Minggu, 30 November 2014

Mengais Maaf yang Tersisa

NB: Gambar diambil dari Google



     Kembali, riak-riak hujan mencumbu rekahan tanah akibat kemarau, menyulam senyum pada baris pepohonan di kiri kanan jalan sepanjang perjalanan menuju pulang. Sumringah dara remaja, memanggul kendi-kendi sajak berbingkai canda di selasar senja; menjaring makna di tingkap petang. Berkali kau membagi lirikan, berharap aku membuka jalan percakapan dan berbalas pandang. Namun sayang, untuk kali ini aku tak lagi mampu jadi pendahulu, mengajak engkau bertukar sapa bersahut kata, berbagi rerupa cerita tentang ilalang. Perih ini membuat berbilang waktu terlewatkan dalam episode diam yang nyata terpancang.

     Hening merajam, memaksa persada pikirku mengulang silsilah luka dalam rentang jarak. Di simpul ingatan, membayang remah noda yang menuai kecam tersalah pijak. Dengan dalih tak sengaja, lagi-lagi kau cipta luka serupa yang membuka kenang lama di setapak jejak. Sungguh, terkadang kukira kau benar-benar tak ingat bagaimana rasanya perih yang memilih hati sebagai muara untuk beranak-pinak.

     “Aku benci rintik hujan ini. Mengingatkanku pada luka yang berkali kucipta pada perempuan yang sama. Perempuan yang terlalu sempurna untuk kuhadiahkan nestapa sepanjang usia,” akhirnya kau membuka suara. Aku melirik sekilas tanpa selera. Lalu membuang pandang, tak ingin bertentang mata.

    “Aku selalu suka suasana hujan. Tameng terbaik untuk menyamarkan bebutir airmata. Pun pendengar setia yang tak akan menyela saat aku berteriak menyuarakan murka,” sahutku. Dan kau tergugu lagi tanpa suara. Mungkin kehilangan kata-kata.

     “Untuk airmatamu yang tumpah, permintaan maafku akankah mampu meredakan amarah?” tanyamu lagi setelah sekian lama merenung, memilih kata yang tepat untuk menguak bisu yang memasung.

     “Amarah sebab kau menyemai benih sengketa di sekeping hatiku yang kini tinggal remah sahaja? Amarah sebab kau selalunya membisu atas semua isyarat pedihku dan berlagak lupa akan ikatan tak kasat mata yang mengungkung kita, sebab tak ada sebentuk cincin pun melingkar di jari sebagai penanda? Amarah sebab aku merasa terbuang, meski sesungguhnya akulah sebelah rusukmu yang hilang? Amarah sebab kesekian kalinya kau dilanda penyakit lupa, bersikap biasa setiap kali kau merajah luka di perjalanan usia? Katakan, permintaan maafmu untuk amarah yang mana, Kanda?” aku menyeka airmata di penghujung tanya. Aduhai perih, kenapa tak lekas kau beralih?

     Lagi, kubuang pandang dan mematung. Memerhatikan gerbang senja tempat bernaung. Bougenvil jingga di sudut taman menebar rimbun di pagar yang terpasung. Selarik senyum simpul tersungging di bibir perempuan tua yang menyimpan dekik pipi di sebalik payung. Akan tetapi, tetap saja tak membuatku mampu meredakan amarah yang kembali menjelma diantara temaram yang melahap lembayung.

     “Aku minta maaf, Dinda. Untuk semua perihmu, kesakitanmu. Untuk semua airmatamu. Aku minta maaf,” kau beranjak dari dudukmu, bersimpuh memeluk kakiku yang menjelma arca, tak bergerak. Lara itu mengirim kepingan kenang ke sudut benak, memunculkan sebak. Berbilang purnama, kau mengebumikan sayap-sayap batin dalam kotak kematian sajak. Ingatan itu berlintasan, berbenturan dengan rak membeku dimana berlembar sejarah meruah tumpah seumpama embun di titian kelopak. Aku terperangkap, dalam bimbang tak berkesudahan untuk memberi sepenggal maaf sebagai penenang jiwa yang bergejolak.

     “Andai saja sehelai maaf mampu mengembalikan hati seperti semula, tanpa gurat luka…,” lirihku dalam berkata. Sebenarnya aku tak ingin menghukummu dalam sehampar sunyi yang membuat bayang purnama terlihat semakin nyata. Di sudut hati, masih bersisa setitik iba yang mengirim pesan ke ruang minda untuk melupakan noda yang kau rajah dengan sengaja. Mungkin itulah serpihan kecil cinta yang masih mampu memancarkan sinar di pelupuk mata, saat bagian yang lain kehilangan rasa. Entahlah, Kanda. Untuk sementara biarkan begini saja, beri jeda untuk kita agar bisa menerjemahkan makna dengan seksama. Beri waktu pada hati yang kau beri luka untuk berdamai dengan perasaan tanpa terpaksa, tanpa prasangka yang akan kembali membuat hilang percaya. Biarkan begini saja. 



Jumat, 28 November 2014

Sekali Ini Saja


NB: Gambar diambil dari funkytridoretta.worpress.com



Shin...

Aku hanya ingin menikmati senja denganmu, sekali lagi…

Sekali waktu, kukira kau tak lagi ingin mendengarkan nada-nada hujan yang mengeja hikayat luka di atap rumah. Mungkin biramanya sedemikian sumbang untuk hati-hati yang pincang. Atau mungkin kau memang tak pernah ingin membiarkan jejak kisah bertandang tanpa diundang, merobek luka lama seumpama tajam ilalang mengiris tungkai dara jelita yang malang.

Tapi aku ingin duduk di sini, selurus bayang mampu kupandang, setatap tikaman hujan mampu kusandang. Aku ingin di sini menyambut pesan alam lewat kepak sepasang bangau sebelum senja meminta pulang. Lembayung memang terlihat indah mendekap tiang-tiang perahu nelayan, dengan senandung kenang bertatah bimbang. Dan aku ingin kakiku tetap terpancang di sini, di sisi dermaga yang selalu lengang.

Kau lihat lentera di anjungan perahu itu? Kadang diam, kadang berayun dipermainkan angin petang. Entah berapa aksara bertebaran menjelma swargaloka kata di tirai tanpa ambang. Aku hanya ingin meminta sedikit waktumu, menemaniku di sini seraya memetik tangkai-tangkai bunga ilalang. Tak kuminta senja yang lain kecuali hari ini, sebab kau dan aku sama tak tahu kapan ajal menjemput badan.

Sementara membiarkan jejak kisah melandai di sepanjang pantai, aku tak pernah ingin membagi senjaku dengan yang lain. Cukup buatmu, seolah hela nafas dalam tiap nadi kehidupanku. Walau pada akhirnya jatuh, menitik, menembus sukma tanah, dan tak kembali padamu…


aku hanya terlalu menyayangimu
tanpa ingin membagi senjaku
untuknya, atau yang lain...



Quote: About Life


NB: Gambar diambil dari Google


Simple BYE make us CRY, 
simple JOKE make us LAUGH, 
simple CARE make us FALL IN LOVE, 
simple TOUCH make us FEEL BETTER, 
but simple HI will make us SMILE.


Quote: About Love


NB: Gambar diambil dari Google


Love is like a roller coaster. Once you have completed the ride, you want to go again!


Maka Kita Menangis

NB: Gambar diambil dari Google (crying in the rain by oloferla)


maka kita menangis, mengeja kenang berpayung gerimis

di bawah reranting jambu air, pada petikan
dawai gitar dalam dekapan malam. nada-nada alam yang
berhembus, melagukan harap. aku umpama bintang,
selayak puisi yang kau pinta tetap tinggal.

maka kita kembali menangis, mengeja kenangan berpayung hujan

di atas ranjang tua. kasur lusuh yang tak lagi
diketahui warna aslinya. mengurai kisah, mengapa
tak sedikit lagi mencoba, memahami senja yang tunduk
pada petuah langit. tak teraba nurani. sekali lagi.

maka
kita
?

Kupu-kupu Senja



NB: Gambar diambil dari Google


: Shin

Di tapak senja itulah kubina taman kecil; singgasana terindah untuk batang-batang ilalangku yang merapuh manakala hujan tak sudi bertandang menyapa subuh yang gaduh.
Pada tamadun petang itu pula kurenda gubuk mungil; pesanggrahan lelah untuk sepasang lebah yang menyaring madu setelah pagi menanak mimpi pada embun-embun yang luruh.

Dari sanalah aku mengenal engkau dalam balutan sepasang sayap hitam putih terkembang anggun, bergelayut manja di bawah helaian pucuk-pucuk buluh.
Tatapmu bergenang selaksa tanya tanpa setitik pertanda yang mampu kueja di garis-garis daun, pun tak engkau beri sekerat saja isyarat pada remang hari yang kian berembun.

Entah pedih selayak apa terhampar di muara airmatamu, yang akhirnya membuatku mengajukan tanya agar engkau luluh.
: Maukah engkau sejenak mengatupkan sepasang sayapmu, menemaniku duduk di sisi beranda; mengeja kenangan lusuh.



Sebelum jatuh?


Selasa, 25 November 2014

Quote: Broken Heart


NB: Gambar diambil dari Google


tak perlu kau sangkal dan mengatakan ini tidak benar: cintamu padanya pastilah teramat sangat besar. hingga luka hati sepeninggalnya hingga kini masih menganga lebar.

@Aya


Tiga Sajak Pendek Tentang Shin


NB: Gambar diambil dari Google


Shin, 
di wajahmu putik-putik nyeri berlomba memajang diri; memiuh jejak di sisa hari. menetak rindu di pinggiran hati agar rindu tak lagi pergi.

Shin,
dalam rindu paling syahdu, kau menjelma puisi di ujung kata; persinggahan rasa di telaga aksara, penawar dahaga di anjungan bahtera.

Shin,
selayaknya hujan, kurindukan engkau dalam tiap perjalanan kemarau. dalam genang yang melebur kenang. dalam rindu yang memagut waktu.


Quote: Kuasa Untuk Mengubah Ada di Tanganmu

NB: Gambar diambil dari Google


Hidup adalah serangkaian keadaan yang dapat kau ubah, tingkatkan, dan jadikan lebih baik dari hari ke hari. itu adalah keputusanmu; itu ada dalam tanganmu.

Seperti pembuat barang tembikar dengan jentera putarnya, kau adalah tenaga yang memutar dan menggerakkan tanah liat itu menjadi suatu benda yang indah.

Seperti kuas sang pelukis yang menggambarkan sesuatu yang segar dan baru dan indah, kau dapat menciptakan pemandangan paling indah untukmu.

(Barbara J. Hall)


Rabu, 19 November 2014

A Stupid Thing

NB: Gambar diambil dari Google


Mungkin aku yang bisa dikatakan gagal mengendalikan perasaanku, hingga setiap kali kau di dekatku aku tak kuasa membendung debaran yang seharusnya tak lagi ada. Bukankah sudah dengan sangat nyata kalau kau tak lagi memiliki perasaan apapun padaku, selain teman dekat, mungkin? Atau teman yang hanya kau ingat saat kau membutuhkannya.

Dengan bodohnya aku masih merasakan perasaan melambung ketika kau menelponku, menanyakan kabarku, mengajakku makan siang, bercerita hal konyol yang kau lakukan sepanjang hari. Lalu dengan tak tahu malu perasaan sakit bak ditikam trisula tak kasat mata itu hadir saat kau mulai bercerita tentang dia. Dia yang mungkin telah menggantikan kedudukanku di hatimu. 

Mengapa hanya aku yang dimanja harapan semu? Sedangkan kau telah melangkah maju dari halaman kitab masa lalu. Bagian mana yang salah? Ketidakmampuanku untuk mengajak hati berdamai agar tak terpengaruh dengan perhatian-perhatianmu lagi, atau memang sejak dulu perasaanmu tak cukup kuat untukku? 

Bisakah sekali saja kau peka pada perasaanku? Memahami untuk pertama sekaligus terakhir kali bahwa aku terluka, namun aku kehilangan kata untuk mengungkapkannya padamu. 

Kau begitu bersemangat untuk memahami bahasa tubuhnya, sedangkan bahasa diamku selalu kau artikan bahwa aku baik-baik saja.


***


NB: Hahaha, sungguh, aku sama sekali tidak sadar bahwa tulisan di atas adalah tulisanku sendiri. Saat membaca tulisan ini di Rumah Hujan, aku sempat menangis, lalu langsung mengirim pesan pada sahabatku. Tak tahunya dia bilang tulisan itu adalah karyaku, yang kukirimkan padanya dalam bentuk penggalan pesan singkat. Aish, mengapa aku sampai tidak menyadari ciri tulisanku sendiri?



Sebuah Kata Maaf

NB: Gambar diambil dari Google


: SK (lelaki senja pemilik segala cinta yang kupunya)


Shin, 
akankah dengan patahan ranting mahoni yang tersisa kau lukis paras rembulan yang tinggal sepotong di rahim waktu yang kerap melahirkan sajak-sajak nestapa? Berhentilah sejenak. Tanganmu semakin ringkih, tidakkah lelah merangkai kenangan tak sudah yang senantiasa memaksa perasaan mengirim semacam pesan ke sudut benak, lalu menitah ceruk mata untuk menjatuhkan bulir-bulir embun surga, selayaknya fragmen senja yang terkelupas dari bingkai masa? Sudah lima kali almanak berganti wajah, dan aku masih tenggelam dalam kubangan kenang hingga lupa memagari hati,  hingga sedih kerap bertandang mencipta gerimis yang menggenangi serambi lalu menelusup ke tiap sendi, ketika aku terdampar di rumah kayumu. Dan selalu, untuk sesaat aku kembali membiarkan sukmaku memaknai remuk redam, ketika sebentuk keegoisan menyeruak ke permukaan. Sebentuk perasaanini masih milikmu, hingga aku tak siap ketika perih menuntunku menelusuri bait-bait kisah yang kini tak lagi kau tujukan untukku.


Shin, 
dalam gelegak rindu paling biru, pada satu waktu, aku mengatupkan kedua tangan ketika lonceng gereja tua di sudut kota mulai berdentang, memohon pada barisan waktu agar selalu memeram rahasia kita, manakala sebelah tanganku terlalu gemetar untuk mengukir jejak di samudera hikayat. Dalam pinta yang tergagap kueja,  dalam potongan do’a tanpa amin yang kuulang pada birama yang sama, aku berharap agar kau dan aku semakin piawai merawat rerupa luka, melindungi daging segumpal yang bersembunyi di balik barisan tulang itu agar tak lagi merasakan perihnya peluh masa yang memandikan sayatan luka. Tertatih kurapal kata laksana mantera, tak lagi memanja perasaan,dan mencoba berjabat tangan dengan kenyataan.

Shin, 
bukankah rajah di telapak tangan kita memiliki sirat-sirat tipis serupa benang halus yang mengandung segantang makna, hingga tak usai kita bersahut kata? Tanyaku tak pernah mengenal ujung, berputar tanpa berminat diam menyuarakan ketidakmengertianku akan ketidaksanggupan untukmengubur sembilan belas abjad perangkai namamu ke dalam  genangan lumpur, lalu meninggalkannya tanpa sebarang tiang penanda. Mungkin, karena saat itu aku terlalu memercayaimu, hingga kutitipkan seluruh hatiku, tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan suatu hari kau juga yang akan membuatnya tinggal kepingan. Aku yang terlambat membuat perhitungan bahkan membela diri dengan menyalahkan keadaan yang menurutku bengis, karena membuatku kembali menangis. Betapa pandai lidahku merajut kilah, membuatmu tampak sebagai pihak paling bersalah, hingga aku melupakan kenyataan: benih dusta itu, akulah penaburnya!


Shin, 
untuk semua kecewa yang pernah kutoreh atas nama waktu, sebuah kata maaf, masihkan akan memilki makna bagimu?




Arti Diamku

NB: Gambar diambil dari Google



Pulang sekarang juga!

Aku sedikit mengerutkan kening membaca pesan singkat dari gadis yang kuklaim sebagai separuhku itu. Apa maksudnya dengan seenaknya memintaku pulang,sementara dia tahu persis betapa sibuknya aku? Terlebih menjelang akhir tahun seperti ini. Kesibukanku akan semakin menggunung. Dan apa-apaan itu? Tanda seru di ujung kalimatnya cukup membuat mataku iritasi. Sebuah perintah yang tak boleh diabaikan. Haaah, aku bukan dirinya yang seorang penulis dengan jam kerja yang bisa dia atur semaunya.

Jangan bertanya apa pun. Pulang sekarang!

Muncul pesan kedua. Dan aku mengedarkan pandanganku ke setiap jengkal ruangan kantorku. Jangan-jangan gadis tengil itu memasang kamera tersembunyi lagi di dalam ruanganku ini, sehingga gerak-gerikku terbaca jelas. Ah, tidak mungkin! Aya tak mungkin melakukan hal sekonyol itu. Gadis itu hanya terlalu mengenalku, karena itu ia seolah bisa membaca isi pikiranku. Dan sekarang, apa yang harus kulakukan? Menuruti keinginan gadis aneh yang sebut sebagai separuh jiwaku yang otomatis membuatku juga terlihat aneh itu, atau tetap berkutat dengan pekerjaanku? Apa yang harus kukatakan pada Big Boss, atasan super galakku? Aaarrrggghhh, kau membuatku tak punya pilihan, Aya!

Kusambar  tas tanganku yang terdiam anggun di tepi meja kerjaku, memasukkan beberapa barang penting, lalu menyambar kunci motorku. Sejenak aku melirik tumpukan kertas di atas meja yang menanti sentuhan tanganku. Ucapkan selamat tinggal pada kertas-kertas itu, Wa, batinku.

Aku memutuskan untuk menuruti permintaan Aya. Setelah kupikir kembali, gadis itu tidak akan pernah memintaku melakukan sesuatu tanpa alasan yang jelas.

“Kau terlambat 10 menit 15 detik,” sambutnya saat aku tiba di muka pintu.

Demi jenggot Dylan, pria Bali yang menjadi kekasihnya, ingin sekali kukemplang kepala gadis itu dengan tas tanganku.

“Apa kau pikir aku pulang lewat jalur khusus yang kau bangun hingga kau berharap aku tiba di rumah tepat waktu? Dan menurutmu, aku tidak perlu melimpahkan pekerjaanku kepada stafku sebelum pergi? Begitu?” aku menggertakkan gigi, menahan geram.

“Seharusnya tak perlu. Dengan bakat terpendamku sebagai aktris, aku sudah menghubungi PakTua, boss-mu yang galak itu. Dengan nada suara yang kubuat se-memelas mungkin, aku mengatakan padanya bahwa aku sangat membutuhkanmu saat ini. Dan pria tua itu termakan tipuanku. Dia bahkan mengijinkanmu libur sehari,” jawabnya enteng sambil tersenyum.

“Apa?!!Katakan sekali lagi!” 

Gadis nekad, batinku. Dia melakukan itu? Ck….

“Masuklah!Ganti pakaianmu, lalu ikut aku,” perintahnya. “Dan aku tak menerima pertanyaan apa pun saat ini.”

Aya sukses membungkam mulutku yang baru saja hendak meloloskan sebuah tanya.

Aku berganti pakaian santai dengan cepat, lalu menemuinya yang selalu terlihat pas mengenakan kaos putih bergambar Mickey Mouse dipadukan dengan celana ¾ serta sepatu kets, dandanan kebanggaannya yang tak pernah ribet soal penampilan.

Gadis itu memasangkan ransel di punggungnya, entah apa isinya. Jangan sampai dia mengajakku kemping lagi, batinku. Oh ayolah, siapa pekerja yang memilih kemping pada hari Selasa, maksudku.

“Jangan kuatir, aku gak akan mengajakmu kemping, kok,” katanya santai tanpa melihatku. Tuh, kan? Apa gadis itu menanam semacam chip di otakku, agar mudah untuk membaca pikiranku.

“Dan jangan berpikir aneh-aneh soal kemungkinan aku menanam chip di otakmu,”sambungnya yang membuatku ternganga. 

Akhirnya kuputuskan untuk mengikuti langkah ringannya yang mengajakku entah kemana. Kami berjalan dalam diam, menelusuri jalan kecil di belakang rumah yang di sisi kiri dan kanannya ditumbuhi tanaman bunga matahari. Aku tak bertanya apa-apa lagi pada Aya, meski keningku berkerut juga. Setahuku, hanya ada bukit dengan pepohonan jarang yang akan kami temui di depan nanti. 

“Kau tahu….?” Gadis itu menghentikan ayunan langkahnya. Ia membetulkan posisi ranselnya sebelum berbalik dan menatapku.

“Tidak,” jawabku sok polos dengan maksud menggodanya. Kepalaku turut menggeleng, sebagai penegasan ketidaktahuanku.

“Tentu saja kau tak tahu. Kalau kau dengarkan baik-baik, setelah kalimat tanya itu aku memberikan jeda sejenak yang artinya aku akan menyambung pertanyaan awalku. Tapi kau – seperti kebiasaanmu – lebih dulu memotong ucapanku,” jelasnya. Aku terbahak menemukan sudut siku-siku di kening mulusnya. Menggoda Aya terkadang menjadi suatu hal yang menyenangkan.

“Baiklah, baiklah. Maaf,” aku mengangkat kedua tanganku. “Lantas, apa yang ingin kau tanyakan, atau katakan?” lebih baik mengalah dan mengembalikan topik pembicaraan pada awalnya daripada memancing kemarahannya. Itu satu hal yang selalu kuingat dengan baik. Aya yang sedang marah lebih mengerikan daripada singa betina yang sedang lapar. Tanyakan itu pada Dylan kalau kau tak percaya.

“Kemarin aku tidak sengaja menonton sebuah drama dari Negeri Ginseng. Dan aku menemukan percakapan antara dua orang lelaki di dalamnya. Meskipun sebenarnya kalau disebut percakapan juga kurang tepat, karena lelaki yang  satu ini digambarkan sedang membaca sebuah surat dari lelaki lainnya. Dalam suratnya, lelaki itu menuliskan,”Maafkan adikku yang telah menyukai wanita yang kau cintai.” Aha, lalu tiba-tiba pertanyaan ini terbersit di benakku. Bisa kau bayangkan jika ada seorang wanita menemui pria lain dan berkata,”Maafkan suamiku karena mencintai wanita yang kau nikahi.” Bagaimana menurutmu?”

Ya Tuhan, Aya! Aku mengerjab takjub dengan pemikiran gadis itu yang terkadang suka memikirkan hal-hal yang tak terpikirkan oleh orang lain. Sejurus aku terdiam,memikirkan jawaban yang tepat untuk kuberikan. Kutatapi wajah gadis itu lekat-lekat, membaca emosi yang tergurat di sana.

Well, kurasa aku lebih tidak bisa membayangkan seandainya ada seorang wanita yang menemui wanita lainnya dan berkata,”Maafkan suamiku karena mencintai lelaki yang menikahimu.” Kau juga berpendapat sama, kan?” tanyaku. Aya terperangah. Bola matanya yang berwarna coklat membulat sempurna. Kukira gadis itu untuk selanjutnya akan melontarkan kecaman atas jawaban ngawurku. Tak kusangka jika ia kemudian tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Ransel di punggungnya terguncang-guncang.

“Kau benar.” Ia menyambung tawanya. “Aku juga tak bisa membayangkan jika hal itu benar terjadi,” seolah penyakit menular, tawanya membuatku merajut hal serupa. Aku tertawa terbahak-bahak di sampingnya.

“Haaah,rasanya sudah lama sekali aku tak mendengar kau tertawa lepas seperti ini,” sambungnya. Aku mendadak terdiam dengan hati membenarkan perkataannya. Kapan terakhir kalinya aku tertawa selepas ini? 

Aya kemudian kembali memutar badannya, dan mengayunkan sepasang kakinya, melanjutkan perjalanan. Aku pun melakukan hal yang sama. Namun kali ini, tak ada lagi pembicaraan yang terjadi di antara kami. Aku dan Aya dikerangkeng sunyi.

“Taraaaaaaaaaaaa…! Kita sampai!!!” seru gadis itu tiba-tiba dengan nada riang setelah hampir setengah jam lebih kami memutari bukit itu.

Pemandangan yang terhampar di depan mata membuatku ternganga. Sebuah padang ilalang luas yang sedang berbunga. Bunga-bunganya yang bertangkai panjang memutih, tampak seperti permen kapas di tangan mungil para peri, dan terlihat lembut jika disentuh.

“Indah, bukan?” bisiknya saat aku telah berdiri tepat di sampingnya. Aku tak menjawab, tapi aku yakin dia puas melihat binar mataku saat melihat padang ilalang di depan kami ini.

“Aku gak sengaja menemukannya saat mengejar Francois beberapa waktu yang lalu,” katanya sambil tertawa renyah.

Francois? Aku langsung teringat pada anak anjing dengan bulu tebal berwarna putih pemberian Dylan, kekasihnya.

“Menurut artikel yang kubaca, sekarang adalah saat puncak ilalang-ilalang ini berbunga. Besok mereka sudah mulai berguguran. Karena itulah aku memaksa kau ke sini hari ini,” jelasnya sambil melepaskan ransel dari punggungnya, dan meletakkannya di ujung kakinya.

“A-aku…,” kata-kataku terpatah. Aku tak tahu kata apa yang harus kupilih untuk mewakili perasaanku.

Gadis mungil di sampingku itu tersenyum, sembari menyatukan jemarinya dengan jemariku. “Tak usah berterima kasih. Aku tahu hanya ini yang kau butuhkan saat ini. Beristirahatlah sejenak, bebaskan pikiranmu. Aku mau mengabadikan pemandangan langka ini melalui goresan kuasku.”

Aku mengerutkan kening. “Kau mau melukisku?” tanyaku, sambil melepaskan tautan jari kami dan duduk di antara bunga ilalang yang berwarna putih itu, mencoba mencari posisi senyaman mungkin.

“Aku tak bilang ingin melukismu, tapi kalau kau ingin jadi relawan yang menyumbangkan separuh badan untuk obyek lukisanku, aku sih gak keberatan,” balasnya dengan nada menyebalkan.

Aku terbahak dan langsung berlari untuk menggelitiki pinggangnya karena gemas. Dan tawa kami pun terbang terbawa angin padang ilalang yang berhembus kencang, menerobos di antara dedaunan dan bebatuan.

Sungguh kau separuhku. Kau  bahkan mampu mengartikan bahasa diamku dengan sempurna. Tak cukup kata terima kasih untukmu, Aya. Tak akan pernah cukup.




Mantan Terindah

NB: Gambar diambil dari Google




A story by me and my other half

Hujan tiba-tiba bertandang tanpa diundang. Memberi ketukan-ketukan dengan irama senada pada kaca jendela yang perlahan mengembun. Pada petak-petak ubin di luar, telaga-telaga mungil yang tersamar seolah berlomba menampakkan rupa. Buru-buru kututup tirai berwarna hijau lumut yang menggeliat manja dicumbu angin, lalu beralih menatap seorang gadis yang ku-klaim sebagai separuh jiwaku, yang berbaring menelungkup di atas ranjang beralaskan satin sambil menopang dagu dengan kedua tangannya.

Sebuah album usang bersampul biru dengan warna yang mulai memudar terhampar di depannya. Kuarahkan kakiku,mendekatinya, lalu duduk di tepi pembaringan.

“Apa yang kau lakukan?” tanyaku dengan rasa penasaran membuncah, menampar-nampar sisi benak.

“Membuka kembali lembar kenang,tentangku dan Eri,” sahutnya tanpa mengalihkan pandang. Tangan kanannya yang semula menopang dagu perlahan turun dan mulai membalikkan satu-persatu halaman album foto itu.

“Ah…! Mantan terindah!” seruku dengan raut wajah menunjukkan ketertarikan. “Ceritakan kembali padaku soal dia,”pintaku bersemangat sembari menyandarkan punggung di kepala tempat tidur.

Gadis itu menghentikan gerakannya, lalu menatapku. Nuansa suram mendadak menyelimuti pancaran matanya yang seolah berkata kau-tahu-betapa-sakitnya-menguak-kenang. Kuberikan senyum terbaikku yang selama ini tak pernah gagal untuk meyakinkannya, bahwa semua akan baik-baik saja. Akan kubuat ia menanak kenang tak lagi dengan belanga duka.

“Aku akan ceritakan tentang Eri,kalau kau juga mau menceritakan padaku tentang Shin-mu,” tawarnya. “Kau tahu, aku sangat penasaran dengan mantanmu yang satu itu. Kau sangat pelit untuk menyulam tutur kalau sudah menyangkut Shin.”

Deg!

Aku terdiam sesaat. Sedikit keberatan, namun akhirnya kuanggukkan kepalaku. Menyetujui tawarannya.

Perlahan gadis itu menghela napas panjang, sebelum mulai bertutur. “Eri adalah satu-satunya kekasih yang pernah menulis puisi untukku. Tak seperti kau yang beruntung medapatkan mantan dengan keahlian meramu kata bak pujangga, mantan-mantanku tak ada yang berjiwa seni. Dan kembali pada puisi yang Eri tulis, isinya sangat pas dengan kata pepatah: jauh panggang dari api, alias gak nyambung,” tuturnya sambil sedikit tersenyum.

“Eh? Kok bisa?”

“Tentu saja. Dia membuatkan sebuah puisi saat kami sedang berada di pinggir pantai dan memakan semangkok ice cream berdua. Alih-alih menulis keindahan pantai dan kebersamaan kami, dia malah menulis tentang warna dan rasa ice cream di dalam mangkok,”terangnya sambil cemberut. Mataku membulat sempurna mendengar penjelasannya, sebelum akhirnya tawaku pecah, menyaingi derap hujan.

“Hahaha, well, setidaknya dia sudah berusaha, walau gagal,” jawabku sambil terus tertawa.

Separuhku ikut tertawa, sebelum melanjutkan ceritanya. “Aku dan Eri itu seperti Tom dan Jerry. Kami ribut tanpa mengenal tempat. Meskipun begitu,teman-teman kami tahu kalau kami berdua saling menyayangi. Yaaah, cara kami berdua mengungkapkan perasaan memang sedikit berbeda dari pasangan lainnya.Kalau menggunakan persentase, maka sisi romantis kami hanya 20 persen, sisanya ngelawak,” katanya memberi jeda sambil terkekeh pelan. “Dia tipikal pria yang acuh tak acuh di depan orang banyak, tapi pada saat sedang berdua dia bisa berubah menjadi sosok yang begitu posesif,” lanjutnya.

Gadisku memiringkan tubuhnya menghadapku, dengan tangan kiri menopang kepalanya. 

“Lalu Shin-mu? Bagaimana dia?” tanyanya sambil tersenyum menggoda.

Aku tersenyum kecil dan menerawang, mencoba menggali kenanganku bersama lelaki itu. Shin-ku. Ah, bahkan sekedar menyebut ulang namanya di dalam hati membuatku ingin tersenyum.

“Mmmm…, Shin-ku tipikal lelakiyang jarang mengumbar kata cinta. Dia lebih memilih mengungkapkan perasaannya melalui lirik-lirik lagu yang ia ciptakan. Ia tak menyukai kekasih yang posesif, bahkan terkadang menolak perhatian. Di awal-awal hubungan kami, aku cukup sering mengiriminya sms sekedar menanyakan apakah ia sudah makan atau belum,dan sejenisnya, dan kau tahu reaksinya? Ia terus terang mengatakan ketidaksukaannya. Sejak saat itu aku tak lagi mengiriminya sms ataupun menelpon, hingga akhirnya 5 hari kemudian dia yang blingsatan menghubungiku,hahaha,” aku tertawa renyah mengingat kembali tentang lelaki itu.

“Kok bisa? Kalau Eri…, handphone-ku bisa meledak kalau sehari saja aku nggak kasih kabar ke dia. Hampir sama sih denganku, aku selalu panik kalau dia tak memberi kabar,” jelas gadis berkacamata di depanku itu. Ya, aku percaya. Separuhku itu memang memiliki sifat panik yang kadarnya menurutku berlebihan. Entahlah, itu salah satu kelebihannya atau kekurangannya.

Gadis itu lalu kembali menelungkup dan membuka lembar lain dari albumnya. “Lihat ini, Eri-ku sangat menjaga penampilan. Bukan maksudku memuji berlebihan, tapi dia selalu rapi dan wangi. Dia suka pakai parfum atau cologne, dan selalu ribut kalau dua barang itu habis,” katanya sambil menunjuk pada sebuah foto sambil tertawa.

“Kebalikan dari Shin,” sambungku.“Shin suka tampil seadanya. Cenderung slebor, menjurus ke slengean. Celana jeans berkaki lebar dengan kaos putih kurasa penampilan terbaiknya. Terkadang, dia akan memanjangkan jenggotnya,membuat tampangnya terlihat semakin menyeramkan. Dengan rambut ikalnya yang mirip sarang burung itu, ditambah jenggot pula, kurasa kau bisa membayangkan seperti apa rupanya. Tapi entah kenapa, aku selalu takluk dengan pria model begitu,” kataku.
Gadis yang selalu mengikat rambutnya dengan gaya ekor kuda itu terpingkal-pingkal mendengar penuturanku.

“Kau tahu, Shin itu memiliki tubuh yang tinggi menjulang seperti jerapah. Kalau berjalan bersisian, kami akan terlihat seperti jari jempol dan telunjuk. Hal itu yang terkadang membuatku sering berjalan mendahuluinya,” lanjutku sambil menutup mulut,menahan tawaku yang juga ingin meledak mengakhiri penjelasanku yang cukup panjang.

Kedua bola mata soulmate-ku itu membulat.

“Benarkah?!” serunya. Dia membalik posisi tubuhnya menjadi telentang. Kelopak matanya terpejam sebentar sebelum kembali terbuka untuk meneruskan ceritanya. Senyum tipis terukir di bibirnya yang dibiarkan polos tanpa polesan pemerah bibir.

“Kalau kumat genitnya, Eri juga suka pelihara jenggot. Nggak tebal sih, cuma tipis aja. Dia selalu suka menggesekkan ujung dagunya di ubun-ubunku saat dia sedang memelukku dari belakang. Satu hal yang tak pernah dia lewati saat kami sedang berdua,”kenangnya. “Orang yang melihat kami begitu pasti akan merasa seperti sedang mendapatkan pertanda buruk, mengingat kami yang biasanya selalu ribut di mana saja kapan saja,” katanya lagi sambil tertawa.

So sweet,” balasku. Aku ikut merasakan kegembiraannya saat menceritakan masa lalunya bersama orang yang sangat ia cintai, mungkin hingga hari ini.

“Shin tak terlalu suka melakukan kontak fisik di depan publik, palingan hanya sebatas berpegangan tangan saja. Tapi itu sudah sangat luar biasa untukku. Aha, ciuman pertamaku dan Shin di depan umum itu terjadi pada suatu senja saat kami menikmati keindahan purnama yang tercetak sempurna di atas Danau Toba. Aku yakin saat itu wajah kami sama-sama memerah. Tapi untunglah suasananya cukup gelap. Kalau tidak aku tak bisa membayangkan betapa kikuknya kami saat melewati pasangan lain yang juga sedang menikmati suasana serupa,” ujarku.

Tiba-tiba aku terlonjak, setengah tertawa aku bertanya pada separuhku. “Kau sadar nggak sih kalau kita benar-benar soulmate?”

“Maksudmu?” tanyanya bingung seraya mengerutkan kening.

Aku melipat kedua kakiku di atas ranjang dan duduk bersila sambil menatapnya. “Coba kau dengar ini, Eri Satria dan Herry Shinatria, mirip kan? Walau aku selalu kesal kalau mengingat nama Satria,” sungutku.

“Kesal kenapa?”

“Namanya sama dengan lelaki yang terus berusaha merebut perhatianmu itu. Lelaki yang selalu mengirimimu puisi itu,” aku menjawab sambil cemberut.

Kali ini dia kembali tertawa. “Oh ayolah, kau masih kesal dengan dia? Satria yang itu, aku berteman dengannya di facebook karena kupikir dia akan bisa sedikit saja menggantikan Eri-ku karena nama akhirnya yang sama, tapi ternyata aku tertipu oleh kesamaan nama mereka.”

“Aissshhh…, dasar kau,” kataku sambil ikut tertawa dan mencubit lengannya pelan.

“Sayang sekali ya hubunganmu dengan Shin harus berakhir? Padahal aku ingin bisa mengenal seorang pria yang menyukai puisi seperti kita,” katanya dengan nada sedikit sedih.

Aku mengangguk sambil tersenyum.“Itu yang terbaik buat kami berdua. Ada satu hal yang sangat mendasar yang membuat kami tidak bisa bersama. Lagipula, setelah hampir 2 bulan menjalin kasih, kami mulai kehilangan getar-getar perasaan yang membuat kami pada awalnya berpacaran. Kami merasa hubungan kami tak seindah seperti sebelum kami memutuskan untuk berada pada satu komitmen berpacaran. Maka berpisah adalah jalan terbaik yang kami pikirkan pada saat itu.”

“Tapi kau tahu? Setelah putus dengan Shin-ku, aku berhubungan lagi dengan seorang lelaki yang mungkin hampir mirip dengan Eri-mu.”

“Oh ya?” tanyanya dengan antusias.

Aku mengangguk. “Dia sangat menjaga penampilan. Of course, itu modalnya untuk menarik perhatian wanita, bukan? Tapi selama 6 bulan menjalin hubungan denganku, dia kerap kali meributkan masalah alat vitalnya yang berukuran kecil. Dia takut sekali tak bisa memuaskan pasangannya. Dan akhirnya aku hanya bisa berujar sok bijak bahwa kebahagiaan itu tidak dilihat dari seberapa besar ukuran alat vitalnya. Oh gosh, betapa salah besarnya aku ketika mengucapkan kata-kata itu,” kuluruskan kembali kakiku, lalu berbaring menelentang sepertinya. Kurasakan tempat tidur bergerak sedikit liar ketika tiba-tiba gadis itu membangunkan tubuhnya.

“Wakakakakaka. Kau tahu? Itu M-A-S-A-L-A-H, Ayaaa! Tujuh huruf dengan kapital. Ukuran itu menentukan kerasan atau enggaknya kita sama dia. Hahaha, kebalikan sama mantanku setelah Eri yang justru selalu membanggakan miliknya yang besar dan panjang. Ya Tuhaaan, aku beneran tak bisa menahan tawa!” gadis itu kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan posisi miring hingga wajah kami saling berhadapan. Untuk sejenak kami hanya saling berpandangan sebelum akhirnya derai tawa meluncur dari sudut bibir seolah hendak mengalahkan gemuruh hujan di luar sana. Kami sama terpingkal demi mengingat kembali obrolan kami yang sudah merembet kemana-mana.Hahaha, tapi setidaknya aku membuktikan kalau teoriku benar pada gadis itu,bahwa tak selamanya menguak kenang akan menghadirkan kristal bening yang menyulam renda di sudut bulu mata. Right?



Puisi Bulan April, Untukmu

NB: Gambar diambil dari fp Gothic & Fantasy Art

Teruntuk April, dengan jerat purba tentang hikayat duka seorang hawa,  pada senja penghujung usia.

April, aku benci mengeja sepi yang terpahat di ceruk matanya, sebab hadirmu pada bilangan almanak senantiasa mengaburkan pendar indah yang selama ini terbingkai di sana. Pada bening yang merayap perlahan menuruni lereng pipinya, adalah lirik sedih yang tergagap kubaca.  Serupa kuncup-kuncup luka yang terbuka manakala sekeranjang kenang datang bertandang, mengetuk pintu liang ingatan.

April, di lengkung masa, remah-remah peristiwa berloncatan memutar melodi luka.  Dan aku, hanya mampu termangu tanpa kata. Tak mampu kuhadang panah risau yang berlomba mencipta igau, kelopak-kelopak kerinduan masa lampau, tentang cinta yang galau.

April,  pada jejak-jejak airmata yang tersisa, terkadang kesedihan merupa hujan. Memberi kecupan basah pada tanah, rerumputan, dedaunan gugur, pun bebatuan. Mungkinkah pada kedatanganmu kali ini, kesedihannya hanya menumpang sebentar dalam siklus kehidupan yang akan terus berputar?

Ah, April. Betapa aku membenci guratan lara yang masih akan terpahat di ceruk matanya hingga penanggalanmu berganti. Tapi tetap terselip harapku, agar segala kenang buruknya biarlah menjadi sejarah di tingkap waktu yang renta.