Di bawah pohon rindang satu-satunya yang sering kita lewati dalam perjalanan pulang dan pergi itu, Wa, akan kubangun sebuah tenda yang ujungnya kuikat pada tiap cabang pohon, dimana kenangan berlarian berlintas usia. Lalu kubentangkan sebuah kain di atas rerumputan, mengajakmu mengeja bahasa langit. Hanya berdua…
Masihkah kau ingat ucapanku beberapa waktu yang lalu itu? Di suatu pagi hening, di beranda belakang rumah yang kita jadikan ruang sarapan ketika kelintingan besi yang kita pasang diam mematung tanpa sapa angin. Di antara dua cangkir berisi teh hangat yang tinggal separuh, dan dua piring omelet daging sapi yang nyaris tak bersisa. Aku masih merekam ekspresi wajahmu seusai aku mangucapkan kata-kata itu. Matamu yang berpijar ceria, senyuman yang menghiasi parasmu, dan genggaman tanganmu pada jemariku. Kau selalu menguatkanku, meyakinkanku bahwa aku pasti bisa mewujudkan keinginanku itu.
Dan hari ini, sengaja aku tak memberitahumu akan kepulanganku yang dipercepat. Ramalan cuaca yang kudengar mengatakan kalau hari ini akan cerah sepanjang hari.
Bukankah ini waktu yang tepat untuk mewujudkan keinginanku itu?
Sesegera mungkin aku melepas seragam kerjaku dan menukarnya dengan pakaian santai. Kuambil bergulung kain panjang yang selama ini menghuni sebuah peti kecil di dalam gudang. Untunglah tak terlalu berat. Dengan penuh semangat aku membawa kain-kain itu beserta kotak perkakas ke tanah lapang penuh rerumputan tak jauh dari rumah kita, tepat di bawah pohon rindang itu. Kukeluarkan gunting, tali, palu, dan beberapa batang paku dari kotak perkakasku. Aku mulai membangun tenda impianku dengan perasaan begitu riang, sambil sesekali bersenandung, melantunkan lagu dengan lirik yang kukarang sendiri. Ah, rasanya begitu menyenangkan.
Ketika cahaya matahari semakin meredup, memunculkan awalan senja, pekerjaanku berakhir. Aku bertepuk tangan penuh luapan kegembiraan melihat tendaku yang terbangun indah. Ternyata, aku tak hanya membangun satu, melainkan dua tenda sekaligus. Tenda yang lebih kecil kuisi dengan bermacam-macam perbekalan makanan. Satu kotak berisi minuman ringan dan segala camilan. Kau pasti tertawa melihat penampilanku saat ini, Wa. Badan yang lengket dengan keringat, debu, serpihan dedaunan kering, dan rumput-rumput kering. Aish, memalukan sekali. Tapi aku puas!
Hemmm, satu jam lagi kau pulang. Sebaiknya aku segera mandi dan mempersiapkan diri. Tapi sebelum itu aku akan mengirimkan sms padamu, memintamu mandi di kantor saja. Bisa berantakan rencanaku kalau kau pulang melewati jalanan yang biasa. Nanti aku akan menjemputmu di ujung jalan, dan menutup matamu agar kau benar-benar mendapatkan kejutan. Hohoho, kau memang jenius, Aya!
Menunggu senja semakin meredup dan hamparan langit berubah warna kali ini terasa begitu lama. Sudah 5 menit aku berdiri di ujung jalan, menanti kau pulang. Dan tak lama aku melihatmu. Walaupun kau terlihat segar, tapi aku masih menangkap gurat lelah di wajahmu. Tenang saja, malam ini lelahmu akan sirna.
Kuberikan sebuah senyuman untuk menyambutmu yang kau balas dengan senyuman tak kalah manis. Kukeluarkan kain tak seberapa panjang dari saku celanaku yang membuatmu menatapku penuh tanya. Dengan cengiran jahil, aku memintamu tak bertanya apa-apa, da menurut saja ketika aku menutup matamu dengan kain penutup mata itu. Mungkin karena terlalu lelah, kau diam tanpa membantah.
Kita berjalan menyusuri jalan setapak tanpa suara. Aku menggandeng tanganmu dengan riang, menuntunmu agar kau tak salah jalan. Dan tak seberapa lama kita telah tiba di depan tenda yang kubina. Perlahan kulepaskan penutup matamu. Sepasang mata indahmu berkedip beberapa saat, menyesuaikan diri dengan suasana. Dan tak lama kudengar teriakan hebohmu yang membuatku sontak menutup telinga. Hahaha, kau lucu sekali. Apalagi dengan tingkahmu yang sempat meloncat-loncat itu. Aku hanya geleng-geleng kepala.
Kau memelukku. Dalam penerangan seadanya dari lentera yang kugantung di beberapa sudut, terlihat jelas aliran bening merambat pipi mulusmu. Berkali kau mengucapkan terima kasih di antara isakanmu. Agak berjinjit kutepuk-tepuk punggungmu. Demi Tuhan, bisakah kau singkirkan high heels sialan yang membuat beda tinggi antara kita semakin kentara itu?
Tawamu terdengar meriah ketika high heels tak berdosa itu kau lempar seenaknya entah kemana. Kau lalu masuk ke dalam tenda dan mengganti blazer yang seharian melekat di tubuhmu dengan baju santai yang sudah kusiapkan di dalam. Setelah selesai kau langsung menyusulku duduk di rerumputan yang telah kualasi dengan kain. Aku tersenyum melihat penampilanmu. Rambutmu yang kau ikat ekor kuda. Kuulurkan segelas cokelat hangat, minuman wajib kita ketika senja ataupun malam tiba. Kau menyambutnya dengan senyuman berangkai ucapan terima kasih.
Hari semakin gelap, dan nyala lentera kita semakin temaram. Aku berbaring telungkup bertopang dagu di depanmu. Bercerita mengenai taman langit dan keajaibannya. Tentang mahkota langit malam berupa taburan bintang, tentang cahaya Aurora Borealis, rahasia rasi bintang, pun tentang hikayat bintang jatuh. Lalu kau bergantian bercerita. Matamu berpijar seakan berusaha mengalahkan cahaya lentera ketika kau mengisahkan bagaimana indahnya lengkung pelangi pada sore berselimut hujan di atas langit kantormu. Kau bilang, hujan selalu mengingatkanmu akan aku, dan pelangi mengingatkanmu pada keindahan bola mataku. Ah, kau membuatku tersipu.
Rembulan pucat malam ini. Di tengah ceritamu yang semakin seru, kau tiba-tiba menunjuk satu arah di sudut langit. Aku mengikuti arah telunjukmu. Aha, bintang jatuh! Kau memintaku membuat satu permohonan, dan aku terbahak mendengar perkataanmu. Kau masih saja mempercayai itu? Tapi baiklah, aku tak ingin mengecewakanmu. Kuubah posisiku yang semula berbaring menjadi duduk. Kutundukkan kepalaku, memejamkan kedua mataku, merapal satu permohonan dalam hati:
Tuhan, aku tak meminta yang lain. Aku hanya
meminta agar kau memberiku waktu yang lama untuk mendampinginya,
Separuhku. Itu saja.
NB: Gambar diambil dari Google