Aku mengeja bilangan almanak, dengan nyeri merupa jejak. Di tingkap waktu, kenangan menjelma gerimis, melodi usang dengan lakon puitis dari pelupuk bergenang tangis. Di bingkai suaka, hanya fragmen buram berloncatan dengan kisah seorang perempuan yang mengayam tanya di sudut ingatan: apa yang tersisa dari sebuah pertemuan?
Sudahlah, katamu. Tak elok memungut aksara yang berserakan di sempadan petang, pada senja yang mencelup siang. Sepanjang jazirah perjalanan pulang, bunga-bunga ilalang memutih menanti jamah di riak linang, mengapa tak kau petik barang setangkai ?
Aku mengeja bilangan almanak, dengan geletar luka di simpul benak. Hikayat menjelma repihan kenang yang luntur dalam dekapan lumpur, yang tersungkur dalam rengkuhan dedaun gugur. Sementara di ujung sekat yang melalap harap tanpa perekat, peta perjalanan tak lagi memiliki jalan sekadar prasasti bisu penunjuk arah: pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar