliki tubuh yang tinggi menjulang seperti jerapah. Kalau berjalan bersisian, kami akan terlihat seperti jari jempol dan telunjuk. Hal itu yang terkadang membuatku sering berjalan mendahuluinya,” lanjutku sambil menutup mulut,menahan tawaku yang juga ingin meledak mengakhiri penjelasanku yang cukup panjang.
Kedua bola mata soulmate-ku itu membulat.
“Benarkah?!” serunya. Dia membalik posisi tubuhnya menjadi telentang. Kelopak matanya terpejam sebentar sebelum kembali terbuka untuk meneruskan ceritanya. Senyum tipis terukir di bibirnya yang dibiarkan polos tanpa polesan pemerah bibir.
“Kalau kumat genitnya, Eri juga suka pelihara jenggot. Nggak tebal sih, cuma tipis aja. Dia selalu suka menggesekkan ujung dagunya di ubun-ubunku saat dia sedang memelukku dari belakang. Satu hal yang tak pernah dia lewati saat kami sedang berdua,”kenangnya. “Orang yang melihat kami begitu pasti akan merasa seperti sedang mendapatkan pertanda buruk, mengingat kami yang biasanya selalu ribut di mana saja kapan saja,” katanya lagi sambil tertawa.
“So sweet,” balasku. Aku ikut merasakan kegembiraannya saat menceritakan masa lalunya bersama orang yang sangat ia cintai, mungkin hingga hari ini.
“Shin tak terlalu suka melakukan kontak fisik di depan publik, palingan hanya sebatas berpegangan tangan saja. Tapi itu sudah sangat luar biasa untukku. Aha, ciuman pertamaku dan Shin di depan umum itu terjadi pada suatu senja saat kami menikmati keindahan purnama yang tercetak sempurna di atas Danau Toba. Aku yakin saat itu wajah kami sama-sama memerah. Tapi untunglah suasananya cukup gelap. Kalau tidak aku tak bisa membayangkan betapa kikuknya kami saat melewati pasangan lain yang juga sedang menikmati suasana serupa,” ujarku.
Tiba-tiba aku terlonjak, setengah tertawa aku bertanya pada separuhku. “Kau sadar nggak sih kalau kita benar-benar soulmate?”
“Maksudmu?” tanyanya bingung seraya mengerutkan kening.
Aku melipat kedua kakiku di atas ranjang dan duduk bersila sambil menatapnya. “Coba kau dengar ini, Eri Satria dan Herry Shinatria, mirip kan? Walau aku selalu kesal kalau mengingat nama Satria,” sungutku.
“Namanya sama dengan lelaki yang terus berusaha merebut perhatianmu itu. Lelaki yang selalu mengirimimu puisi itu,” aku menjawab sambil cemberut.
Kali ini dia kembali tertawa. “Oh ayolah, kau masih kesal dengan dia? Satria yang itu, aku berteman dengannya di facebook karena kupikir dia akan bisa sedikit saja menggantikan Eri-ku karena nama akhirnya yang sama, tapi ternyata aku tertipu oleh kesamaan nama mereka.”
“Aissshhh…, dasar kau,” kataku sambil ikut tertawa dan mencubit lengannya pelan.
“Sayang sekali ya hubunganmu dengan Shin harus berakhir? Padahal aku ingin bisa mengenal seorang pria yang menyukai puisi seperti kita,” katanya dengan nada sedikit sedih.
Aku mengangguk sambil tersenyum.“Itu yang terbaik buat kami berdua. Ada satu hal yang sangat mendasar yang membuat kami tidak bisa bersama. Lagipula, setelah hampir 2 bulan menjalin kasih, kami mulai kehilangan getar-getar perasaan yang membuat kami pada awalnya berpacaran. Kami merasa hubungan kami tak seindah seperti sebelum kami memutuskan untuk berada pada satu komitmen berpacaran. Maka berpisah adalah jalan terbaik yang kami pikirkan pada saat itu.”
“Tapi kau tahu? Setelah putus dengan Shin-ku, aku berhubungan lagi dengan seorang lelaki yang mungkin hampir mirip dengan Eri-mu.”
“Oh ya?” tanyanya dengan antusias.
Aku mengangguk. “Dia sangat menjaga penampilan. Of course, itu modalnya untuk menarik perhatian wanita, bukan? Tapi selama 6 bulan menjalin hubungan denganku, dia kerap kali meributkan masalah alat vitalnya yang berukuran kecil. Dia takut sekali tak bisa memuaskan pasangannya. Dan akhirnya aku hanya bisa berujar sok bijak bahwa kebahagiaan itu tidak dilihat dari seberapa besar ukuran alat vitalnya. Oh gosh, betapa salah besarnya aku ketika mengucapkan kata-kata itu,” kuluruskan kembali kakiku, lalu berbaring menelentang sepertinya. Kurasakan tempat tidur bergerak sedikit liar ketika tiba-tiba gadis itu membangunkan tubuhnya.
“Wakakakakaka. Kau tahu? Itu M-A-S-A-L-A-H, Ayaaa! Tujuh huruf dengan kapital. Ukuran itu menentukan kerasan atau enggaknya kita sama dia. Hahaha, kebalikan sama mantanku setelah Eri yang justru selalu membanggakan miliknya yang besar dan panjang. Ya Tuhaaan, aku beneran tak bisa menahan tawa!” gadis itu kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan posisi miring hingga wajah kami saling berhadapan. Untuk sejenak kami hanya saling berpandangan sebelum akhirnya derai tawa meluncur dari sudut bibir seolah hendak mengalahkan gemuruh hujan di luar sana. Kami sama terpingkal demi mengingat kembali obrolan kami yang sudah merembet kemana-mana.Hahaha, tapi setidaknya aku membuktikan kalau teoriku benar pada gadis itu,bahwa tak selamanya menguak kenang akan menghadirkan kristal bening yang menyulam renda di sudut bulu mata. Right?