NB: Gambar diambil dari Google
Kepada lelaki dengan tutur sebening embun berpigura langit pagi,
Tak akan pernah lagi ada embun dalam sepucuk do'aku setiap subuh yang datang tanpa gaduh. Embun yang pernah kucintai, namun tak memilihku menjadi teman pagi-nya. Embun yang pernah kudamba hadirnya manakala malam menjelma pagi, namun tak menetapkan pandang padaku. Semua telah usai. Bak lakon satir di atas panggung pertunjukan, layar-layar telah pun tergulung, dan penonton satu-persatu melangkah gontai meninggalkan bangku-bangku kosong, menyisakan bungkus-bungkus makanan, puntung rokok, pun botol-botol minuman di kolong-kolongnya yang renta. Kaki-kaki bangku yang mulai menua, menyiratkan nestapa sepanjang usia.
Tak akan ada lagi jendela-jendela yang terbuka pada fajar pukul lima, ataupun tadahan tangan ketika surya mulai berkunjung, menanti titik embun jatuh ke riba. Pada jejak-jejak yang tertinggal di celah purnama yang lelah, aku telah mengucapkan salam perpisahan dengan retakan hati yang tak ingin kutampakkan. Biarlah waktu mengajarkanku memaafkan segalanya. Memaafkan kealpaan yang kerap bertandang tanpa diundang, juga memaafkan perasaanku. Belajar berjalan kembali, tanpa tertatih. Belajar tersenyum kembali, dan tak menoleh pada langkah yang tertinggal di belakang punggungku.
Kepada lelaki dengan berlarik janji dalam kalungan puisi,
Aku tak ingin mengingkari apa-apa, meski senantiasa guratan luka menimbulkan pedih di hati manakala mengingatmu. Ataupun menyebut namamu. Aku pernah sesaat merasakan bahagia denganmu. Walau aku tak tahu apakah ketika itu tulus atau tidak, namun aku tak akan mengingkarinya. Engkau pernah sesaat menghadirkan warna putih dalam kanvas kehidupanku yang penuh coretan. Suatu masa yang tak akan berulang, pun tak kuinginkan terulang. Aku tak ingin mengingkari masa lalu. Melenyapkanmu sama artinya mengingkari keberadaan masa laluku, meski masa lalu itu adalah hal yang ingin kututup selamanya dari gerbang ingatanku. Bukan tak rela, melainkan aku tak ingin tambah menyakiti hati yang lain jika masih saja mengenangmu. Engkau dan aku adalah kisah masa lalu, sedang engkau bersamanya adalah kisah masa depan. Maka seyogyanya aku mengalah, lebih tepatnya mengalahkan ego-ku, dengan menutup rapat-rapat tentangmu.
Memang bukan yang pertama, namun kuharap ini yang terakhir. Aku telah teramat lelah, dan rasanya tungkaiku tak lagi kuasa mendaki ke puncak. Aku ingin berhenti sejenak. Tak untuk menangis, tapi beristirahat. Pun aku lelah menangis, walau menangis adalah salah satu jalan efektif untuk melonggarkan sesak di dada. Meski menangis dapat membuat perasaanku jauh lebih lega. Tapi apa yang harus kutangisi ? Aku tak kehilangan apa-apa. Paling-paling tak ada lagi seseorang yang akan kukirimi sms tengah malam buta dengan canda yang nyata, tak ada lagi seseorang yang akan kutelpon di pagi buta, tak ada lagi seseorang yang akan kubuatkan sebuah prosa. Ah, bukankah seharusnya aku mensyukuri dengan berlipat-lipat rasa syukur, karena aku diberi ganti berupa bidadari-bidadari cantik yang bisa menggantikan itu semua? Aku diberikan adik perempuan, tak hanya satu, melainkan banyak. Adik perempuan yang tak pernah kumiliki dalam kehidupan nyata. Bahkan aku mendapatkan seorang kakak, sosok yang juga tak kumiliki, setelah kakak kandungku berpulang sedari bayi.
Kepada lelaki dengan taburan kata berpagar madu cinta,
Aku berbohong jika kukatakan aku baik-baik saja. Tak ada yang baik-baik saja, ketika seseorang yang padanya pernah kita sematkan segenap kepercayaan, segenap hati dan harapan, tanpa alasan jelas meminta untuk mengakhiri semuanya. Aku sempat kalap. Kuletakkan kenyataan bahwa engkau men-dua, men-tiga, atau bahkan men-empat sekaligus pada sudut paling pojok dalam logika berpikirku. Itu bukan kau: satu-satunya hal yang kuharap adalah nyata. Tapi kenyataan memang menonjokku sedemikian rupa. Aku tak marah pada pengakuanmu. Tidak sama sekali. Bukankah aku tertawa mendengarnya? Antara miris dan tulus, kukira tak beda jauh kedengarannya di pesawat telepon. Tapi intinya: aku tertawa. Entah apa yang kutertawakan. Mungkin lebih pada perasaan puas bahwa pada akhirnya aku tak lagi harus selalu meminta izin untuk bertanya tentang si A, si B, atau si C padamu. Tak perlu lagi.
Aku yang terlalu pandai berlakon dalam menyembunyikan perasaan, ataukah memang hatimu telah diberi suntikan pemati rasa, sehingga dengan entengnya kau meminta maaf padaku hanya melalui sebaris pesan singkat? Memintaku memaafkanmu, mengikhlaskan semuanya, dan mendo’akanmu bahagia. Dan, apa katamu? Kau telah menambatkan hatimu pada seseorang. Hebat sekali. Ingin rasanya bertepuk tangan panjang untukmu. Standing applaus kalau boleh. Hampir berbusa mulutku berkata sedari awal, bahwa jika alasanmu meminta berpisah adalah karena kau telah menemukan orang lain, maka aku dengan ikhlas melepaskan. Tetapi kenapa selalu kau sangkal? Belum genap seminggu kau memutuskanku, dan dengan segera memproklamirkan hubunganmu? Hatimu mendadak jadi batu? Jika ini kau maksudkan untuk tidak menyakitiku, maka sepertinya aku harus membuat pemberitahuan sebesar-besarnya padamu: caramu teramat sangat menyakitkan hatiku!
Kepada lelaki dengan mahkota dusta bertatah airmata,
Begitu selalu kehidupan berputar. Sesaat kita tertawa bersama, dan kali lain kita menangis masing-masing. Diaturnya pertemuan, lalu dirancangnya sebuah perpisahan: yang baik, dramatis, juga tragis. Siapalah kita dalam samudera keluasan jagad Sang Khalik? Tak lebih hanya sebutir debu. Pada akhirnya, kita tetap akan sendirian menghadapi apapun. Sama halnya seperti ketika kita dilahirkan Bunda, seperti itu pula ketika jasad kita dimasukkan ke keranda. Selalu sendiri. Bukankah tak ada yang perlu ditakutkan dengan suatu kesendirian?
Tak ada lagi embun dan senja. Senja tetap senja. Embun tetap embun. Masing-masing mereka adalah dua hal yang sejak awal telah kita yakini tak akan dapat dipersatukan. Hal yang pernah coba kita dustakan dahulu. Mencoba membangun persisian untuknya, meski nyatanya, hasilnya sia-sia. Kita memang tak pernah sama memaknai pertemuan, perpisahan dan saat-saat kita jatuh cinta, kan? Aku memaknainya dengan caraku, sementara engkau memaknainya dengan caramu. Tak ada yang perlu kusesali dari sebuah perpisahan, sebab dengannya aku bisa belajar memaknai indahnya kebersamaan bersama orang-orang yang kucintai, dan dengan tulus mencintaiku. Memaknai indahnya sebuah pertemuan, dan fragmen-fragmen hidup yang kadang berloncatan menjelma kenangan.
Kepada lelaki yang pernah kucinta, namun tak ingin kumiliki kembali,
Kembalilah menjadi embun, tetap berkilau, walau kadang debu mencoba menutup beningnya, walau mentari tak henti memadamkan pijarnya. Padamu, kuucapkan selamat tinggal yang tak pernah sempat kuucapkan. Padamu juga, kutitip sebuah pesan, meski aku tahu tanpa aku harus memintanya padamu pun engkau akan melakukannya, tolong jaga hati seorang hawa yang kini mendampingi-mu, mengisi hari-hari bahagia bersama-mu. Jangan pernah menyakitinya, seperti engkau menyakitiku. Jika bersamaku kakimu melangkah di jalan salah, maka kuharap bersamanya dapat membawamu ke jalan yang sebenarnya.
Masa lalu ataupun masa depan adalah sebuah pilihan, bukan?
Selamat tinggal…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar