Rabu, 12 Juni 2013

A Wonderfull Night

Di bawah pohon rindang satu-satunya yang sering kita lewati dalam perjalanan pulang dan pergi itu, Wa, akan kubangun sebuah tenda yang ujungnya kuikat pada tiap cabang pohon, dimana kenangan berlarian berlintas usia. Lalu kubentangkan sebuah kain di atas rerumputan, mengajakmu mengeja bahasa langit. Hanya berdua…

Masihkah kau ingat ucapanku beberapa waktu yang lalu itu? Di suatu pagi hening, di beranda belakang rumah yang kita jadikan ruang sarapan ketika kelintingan besi yang kita pasang diam mematung tanpa sapa angin. Di antara dua cangkir berisi teh hangat yang tinggal separuh, dan dua piring omelet daging sapi yang nyaris tak bersisa. Aku masih merekam ekspresi wajahmu seusai aku mangucapkan kata-kata itu. Matamu yang berpijar ceria, senyuman yang menghiasi parasmu, dan genggaman tanganmu pada jemariku. Kau selalu menguatkanku, meyakinkanku  bahwa aku pasti bisa mewujudkan keinginanku itu.


Dan hari ini, sengaja aku tak memberitahumu akan kepulanganku yang dipercepat. Ramalan cuaca yang kudengar mengatakan kalau hari ini akan cerah sepanjang hari. 


Bukankah ini waktu yang tepat untuk mewujudkan keinginanku itu?


Sesegera mungkin aku melepas seragam kerjaku dan menukarnya dengan pakaian santai. Kuambil bergulung kain panjang yang selama ini menghuni sebuah peti kecil di dalam gudang. Untunglah tak terlalu berat. Dengan penuh semangat aku membawa kain-kain itu beserta kotak perkakas ke tanah lapang penuh rerumputan tak jauh dari rumah kita, tepat di bawah pohon rindang itu. Kukeluarkan gunting, tali, palu, dan beberapa batang paku dari kotak perkakasku. Aku mulai membangun tenda impianku dengan perasaan begitu riang, sambil sesekali bersenandung, melantunkan lagu dengan lirik yang kukarang sendiri. Ah, rasanya begitu menyenangkan.


Ketika cahaya matahari semakin meredup, memunculkan awalan senja, pekerjaanku berakhir. Aku bertepuk tangan penuh luapan kegembiraan melihat tendaku yang terbangun indah. Ternyata, aku tak hanya membangun satu, melainkan dua tenda sekaligus. Tenda yang lebih kecil kuisi dengan bermacam-macam perbekalan makanan. Satu kotak berisi minuman ringan dan segala camilan. Kau pasti tertawa melihat penampilanku saat ini, Wa. Badan yang lengket dengan keringat, debu, serpihan dedaunan kering, dan rumput-rumput kering. Aish, memalukan sekali. Tapi aku puas!


Hemmm, satu  jam  lagi kau pulang. Sebaiknya aku segera mandi dan mempersiapkan diri. Tapi sebelum itu aku akan mengirimkan sms padamu, memintamu mandi di kantor saja. Bisa berantakan rencanaku kalau kau pulang melewati jalanan yang biasa. Nanti aku akan menjemputmu di ujung jalan, dan menutup matamu agar kau benar-benar mendapatkan kejutan. Hohoho, kau memang jenius, Aya!


Menunggu senja semakin meredup dan hamparan langit berubah warna kali ini terasa begitu lama. Sudah 5 menit aku berdiri di ujung jalan, menanti kau pulang. Dan tak lama aku melihatmu. Walaupun kau terlihat segar, tapi aku masih menangkap gurat lelah di wajahmu. Tenang saja, malam ini lelahmu akan sirna.


Kuberikan sebuah senyuman untuk menyambutmu yang kau balas dengan senyuman tak kalah manis. Kukeluarkan kain tak seberapa panjang dari saku celanaku yang membuatmu menatapku penuh tanya. Dengan cengiran jahil, aku memintamu tak bertanya apa-apa, da menurut saja ketika aku menutup matamu dengan kain penutup mata itu. Mungkin karena terlalu lelah, kau diam tanpa membantah.


Kita berjalan menyusuri jalan setapak tanpa suara. Aku menggandeng tanganmu dengan riang, menuntunmu agar kau tak  salah jalan. Dan tak seberapa lama kita telah tiba di depan tenda yang kubina. Perlahan kulepaskan penutup matamu. Sepasang mata indahmu berkedip beberapa saat, menyesuaikan diri dengan suasana. Dan tak lama kudengar teriakan hebohmu yang membuatku sontak menutup telinga. Hahaha, kau lucu sekali. Apalagi dengan tingkahmu yang sempat meloncat-loncat itu. Aku hanya geleng-geleng kepala.


Kau memelukku. Dalam penerangan seadanya dari lentera yang kugantung di beberapa sudut, terlihat jelas aliran bening merambat pipi mulusmu. Berkali kau mengucapkan terima kasih di antara isakanmu. Agak berjinjit kutepuk-tepuk punggungmu. Demi Tuhan, bisakah kau singkirkan high heels sialan yang membuat beda tinggi antara kita semakin kentara itu?


Tawamu terdengar meriah ketika high heels tak berdosa itu kau lempar seenaknya entah kemana. Kau lalu masuk ke dalam tenda dan mengganti blazer yang seharian melekat di tubuhmu dengan baju santai yang sudah kusiapkan di dalam. Setelah selesai kau langsung menyusulku duduk di rerumputan yang telah kualasi dengan kain. Aku tersenyum melihat penampilanmu. Rambutmu yang kau ikat ekor kuda. Kuulurkan segelas cokelat hangat, minuman wajib kita ketika senja ataupun malam tiba. Kau menyambutnya dengan senyuman berangkai ucapan terima kasih.


Hari semakin gelap, dan nyala lentera kita semakin temaram. Aku berbaring telungkup bertopang dagu di depanmu. Bercerita mengenai taman langit dan keajaibannya. Tentang mahkota langit malam berupa taburan bintang, tentang cahaya Aurora Borealis, rahasia rasi bintang, pun tentang hikayat bintang jatuh. Lalu kau bergantian bercerita. Matamu berpijar seakan berusaha mengalahkan cahaya lentera ketika kau mengisahkan bagaimana indahnya lengkung pelangi pada sore berselimut hujan di atas langit kantormu. Kau bilang, hujan selalu mengingatkanmu akan aku, dan pelangi mengingatkanmu pada keindahan bola mataku. Ah, kau membuatku tersipu.


Rembulan pucat malam ini. Di tengah ceritamu yang semakin seru, kau tiba-tiba menunjuk satu arah di sudut langit. Aku mengikuti arah telunjukmu. Aha, bintang jatuh! Kau memintaku membuat satu permohonan, dan aku terbahak mendengar perkataanmu. Kau masih saja mempercayai itu? Tapi baiklah, aku tak ingin mengecewakanmu. Kuubah posisiku yang semula berbaring menjadi duduk. Kutundukkan kepalaku, memejamkan kedua mataku, merapal satu permohonan dalam hati: 



Tuhan, aku tak meminta yang lain. Aku hanya meminta agar kau memberiku waktu yang lama untuk mendampinginya, Separuhku. Itu saja.

 NB: Gambar diambil dari Google



Senandung Selamat Datang


NB: Gambar diambil dari Google 



Dari tadi aku berkali-kali melirik jam mungil yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Mengapa kau tak juga sampai? Oh, tidak! Jangan katakan kalau Pak Tua, si Boss-mu tersayang itu lagi-lagi menahanmu. Ayolah, ini akhir pekan. Kau bahkan nyaris memberi 24 jam waktumu selama 6 hari penuh untuknya.

Matahari semakin meninggi. Lukisan langit di atas kepalaku didominasi warna biru cerah. Warna kesukaanmu. Awan-awan putih berarak manja memuja keluasan jagad. Angin semilir bertiup tenang, meredam semburan murka penguasa panas. Tapi kau tak juga menampakkan batang hidungmu di depan mataku. Hemmm, tak mengapa, aku akan bersabar menunggu kepulanganmu. bukankah kesabaran itu yang membuat hubungan kita bertahan sampai hari ini?

Sambil menunggumu, aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Membungkukkan badanku, mengulurkan tangan dan mengeluarkan sebuah kotak persegi panjang yang sudah agak berdebu dari kolong tempat tidur. Kutiup debunya, lalu kubuka perlahan tutupnya. Kau masih ingat benda apa yang kusimpan di kotak itu? Ya, kau benar. Biolaku. Hadiah ulang tahun darimu setahun yang lalu.

Biolaku masih tetap berkilat seperti saat pertama kalinya aku menerimanya darimu. Senar-senar yang masih utuh dan mengeluarkan harmonisasi suara yang memukau. Entah, tapi aku tergerak untuk kembali memainkannya untukmu, anggap saja sebagai caraku membunuh sepi.

Aku bergegas menenteng biolaku, membawanya ke ladang ilalangku yang kian subur dan tinggi. Hijau terhampar seluas mata memandang, tapi aku belum melihat bayanganmu. Mungkin kau sedang mengistirahatkan diri di akar pohon besar yang menyembul di hutan sana, melemaskan otot-otot kakimu yang lelah berjalan. Aku selalu memiliki kesabaran lebih jika itu menyangkut kau.

Kusampirkan biolaku ke bahu, dan mulai menggesek dawai-dawainya. Memainkan lagu tanpa nama yang tiba-tiba saja terpikir di benakku. Kuharap, dalam radius berapa puluh meterpun, kau mampu mendengarkan suara permainan biolaku yang disebarkan bayu ke delapan penjuru mata angin. Isinya hanya satu, Wa: Senandung Selamat Datang, untukmu. Separuhku. 


Selama Kau dan Aku

 NB: Gambar diambil dari Google


Untuk ketiga kalinya aku menghentikan langkah kakiku, membalikkan tubuh, menatapmu yang tertinggal beberapa langkah dariku. Kuhembuskan napas perlahan, menantimu mensejajarkan langkah sambil menggeleng kecil. Sikapmu membuat hamparan kerikil di jalan setapak yang kita lewati menjelma bak taburan permata, sebab kau memandanginya sedemikian rupa. Namun kau tak bisa membohongiku, sinar matamu terlihat begitu kosong.

Beberapa kali kau mengalihkan pandangan ketika tanpa sengaja mata kita bertemu di satu titik. Kau menghindari cecaran pertanyaan yang kau ketahui dengan pasti akan kuajukan. Entah apa alasanmu. Mungkin kau tidak ingin aku turut memikirkan apa yang sedang berkecamuk di mindamu. Mungkin juga kau tak menemukan kosakata yang tepat untuk memintaku agar tak bertanya lebih lanjut. Entahlah.


Pada akhirnya aku tak tahan dengan kesunyian yang tercipta di antara kita, hingga kuputuskan untuk duduk pada sebuah akar besar yang menyembul di permukaan tanah, tak jauh dari jalan setapak yang kita lewati. Aku nyaris tersenyum ketika menemukan tatapanmu yang penuh tanda tanya. Aha, kau pasti heran kenapa aku tiba-tiba memilih untuk duduk di sini, padahal rumah kita tinggal sebentar lagi akan kita lihat. Iya, kan?


Kutepuk tempat tersisa di sampingku. Mengajakmu duduk. Sesekali, tak ada salahnya kita berhenti sejenak. Tak untuk menyerah, tapi beristirahat. Mengumpulkan kekuatan untuk meneruskan perjalanan.


Kuraih jemarimu, menyalurkan setengah dari ketegaran yang kumiliki. Dan tak ada kata yang tercipta di antara kita, sebab denganmu terkadang kata tak lagi memiliki makna. Kau bisa membaca isyarat mataku sebaik aku membacamu, hingga kita tak membutuhkan perantara aksara untuk mewakilkan kehendak, bukan?


Lalu setitik bening bergulir lembut menuruni pipi indahmu. Aku menganggukkan kepala, isyarat tersamar yang kau pahami maknanya. Kuraih kau dalam pelukanku, menepuk lembut punggungmu sementara bahuku mulai membasah oleh tetes demi tetes yang jatuh dari mata indahmu. Kudendangkan dengan perlahan dongengan hujan dengan pelangi tujuh warna dalam nada paling sumbang sebab bibirku ikut bergetar. Panas menyeruak mataku, memberi jalan pada airmata untuk merayap perlahan.  Mendobrak dinding pertahanan terakhir yang selalu kujaga untuk melindungi hatiku, hatimu. Hati kita.


Dan langit seakan bersekutu, ketika ia menitahkan hujan untuk hadir di antara kita. Di antara keheningan jalan setapak di tengah hutan. Hujan yang membuat airmata kita kian tersamar, seperti ikrar kita di awal pertemuan.


Kurenggangkan pelukanku. Membuat kita saling tatap dengan deras hujan sebagai antara. Kutautkan jemari kita, meyakinkanmu bahwa semua akan baik-baik saja. Peristiwa kemarin tak akan mampu melenyapkan senyum yang seharusnya tersungging di bibir kita, Sayang. Tak akan pernah. Selama kau dan aku saling memiliki.



Maaf, Aku Terlambat



NB: Gambar diambil dari Google


Maaf, aku terlambat. Aku baru membaca pesan singkat darimu. Ada pekerjaan tambahan yang harus kulakukan, hingga tak bisa pulang ke rumah kita pada waktu yang telah kita sepakati sebelumnya. Lagi-lagi aku minta maaf.

Pekerjaanku baru berakhir 5 menit yang lalu. Aku langsung berlari kecil menuju halte. Tapi kenyataannya aku ketinggalan bis, hingga terpaksa harus menunggu bis berikutnya lewat. Tak apalah, menunggu 30 menit lagi. Walau akan sangat terlambat, aku tetap akan pulang. Aku merindukan suasana rumah kita.
 
Bis akhirnya muncul. Aku berdesakan naik dengan calon penumpang yang lain. Tubuh kecilku bagaikan sehelai daun kering yang dipermainkan angin. Tapi aku tetap tersenyum menanggapinya. Kerinduanku padamu dan rumah kita mampu meredam emosiku.

Akhirnya aku sampai pada tempat pemberhentian. Berjalan perlahan menyusuri jalan setapak menuju rumah kita. Kau mungkin sudah tertidur di teras belakang menunggu kepulanganku. Lain kali, kita duplikat satu lagi kunci, lalu kita simpan di dekat pot suplir samping tangga. Agar kalau salah satu dari kita ketinggalan kuncinya, kita tak perlu repot seperti ini. Iya, kan?

Ah, ladang ilalang memanja mataku setiap kali aku melewatinya. Memutar jalan menuju teras belakang. Kau mungkin satu-satunya orang yang tak menganggap aneh kebiasaanku mengagumi ilalang. Malah kau hanya tersenyum ketika aku menjadikan lahan sisa di samping rumah kita ini sebagai ladang ilalangku. Adakah perempuan waras yang memilih menanam ilalang yag selalu dianggap tanaman pengganggu? Mungkin hanya aku, separuhmu.

Tapi aku puas ketika akhirnya kau mengakui keindahan ladang ilalangku. Terlebih ketika akhirnya banyak burung kecil yang singgah di batang-batangnya. Bahkan kupu-kupu dan capung kadang juga suka terbang rendah di antara helaiannya. Kau bahkan sempat terpana ketika menyaksikan butiran-butiran hujan memahkotai ladang ilalangku. Hahaha, kegilaan yang tak sia-sia, bukan?

Eh, benarkan dugaanku? Kau tertidur di kursi kayu. Gurat lelah tersirat di wajahmu. Aku tak tega untuk membangunkanmu. Lebih baik kubiarkan saja kau tertidur sebentar lagi. Aku akan mengambil selimut, agar terpaan angin tak membuat tubuhmu menggigil.

Perlahan aku mengeluarkan kunci dari tasku, dan memasukkannya ke lubang kunci. Sepelan mungkin kuputar gagang pintu, agar deritnya tak mengganggu tidurmu. Kubuatkan teh hangat dulu ya, sebagai teman kue kering yang kubuat kemarin.

Istirahatlah. Karena di sini, di rumah kita ini, adalah satu-satunya pilihan kita untuk kembali. Melebur lelah, menyamarkan airmata, berbagi kisah. Hanya kau dan aku. Kita. 



Aku Pulang

Dan perasaan itu hadir bersama butiran gerimis…


Pada akhirnya, di penghujung perjalanan aku berhenti di depan pagar kayu yang masih menyisakan aroma cat, di depan rumah hujan kita. Membiarkan mindaku memutar ulang fragmen-fragmen yang berloncatan membentuk peristiwa-peristiwa silam. Mengisi rongga dadaku dengan sebanyak mungkin udara untuk meredam genderang kerinduan yang ditabuh berulang.


Mengapa jantungku semakin memantulkan debaran, dengan buncahan rasa yang sukar kujabarkan?


Kuedarkan pandanganku setelah berdamai dengan perasaan, menelusuri tiap jengkal yang mampu kujangkau. Siapa yang membangun telaga mini yang dikelilingi bebatuan sungai di sudut kiri rumah hujan kita? Barisan bambu hias yang berjajar, replika rumah kayu beratap jerami, dan jembatan hias yang dibangun di atasnya. Oh, dan lihatlah, bahkan sepasang ikan Mas Koki berenang hilir mudik di antara dedaunan teratai yang mengambang. Kaukah itu?


Kriiieeettt!


Kubuka perlahan pintu pagar. Ada senyum yang menghiasi sudut bibirku. Ah, pintu itu masih menyenandungkan derit yang sama. Kau lupa untuk mengganti engselnya, hemmm?


Lagi aku terpaku dengan pesona yang ditawarkan di depan mataku. Bunga Lily? Bukan hanya satu, tapi berpot-pot menghiasi setiap sudut rumah, berbaur dengan suplir yang telah lebih dahulu ada. Warna putihnya bak barisan peri yang mengucapkan selamat datang padaku dengan keharumannya yang semerbak. Apakah aku bermimpi?


Kutelusuri jalan setapak menuju beranda rumah hujan kita yang berhiaskan rumput dan batu-batu kerikil. Langkah-langkah kecilku sampai pada sisi kiri rumah, yang mampu menyajikan pemandangan halaman belakang dengan nyaris sempurna. Lagi-lagi aku diberi kejutan berupa hamparan ladang ilalang yang menghijau, lengkap dengan bunganya yang memutih dan beberapa burung kecil yang menari di antara helaiannya. Ah, inikah surga yang nampak nyata?


Kuhentikan langkah sejenak, memutar pikir, sebelum akhirnya aku kembali memutar langkah, dan terhenti di anak tangga kayu rumah hujan kita. Memperhatikan beberapa lentera yang tergantung di sisi kiri dan kanannya. Aku tak sabar. Aku tahu itu kau. Kau yang membuatku akhirnya memilih untuk tidak menaiki anak tangga, tapi berlari mengelilingi setengah rumah hujan kita dan berhenti di teras belakang. Apa yang kutemukan? Kelintingan besi yang menyenandungkan sambutan kerinduan, juga kincir angin kertas yang berulang memutar pesan dari lubuk hatimu yang terdalam.


Dan itu kau! Dalam balutan gaun putih, setangkai bunga ilalang menjadi hiasan rambutmu: duduk sendirian menikmati senja jingga berteman dua cangkir cokelat panas. Tak perlu kutanya, aku tahu cangkir yang satunya lagi untuk siapa. Kau! Ya, kau, untuk sejenak letakkan dulu cokelat panasmu dan palingkan wajahmu dari panorama senja yang memanja sukma, pandang aku! Aku ingin melihat riak di bening indahmu ketika aku berkata,


“Aku pulang!”




NB: Gambar diambil dari Google



Risalah Hujan yang Kuwartakan Untukmu


Sejak berusia seumur jagung, aku begitu menyukai hujan. Ya, suka. Aku masih menjabarkan perasaan bahagia yang membuncah di hatiku ketika panah-panah airmata langit menghujam bumi itu sebagai perasaan suka. Hujan adalah salah satu saat yang paling kutunggu, selain senja. Menunggu kedatangannya dengan debar-debar penuh asa bagai menunggu Ayah pulang dari ladang dengan sekeranjang buah kemunting di tangan kanan. Dalam minda kanak-kanakku, hujan adalah tangisan pilu bidadari yang sedang melantunkan kidung-kidung penawar lara karena kehilangan selendangnya. Aku begitu menyukai hujan. Hening sekaligus riuhnya yang berlomba mencipta derap di atap rumah adalah harmonisasi sempurna pemusik tanpa nama.

Memandanginya saja, yang berayun lucu mengikuti tarian angin di helai-helai ilalang di ladang kami, menghadirkan selaksa bahagia yang tak dapat dijangka. Sesekali, aku akan mencuri-curi waktu ketika Ibu lengah agar aku bisa duduk menjuntaikan kaki di beranda, dan menadahkan tanganku, menikmati anak-anak hujan yang berlompatan di telapak tangan dan meresapi dinginnya yang menembus sumsum terdalam. Meski setelah itu Ibu akan mengomeliku panjang lebar dan berulangkali mengingatkan akan ketahanan tubuhku yang rentan, aku akan tetap melakukan hal yang sama setiap ada kesempatan. Aku tak ingin hanya berdiri di balik jendela dan memandangi butiran hujan yang merayap perlahan dari balik kaca nako. Aku ingin menyentuhnya. Bermain dengannya. 

Hujan adalah satu-satunya teman yang kumiliki ketika aku dan kedua orangtuaku masih tinggal di perkebunan. Dalam rintiknya, beraneka pesan rindu alam seolah disampaikan padaku. Menaiki sampan kecil sambil mengamati rintiknya yang mencipta telaga di atas permukaan air sepulang sekolah adalah hal yang sangat menyenangkan. Seolah kau diiringi prajurit langit dalam perjalanan menuju pesanggerahanmu. Kuncup nikmat yang sukar dijabarkan.

Lebih dari separuh perjalanan hidupku berlatar hujan. Hujan sungguhan, pun hujan yang tercipta dari pelupuk mataku. Hujan yang terkadang meruntuhkan benteng pertahananku. Namun aku selalu mencintai hujan. Perputaran masa mendewasakan pemikiranku yang mulai menapak dari kanak-kanak menuju remaja. Hujan berubah makna. Ia tak lagi merupa tangisan bidadari . Hujan adalah isyarat alam, romantisme tentang pengharapan dan kekecewaan yang acap bertandang. 

Berlarian di bawah hujan berpayungkan daun pisang berdua kekasih adalah pengalaman indah yang selamanya tak akan terkikis dari bilik ingatan. Dengan jemari saling mengait, senyuman tak lepas di ujung bibir, kaki-kaki celana yang dilipat, hujan menjadi latar indah untuk drama percintaan ketika aku hampir meninggalkan masa remaja. Aku jatuh dalam pesonanya, lelaki hujan yang mengirimkan  jutaan sajak dengan perantaraan anak-anak hujan. 

Dan waktu terus memutar cerita yang semakin mendewasakan pemikiran. Pada akhirnya, hujan kembali berpindah makna. Kini, dengan cinta kepada hujan yang tak pernah surut, aku semakin menyadari akan ketergantunganku padanya. Aku yang sedari dulu tak pernah menampakkan tangisku pada orang lain, membutuhkan hujan untuk menyamarkan airmata yang menuruni tebing pipiku. Aku membutuhkannya, untuk menghapus debu hitam bernama kenangan – beberapa bait kisah yang ingin kuenyahkan. 

Kecintaanku pada hujan dijawab langit dengan mengirimkan seorang hawa yang juga perlahan mencintai hujan karena aku. Aku mencintainya, dengan makna abstrak, tanpa menggeser cintaku pada hujan. Selalu ada ruang kosong di hatiku untuk ia tempati. Bersamanya, aku memiliki impian sederhana: suatu hari kami akan berjalan perlahan di ladang ilalang, menikmati tetes demi tetes hujan yang perlahan menikam tanah. Aku ingin berbagi cerita dengannya, dan membiarkan hujan mengaburkan airmata kami. Sederhana, bukan? 

Maka untukmu, perempuan yang datang atas nama hawa, berkerudung cahaya di ambang senja: 
tetaplah menjadi separuhku, dan bersama kita akan menulis kisah kita berkalamkan hujan.



NB: Gambar diambil dari Google


Selasa, 11 Juni 2013

Rintik Pertama



Untuk-Mu,
yang menitahkan mendung di tirai langit untuk melahirkan kanak-kanak hujan.

... dan di sinilah hamba, mengatupkan kedua tangan, merapal do'a serupa mantera tak berkesudahan, tentang pinta tak kenal halang.

... kehidupan menjelma ayat-ayat tak terselesaikan tanpa amin di penghujung harapan, namun selayaknya tiada yang menjadikan ada, hamba percaya akan malam bermahkota cahaya.

Untuk 2 kota 2 negara 2 nama,
Negeri Pahang & Pulau Batam - Malaysia & Indonesia - Aya & Hawa.

... terima kasih telah menempa daku menjadi seorang perempuan dengan rupa-rupa perangai. Puan Hujan, gelar kusemat di badan.

Untuk Separuhku,
perempuan bernama Hawa,

... ada jarak ribuan batu yang memisahkan dikau dan daku, tapi Pesanggrahan Hujan ini, kubina untukmu

Untuk 2 permata hatiku, 
anak-anak hujanku (Dhimas & Chacha).

... mari belajar mencintai hujan.


NB: Gambar diambil dari Google