Jumat, 10 Oktober 2014

Dongeng Sebelum Tidur


NB: Gambar diambil dari Google


Cklek!

Dengan tangan kiriku yang bebas, kututup kembali pintu kamar tidurku, lalu dengan pelan mengayunkan sepasang kakiku menuju meja kecil di sisi kanan ranjang. Dengan sedikit membungkukkan badan, kuletakkan sebuah tatakan keramik yang menyangga sebuah gelas berisi susu hangat yang kubawa dengan tangan kananku, di atas meja kecil berbentuk persegi yang memiliki permukaan mengkilap itu. Kembali kutegakkan tubuhku, lalu melirik sedikit pada sosok gadis berambut kecoklatan sebatas bahu yang menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang sambil meluruskan kedua kakinya itu. Sebuah bantal persegi yang di ke-empat sisinya memiliki benang berumbai terletak di pangkuannya, menyangga sebuah buku yang cover-nya hanya setengah yang mampu ditangkap oleh indera penglihatanku. Gadis itu – oh, ayolah, aku masih senang sekali menyebutnya sebagai gadis ini, gadis itu, meski aku bisa memastikan kalau ia sudah tidak gadis lagi – sama sekali tak terusik dengan kehadiranku. Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum simpul. Selalu begitu. Sekian tahun mengenalnya membuatku hapal di luar kepala mengenai kebiasaannya ketika ia sedang larut dengan barisan kata-kata itu. Gadis itu – gadisku – akan membentuk dunia kecilnya sendiri, lalu menyelubunginya dengan cahaya, dan tak akan ambil peduli dengan keadaan di sekelilingnya.

Puas meliriknya, kuarahkan kembali sepasang kakiku memutari ranjang, hingga berhenti pada jendela yang terbuka lebar di sisi kiri pembaringan. Dengan kedua tangan berpegangan pada kusen, kutengadahkan kepalaku, memandangi awan hitam yang berarak hampir memenuhi hamparan langit. Angin kencang yang berhembus menguarkan aroma basah. Sepertinya sebentar lagi langit akan kembali memuntahkan hujannya, setelah beberapa jam memilih jeda. Segera kurapatkan daun jendela, beserta tirainya yang berwarna hijau muda. Warna kesayangan gadis itu. Setelah itu aku kembali berjalan memutar, dan berdiri tepat di sisi ranjang.

“Jangan lupa untuk menghabiskan susunya, Sayang…,” aku membuka pembicaraan, yang membuat gadis itu menurunkan buku yang sedang dibacanya. Sebuah senyuman manis dihadiahkannya untukku. Cukup untuk membuat darahku seperti berbalik sejenak. Gadis itu lalu menutup bukunya, dan sedikit mencondongkan tubuhnya untuk meletakkan buku yang telah ia batasi halamannya itu ke atas meja kecil lain yang berada di sisi kiri ranjang. Ia lalu menyingkirkan bantal persegi yang sejak tadi berada di atas pangkuannya dan menepuk-nepuk bagian kosong di sisi kanan tubuhnya, memintaku untuk duduk di sampingnya.

Tak perlu dipinta dua kali, aku segera melepas sandalku, lalu mendudukkan diri di sampingnya. Gadis yang memiliki sepasang mata berwarna coklat gelap yang kerap membuatku terhanyut di dalam pesonanya itu langsung menyurukkan wajahnya di dadaku. Kedua lengannya yang kecil memeluk pinggangku dengan sangat manja. Aku terkekeh pelan. Beberapa waktu belakangan ini, gadis yang sejak setengah tahun lalu telah resmi menjadi istriku itu memang memiliki kebiasaan baru. Ia senang sekali menyembunyikan wajahnya di dalam pelukanku. Katanya, ia seakan bisa mendengarkan suara hatiku bila merapatkan telinganya pada dadaku yang cukup bidang. Entahlah.

Kukecup lembut kening gadis itu seraya menyesap aroma apel dari shampoo kesayangannya. Kuacak rambutnya, lalu balas memeluknya dengan tak kalah posesif. Membuatnya semakin meringkuk dalam pelukanku, tak ubah anak kucing yang mendamba kehangatan tubuh induknya.

“Aya sedang membaca buku apa tadi?” tanyaku lembut, sedikit penasaran. Aya – nama gadis yang telah resmi menjadi istriku itu – mengangkat wajahnya. Untuk beberapa detik selanjutnya ia hanya diam, tanpa menjawab pertanyaanku. Ia justru melepaskan pelukannya di pinggangku, lalu mengangkat sebelah tangannya. Menyusuri setiap inci ruas wajahku. Jari telunjuknya yang halus membentuk pola melingkar di rahangku. Kubiarkan ia melakukan apa pun yang ingin dilakukannya, hingga akhirnya ketika ujung jari telunjuknya berhenti tepat di atas bibirku, dengan gemas kubuka bibirku, dan memberikan gigitan kecil di ujung jarinya. Membuat ia secepat kilat menarik kembali jarinya yang menyisakan semburat merah di kedua belah pipinya.

“Dylan nakal!” rajuknya manja. Gadisku kembali menyembunyikan wajahnya di dadaku. Aku tertawa pelan. Tak pernah bosan dengan semua sisi yang ia tunjukkan padaku.

“Aya belum menjawab pertanyaan Dylan, loh. Tadi Aya membaca buku apa?” aku mengulang pertanyaanku. Sejak menikah, aku dan Aya memang membuat kesepakatan tak tertulis mengenai penyebutan nama diri di dalam percakapan. Tidak lagi menggunakan kata daku-dikau, seperti yang kami lakukan semasa masih pacaran.

“Itu adalah buku catatan harian Aya sejak SMP. Seminggu lalu Aya meminta Mama untuk mengirimkannya ke sini. Baru dua hari yang lalu sampai. Tiba-tiba Aya ingin membaca kembali apa yang pernah Aya tulis dimasa lalu. Dylan tahu gak, Aya selalu memiliki kebiasaan-kebiasaan menuliskan hal-hal yang ingin Aya lakukan, atau hal-hal yang Aya harap terjadi di dalam kehidupan Aya. Sampai Aya tamat SMA, sudah begitu banyak buku catatan harian yang Aya habiskan. Jika catatan-catatan itu dijadikan naskah film, sepertinya Aya akan membuat sebuah film dengan durasi yang sangat panjang,” jelasnya. Dan cara menjelaskannya terlihat sangat menggemaskan di mataku, karena tak hanya bola matanya yang berputar jenaka, tangannya juga turut serta bergerak.

“Dan Dylan yakin, pertemuan dengan Dylan tak pernah ada di dalam daftar Aya yang panjang itu, kan?” jawabku. Gadisku itu mengangguk, membenarkan ucapanku.

“Memang tidak. Saat Aya kuliah, dimana Aya merasa kalau dari sana adalah titik awal perjalanan Aya untuk menjadi dewasa, Aya pernah memiliki keinginan untuk menikah dengan seseorang yang juga memiliki kecintaan pada seni daerah sama seperti Aya. Aya pernah berharap kalau calon suami Aya itu adalah seseorang yang juga memiliki visi dan misi yang sama untuk terus melestarikan kesenian tradisional daerah yang semakin hari semakin tergerus oleh roda kehidupan. Aya bahkan sempat menulis bagaimana prosesi pernikahan impian Aya. Juga mimpi Aya membina rumah tangga bak lakon dalam drama bangsawan yang sering Aya saksikan. Kebiasaan-kebiasaan seperti berbalas pantun saat bercengkerama, atau melagukan syair sebagai pengantar tidur. Yaaah…, semacam itulah…,” desahnya di ujung kalimat. Aku memutar bola mataku. Aya pernah menceritakan mengenai hal itu jauh-jauh hari, saat kami belum memiliki status sebagai kekasih.

“Saat itu Aya masih naïf,” lanjutnya, seolah bisa membaca pikiranku. Tak urung aku tergelak, dan mengangkat dagunya dengan ujung jari telunjukku. Kupandangi wajah cantiknya dengan tatapanku yang seolah berkata, bahkan-hingga-saat-ini-kau-masih-naif, Sayang.

“Dulu Aya juga membuat daftar kriteria-kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin Aya kencani. Haaah, di situlah letak salahnya. Seharusnya Aya membuat daftar mengenai kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin Aya nikahi, kan?” aku kembali terbahak. Lalu menjawil hidungnya yang mancung dengan setitik tahi lalat di atasnya.

“Apa Aya menyesal menikah dengan Dylan?” tanyaku tanpa maksud apa-apa. Aku tahu seberapa besar cintanya padaku. Sebelum menjadi sepasang suami istri, kami melalui perjalanan panjang sebagai sahabat yang terbiasa terbuka membicarakan apa saja. Kebiasaan yang tetap berlanjut bahkan setelah kini kami membina rumah tangga.

“Memangnya Dylan pernah mendengar sekali saja Aya bilang kalau Aya menyesal menikah dengan Dylan?” gadisku balik bertanya. Aku menggelengkan kepalaku. “Malahan sebaliknya Aya merasa teramat beruntung bisa memenangkan hati Dylan,” sambungnya, membuat sebuah senyum lebar terpatri di wajahku.

“Tentu saja Aya menjadi pemenang tunggal, Sayang. Karena hanya Aya sendiri yang bertarung memperebutkan sekerat hati ini,” timpalku dengan sedikit mengutip kata-katanya yang pernah kubaca. Tawa kami berderai serempak.

“Rasanya masih seperti mimpi, ya? Saat menjadi sahabat Dylan, Aya tak pernah membayangkan bahwa pada suatu hari kita akan duduk berdampingan seperti ini dengan status sebagai suami istri,” ujarnya sambil menautkan jemari kami. Aku mengangguk, membenarkan, lalu menciumi jemarinya yang berada di antara jari-jariku. Bukan hanya ia yang merasa bahwa ini seolah mimpi yang kami alami berbarengan. Terkadang, saat membuka mata di pagi hari dan menemukan raut wajah damainya yang berada tepat di depan wajahku, aku masih saja tidak percaya dengan status baruku sebagai suaminya. Suami dari seorang Cahaya Vallenia Dayana. Sahabatku sendiri.

Aku dan Aya dipertemukan oleh sebuah situs pertemanan di dunia maya. Kecintaan kami pada sebuah drama produksi Amerika membuat kami menjadi dekat dan saling berkirim pesan yang isinya tak jauh dari isi drama yang justru telah selesai masa tayangnya setelah melewati lima musim. Ending yang menggantung membuat kami berdua, seperti juga halnya dengan hampir seluruh penggemar drama tersebut di berbagai belahan dunia, murka. Di sebuah fans page yang lagi-lagi mempertemukan aku dan Aya, kami kerap mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan mengenai ending yang lebih layak, versi seorang fans tentunya. Aya yang ternyata memiliki sense of humour yang sangat tinggi, sukses membuatku terbahak-bahak setiap kali membaca deretan kalimatnya.

Dari fans page itu juga aku dan Aya mengenal beberapa orang lain yang akhirnya menjadi teman dekat tak hanya sebatas maya, tapi juga di dunia nyata. Ada Donna, gadis yang bekerja di sebuah rumah sakit ternama di Ibukota yang ternyata sangat mengidolakan BSB dan Kim Jae Joong, penyanyi lelaki berwajah androgini asal Korea. Lalu ada Rin yang ternyata lahir pada tanggal yang sama denganku, yang seperti halnya Donna, juga menyukai penyanyi lelaki cantik asal Korea itu. Ada Luni – aku lebih suka memanggilnya begitu – yang lebih sering dipanggil Rukiah oleh yang lain. Luni dan Rin sama-sama memiliki profesi sebagai seorang tenaga pengajar di lembaga yang berbeda. Hiru, gadis manis yang ternyata masih mahasiswa yang entah mengapa juga lebih sering dipanggil Pukpuk. Lalu ada juga tetua genk yang kalau bicara asal nyeplos bernama Mbak Shanty yang memegang jabatan cukup penting di sebuah hotel yang dikelolanya, serta Mei, gadis cantik berpipi tembam yang sering kami sebut sebagai Ensklopedia Bernyawa.

Entah siapa yang mengusulkan ide gila dan mendeklarasikan berdirinya sebuah kelompok pertemanan yang diberi nama Genk OOT yang isinya didominasi kaum hawa itu. Kupikir tak jauh-jauh dari campur tangan Aya yang mendapat kehormatan untuk menjadi salah satu pengelola fans page tersebut. Aku yang selama ini dikenal sebagai pribadi yang cukup tertutup mulai membuka diri. Menjadi satu-satunya pria di dalam sebuah kumpulan yang isinya wanita membuatku merasa seperti Jaka Tarub di antara para bidadari nirwana.

Seperti yang telah kukatakan, persahabatan kami tak hanya sebatas maya. Acap kali kami mengadakan pertemuan bergilir kota, yang kebanyakannya masih berputar sekitar Jawa. Satu-satunya yang tak pernah bertatap muka justru Aya yang tinggal di pulau Sumatera. Hingga pada liburan akhir tahun tiga tahun yang lalu, setelah melewati proses yang cukup panjang, kami ber-tujuh bisa saling bertemu muka dan mengenal pribadi Aya sesungguhnya secara lebih dekat. Bali, tanah kelahiranku, sepakat kami jadikan sebagai destinasi pertemuan.

Hari itu, Aya datang mengenakan sebuah kaos lengan pendek bertuliskan I love Batam berwarna hijau yang dipadukan dengan celana ¾ dan sepatu kets. Sebuah tas punggung nangkring di belakangnya. Rambutnya yang dipotong pendek ala Demi Moore di film Ghost diberi sebuah jepitan kecil di bagian poni. Penampilannya berhasil menyamarkan usianya yang sebenarnya. Tingginya yang hanya 150 centi tak ayal membuatnya menjadi bulan-bulanan di antara kami. Oh, God! Aya menjadi sosok termungil di antara kami ber-tujuh!

Akan tetapi, tak ada beda antara kepribadian Aya yang kukenal di dunia maya dengan di dunia nyata. Aya adalah seorang penyemarak suasana yang sangat pandai membangun percakapan dan memuat kami semua terlibat di dalamnya. Berbeda dengan kebanyakan gadis yang terkadang menjaga image-nya, Aya justru tak ragu tampil beda. Ia dengan banyolan-banyolan khasnya, kelucuannya, juga kepolosannya membuat kami tak henti menyuarakan tawa.

Satu hal lain yang kami ketahui tentang Aya, adalah betapa ia seorang gadis yang masih terperangkap pada cinta masa lalunya. Adalah seorang Shin, lelaki multitalenta berdarah Batak yang merupakan cinta pertamanya. Aya tipikal gadis yang tak mudah jatuh cinta, dan ketika ia jatuh cinta, maka ia akan memberikan seluruh cintanya, perhatiannya, kasih sayangnya, pada lelaki yang ia cintai. Terkadang tanpa disadari, Aya sering menyebut nama Shin dalam pembicaraannya. Shin yang sangat berbakat dalam hal mencipta lagu sekaligus menyanyikannya, Shin yang merupakan partner-nya menulis, Shin yang ini, Shin yang itu. Shin yang memilih mengakhiri kisah cintanya dengan Aya karena juga masih dibelenggu cinta masa lalu dengan kekasih pertamanya. Ah, rumit. Akan tetapi, satu hal yang kusalutkan dari seorang Aya, adalah bagaimana ia masih bisa tertawa di atas kehilangan terberatnya.

Meskipun aku dan Aya sangat nyambung sebagai sahabat, namun menurut prediksi teman-teman yang lain, aku dan Aya tidak akan pernah cocok menjadi sepasang kekasih. Hal itulah yang akhirnya membuat kami merahasiakan hubungan kami sebagai sepasang kekasih setelah setahun setelah pertemuan itu kami memutuskan untuk berpacaran. Dan aku masih ingat dengan jelas raut-raut wajah kaget penuh rasa tidak percaya dari anggota Genk OOT yang lain ketika aku menyerahkan undangan pernikahan aku dan Aya.

Sebenarnya aku sangat memahami keterkejutan mereka. Kami tak terlihat berinteraksi selayaknya sepasang kekasih di dunia maya. Hubungan kami juga merupakan hubungan jarak jauh, dengan intensitas pertemuan tiga bulan sekali. Selain itu, terlalu banyak beda antara aku dan Aya. Tak hanya mengenai hal paling principal, yakni keyakinan kami yang berbeda. Aya merupakan penggemar fanatik film horror, sementara aku lebih menyukai film berbau action dan comedy. Aya penyuka musik tradisional daerahnya, sementara aku lebih menyukai lagu-lagu luar negeri. Aya menyukai makanan serba seafood, sementara aku menyukai daging. Aya yang serba teratur dalam banyak hal, sementara aku lebih serampangan. Pendek kata, aku sama sekali tidak termasuk sebagai lelaki dengan criteria idaman Aya, begitu pun sebaliknya. Memiliki kekasih, terlebih seorang istri yang cukup perfeksionis tidak pernah terbayangkan dalam pikiranku.

Ngomong-ngomong soal sifat perfeksionis Aya-ku, sifat yang juga ingin ia kurangi itu, di awal-awal pernikahan cukup sulit bagiku untuk beradaptasi dengannya. Pernah, di bulan pertama pernikahan, aku dan Aya tak bertegur sapa seharian hanya karena ia kesal padaku yang secara tak sengaja meletakkan celana dalamku di atas wastafel, bukannya di dalam keranjang pakaian kotor yang sudah disediakannya di sudut pintu kamar mandi. Aya memang paling tidak suka jika aku meletakkan sesuatu tak sesuai dengan tempatnya. Pernah juga sekali waktu aku menemani Aya menjemur pakaian yang telah selesai dicuci. Betapa ribetnya menurutku ketika ia bahkan sampai menyesuaikan warna pakaian yang akan dijemur dengan warna hanger. Lalu ketika dia menyusun pakaian yang sudah digantung itu dengan pola: celana-celana, baju-baju, pakaian dalam-pakaian dalam. Gadisku itu juga memiliki tujuh sikat gigi yang diletakkan di tempat khusus, dimana di bagian bawahnya bertuliskan nama hari untuk penggunaannya. Aku sampai berpikir mungkin ia juga meletakkan tujuh kotak kondom aneka rasa di dalam laci meja nakas sehingga bisa kugunakan bergantian dalam seminggu!

“Apa yang Dylan lamunkan? Biar Aya tebak, Dylan membayangkan masa-masa awal pertemuan kita?” terkanya dengan benar. Aku tersenyum sambil menyatukan keningku dan keningnya, membuat batang hidung kami bersentuhan.

“Iya. Hhh…, katakan pada Dylan, apa yang membuat Aya mau menikah dengan Dylan yang tak tampan ini?”

“Hi hi hi, ini untuk ke-sekian kalinya Dylan menanyakan pertanyaan serupa. Tapi Aya juga gak bosan ngasih jawaban yang sama. Dylan memang tidak tampan, tapi apakah Dylan tahu kalau cinta memiliki caranya sendiri untuk memanipulasi pandangan, sehingga ketika kita jatuh di dalamnya, tanah yang berlubang pun akan terlihat datar? Aya bersedia menikah dengan Dylan, karena memang Dylan pria terbaik yang dipilihkan Tuhan buat Aya. Sesederhana itu,” tegasnya. Aku tersenyum lebar dan menciumi pipinya bergantian. Mendekap tubuh mungilnya yang terasa begitu pas dalam pelukanku.

“Siapa tahu untuk kali ini jawaban Aya akan berbeda. Seperti misalnya, alasan Aya mau menikah dengan Dylan karena Aya tahu bahwa Dylan adalah seorang nahkoda handal yang mampu mengendalikan biduk cinta kita sehingga membuat Aya seolah sedang mengarungi keindahan nirwana?” godaku yang tak urung membuat wajahnya kembali memerah.

“Dylan mesum!” kecamnya sambil mencubit pinggangku dengan kesal. Aku mengaduh kesakitan, dan sedikit heran. Dari mana kata-kata itu kudapatkan?

“Anak-anak kita nanti, biarkan mereka menentukan sendiri akan jadi apa mereka kelak. Sebagai orang tua, kita hanya bisa mengarahkan. Dylan harap Aya tak akan kecewa bila anak-anak kita nanti tak ada yang mewarisi jiwa seni ibunya, sebagaimana Dylan berusaha berbesar hati jika mereka tidak berminat untuk terjun dalam bidang keuangan seperti ayahnya. Jadi apa pun mereka, mereka tetap anak-anak kita, Sayang,” kuelus perutnya yang mulai sedikit membuncit. Buah cinta kami yang berusia enam belas minggu ada di sana.

“Tentu saja. Dan Aya hanya bisa berharap agar anak-anak kita nanti tidak mesum seperti Dylan,” jawabnya, membuatku segera membalikkan tubuhnya ke tempat tidur, dan mulai menggelitiki pinggangnya. Ah, dia sungguh Aya-ku yang manis. Gadisku. Istriku. Selamanya Aya-ku.


My Aya


NB: Gambar diambil dari Google


Aku menatap wajah gadis itu yang terlihat begitu antusias memasukkan sesendok demi sesendok Gado-gado dengan Kerupuk Daun Bayam ke dalam mulutnya yang mungil. Ekspresi wajahnya dengan kedua belah pipi menggelembung membuatku hampir tertawa. Diam-diam aku merekam cetakan wajahnya ke dalam pikiranku, sambil menikmati angin petang yang berhembus perlahan memainkan rambut hitamnya yang lurus sepundak. Bibirku menarik sebuah garis membentuk senyuman ketika angin petang itu dengan nakal menyibak poninya, hingga sebutir jerawat malu-malu menyembul di antara helaian rambutnya itu.

Gadis itu seolah tak merasakan kehadiranku, padahal jarak antara aku dan dia hanya dipisahkan sebuah meja kecil berisi beberapa menu makanan dan dua buah gelas berisi Ginger Salsa. Tapi entah, ia malah membentuk dunianya sendiri untuk beberapa saat, sebelum akhirnya ia mengangkat wajah, menatapku.

“Kenapa memandangiku begitu?” tegurnya sedikit jengah sambil meletakkan sendok ke tepi piringnya yang hanya menyisakan remah-remah sisa makanan yang telah berpindah ke perutnya. Aku tersenyum.

“Memandangimu ternyata jauh lebih mengasyikkan daripada mengisi perutku. Setidaknya untuk saat ini. Aku bisa makan kapan saja, tapi menikmati saat-saat bersamamu adalah hal yang langka. Bukan begitu?” aku balik bertanya dan tak mampu berpaling ketika semburat merah menjalar di kedua pipinya.

“Terlalu lama bergaul denganku membuatmu ketularan jadi tukang gombal, “ balasnya. Aku tergelak. Gadis itu, dia selalu memiliki cara sendiri untuk membuatku tertawa, dan terkadang, ia kelewat sering memberi jawaban yang tak disangka untuk pertanyaan-pertanyaanku.

“Kupikir kau akan bilang bahwa terlalu lama bergaul denganmu membuatku ketularan jadi romantis,” aku tak mau kalah. Dan gadis itu kali ini tertawa, memamerkan deretan giginya yang putih.

“Bukankah kita sudah pernah membahas bahwa romantis dan gombal itu hanya beda tipis?” kali ini aku dan dia tertawa berbarengan, mengingat kembali pembicaraan kami beberapa waktu dahulu via inbox facebook.

Untuk beberapa waktu, tak ada pembicaraan di antara kami. Gadis itu memilih untuk menikmati Ginger Salsa di depannya, sementara aku kembali menikmati keindahan parasnya.

Kuputar kembali memoriku yang memunculkan potongan-potongan adegan ketika aku mengenal gadis itu. Gadis yang sering kupanggil Aya. Gadis yang kehadirannya serupa gerimis. Pelan namun pasti kehadirannya mampu meruntuhkan tembok tebal yang memagari hatiku. Tembok yang kubangun sebagai antisipasi rasa sakit hati yang kesekian kali. Aya, dengan caranya sendiri menemukan jalan untuk menempati tahta tertinggi di hatiku. Padahal perkenalan kami hanya sebatas maya, disebabkan kesukaan akan sebuah drama seri yang sama. Namun, bukankah cinta selalu disatukan dengan cara-cara yang unik dan tak terduga?

“Aya…,” panggilku. Ah, bukankah hubungan kami begitu unik, sehingga aku dan dia tak seperti pasangan lain yang memiliki panggilan sayang untuk pasangan masing-masing? Aku memanggilnya Aya, sama seperti teman-temannya memanggilnya. Begitu juga dia, memanggilku Nyoman, seperti orang-orang lain memanggilku. Pernah, di awal kebersamaan kami, aku dan dia menggunakan kata daku-dikau, hal yang kemudian kami tertawakan, sebab seolah-olah sedang berada dalam sebuah drama kolosal ketimbang percakapan sepasang anak manusia yang sedang pacaran.

“Hemmm?” Ia bergumam menjawab panggilanku.

“Kau tahu kalau aku bukan lelaki yang romantis. Lantas apa yang membuatmu memilihku?” tanyaku. Ada riak yang bermain di sepasang matanya mendengar pertanyaanku. Aku mengerti, ia heran dengan pertanyaanku. Aku pernah menanyakan hal yang sama ketika kami chat, tentunya agak mengherankan ketika aku kembali menanyakan pertanyaan serupa.

“Bukankah kita juga sudah pernah membahasnya? Bukankah seperti yang sudah seringkali kukatakan, aku memilihmu karena hatiku menuntunku untuk menerimamu. Orang-orang memang seringkali melabeliku sebagai perempuan yang romantis, tapi hal itu tak lantas membuatku harus mencari lelaki romantis juga sebagai pasanganku, kan? Kau berbeda, dan justru perbedaan di antara kita yang membuat hubungan kita kaya. Kau tahu aku tak pernah suka melihat acara tenis di televisi, tapi sejak bersamamu aku belajar untuk menyukainya. Awalnya memang sedikit terpaksa, sih. Hanya supaya aku tak terlihat dungu di depanmu, tetapi lama-lama aku menikmatinya, bahkan menyukainya. Kau pun begitu, kan? Seperti katamu, kau nol besar dalam masalah puisi, tapi kau juga berusaha untuk bisa memahaminya, kan? Bukankah itu yang akhirnya membuat hubungan kita menjadi indah? Kita belajar dari sekian banyak perbedaan di antara kita.” Jawabnya panjang lebar.

Senyumku merekah mendengar jawabannya. Jawaban yang masih sama seperti beberapa waktu lalu.

“Kemarilah,” aku menepuk pahaku. Gadis itu berdiri, mengibas remah-remah kerupuk yang mengotori rok selutut yang ia kenakan, lalu melangkah memutari meja kecil yang menjadi pembatas di antara kami. Ia lalu duduk di pangkuanku. Aku memeluk pinggangnya, sambil membenamkan wajahku di pundaknya, menikmati wangi shampo yang ia kenakan. Untuk beberapa saat, tak ada yang berbicara di antara kami. larut dalam pikiran masing-masing.

“Dengan begitu banyak beda di antara kita, apa kau yakin dengan hubungan ini ke depannya, Ay?” tanyaku, sambil tetap memeluk pinggangnya. Gadis itu menangkupkan kedua tangannya di atas tanganku.

“Itu adalah konsekuensi yang harus kita jalani, kan? Kita tak pernah tahu apa yang terjadi nanti, maka lebih baik kita jalani saja hari ini. Bukankah aku juga pernah bilang, sebelum pemilik asli hatimu datang, ijinkan aku untuk sementara menempati singgasana cinta yang kau hamparkan. Nanti jika yang punya sudah datang dan meng-klaim bahwa dialah yang tercipta dari tulang rusukmu, baru aku akan mundur,” seuntai tawa menutup jawabannya. Aku semakin mengeratkan pelukanku pada gadis itu.

Aya lalu memintaku melonggarkan pelukanku. Gadis itu berbalik, hingga posisinya kini duduk berhadapan denganku. Kedua tangannya ia kaitkan di leherku. Tatapan matanya lurus menatap sepasang bola mataku.

“Kau tahu, apapun yang akan terjadi di dalam kehidupan kita ke depannya, aku hanya ingin kau percaya bahwa apa yang kukatakan hari ini adalah yang paling benar. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu yang mencintaiku dengan cara yang berbeda. Aku mencintaimu dengan segala ketidakromantisanmu. Pokoknya, aku mencintaimu,” ujarnya, lalu secepat kilat gadis itu membalikkan badannya, kembali memunggungiku, meski masih tetap duduk di pangkuanku. Senyumku mengembang mendengar pernyataan gadis itu. Aku yakin, wajahnya telah bersemu merah saat ini. Hampir setahun menjalin hubungan, meskipun hubungan jarak jauh, namun tadi adalah pernyataan cintanya yang pertama untukku. Aku merasakan sebuah perasaan bahagia luar biasa demi mendengar pernyataannya.

Kemudian lagi-lagi hanya sunyi di antara kami. aku mengeratkan pelukanku pada gadisku itu sambil mengajaknya menikmati angin sawah yang bertiup semilir. Dalam bisikku, aku menunjukkan padanya keindahan panorama yang terbentang di depan kami: anak-anak yang berjalan bertelanjang kaki melewati aliran sungai kecil yang mengairi sawah, burung-burung yang terbang berkelompok di udara, kupu-kupu aneka warna yang bertebaran di atas hamparan sawah. Aku tertawa sambil menjawab pertanyaannya yang bertubi-tubi juga luapan bahagianya yang seumur hidup baru sekali melihat sawah. Haha, mungkin benar apa yang ia katakan, justru beda itulah yang membuat hubungan kami kaya.

I love you too, Aya




With love, Nyoman.









Lelaki dari Belahan Masa Lalu


NB: Gambar diambil dari Google


Aku dan Papih, kami seperti layaknya sepasang sahabat, bukan suami istri. Aku bisa seenak jidatku bercerita tentang apa saja padanya, begitu juga sebaliknya. Papih, tentu saja dari segi usia lebih dewasa dari pada aku yang kekanak-kanakan dan manja. Papih memiliki kesabaran yang luar biasa, kloplah dengan aku yang kalau sedang kumat manjanya justru sengaja cari-cari alasan untuk bertengkar. Hehehe. Rumah tangga kami, bisa dikatakan jauh dari kata rukun. Tentu saja, akukan selalu marah-marah tak jelas hanya untuk menarik perhatian Papih. Hahaha. Untunglah dia seorang lelaki penyabar, kalau tidak, mungkin sudah lama aku jadi janda *plaaakkk… 

Meski sudah menikah, kami masih seperti pasangan yang suka pacaran. Terkadang, aku mengacuhkan Papih seharian, dan Papih juga mendiamkanku. Mirip pasangan yang lagi marahan. Kadang, kalau manjaku kumat, aku akan mengajak Papih ke tempat favorit kami berdua: Bakso Kondang. Yah, hubungan kami berdua memang jauh dari campur tangan materi, errr, maksudku, kami berdua bukan sosok yang suka belanja, bukan sosok yang suka jalan-jalan tanpa juntrungan, jadi, waktu kami lebih banyak dihabiskan di rumah, terlebih setelah memiliki anak. Kata teman-temanku, kami pasangan serasi. Aha, andai mereka tahu, kami sangat jauh dari kata itu… 

Topik yang paling sering kami perbincangkan adalah sang mantan, wkwkwwk. Sekadar untuk ejek-ejekan, aku jelas kalah telak dibandingkan Papih soal pacaran. Diakan udah kenyang makan asam garam dunia percintaan, halah. 

Bicara soal sang mantan, aku ingin bercerita tentang sosok lelaki yang tak pernah menjadi pacarku, tapi aku tahu dia mencintaiku. Bukannya ge-er loh, tapi begitulah kenyataannya. Namanya Syapril. Marganya aku lupa, soalnya itu sudah lama sekali, ketika aku berada di penghujung kelas 1 SMP. Jadi ceritanya, di SMP, aku punya sahabat yang bernama Ria, kami duduk samping-sampingan. Nah, Ria ini memiliki tetangga yang punya dua anak, Syapril dan kakaknya, Nanda. Jujur saja, aku sudah lupa bagaimana tampangnya Syapril itu, tapi kenangan dengannya tetap kuingat dengan baik. Oh iya, Syapril ini berbeda keyakinan denganku, tapi bukan itu alasan kenapa aku tidak menerimanya jadi pacarku. 

Pada suatu hari, ketika 5 menit lagi bel akan berbunyi, Syapril datang menemuiku. Seenak dengkulnya, tuh anak minta pohon kaktus padaku. Pakai acara merengek pula. Aku kesal setengah mati, walaupun jarak rumahku dengan sekolah dekat, dan aku bisa pulang jalan kaki, tapi tetap saja, jam pertama ada ulangan harian Matematika. Mana sudi aku capek-capek bolak-balik demi dia yang bukan siapa-siapaku. 

Please, Aya. Kata Ria, kamu punya pohon kaktus,” rengeknya. Emang. Aku menanam pohon kaktus di depan rumah yang tingginya bahkan sudah melewati tinggi badanku. Dan di beberapa bagian pohon kaktus itu, aku mengukir namaku dan Eko, kakak kelas gebetanku. 

“Aku memang punya pohon kaktus, Syapril. Tapi kenapa harus sekarang kamu mintanya? 5 menit lagi aku masuk, dan ada ulangan Matematika pula. Lagian, kenapa kamu gak pesan aja sama Ria kemarin, jadi akukan bisa bawakan hari ini?” sungutku tak mau kalah. 

“Aku baru ingat kalau ada praktek Biologi di sekolahku pagi ini, Aya. Harusnya kamu menghargai aku yang sudah susah payah jalan kaki dari sekolahku ke sini. Mana pake acara digigit nyamuk pula, “ sanggahnya. Aku memutar mataku. Apa urusannya denganku kalau dia ada praktek Biologi atau tidak di sekolahnya? Salahnya sendiri dong yang lupa. Lagipula, aku tak minta dia jalan kaki dari sekolahnya ke sekolahku, kok. Kan ada angkot. Kenapa jadi berbalik posisinya seakan akulah pihak yang membutuhkan di sini?

“Kamu ini, udah minta, maksa pula. Ya sudah, tunggu di sini, jangan ngerayap kemana-mana. Aku ambilkan,” ujarku sambil bersungut-sungut. Sungguh mati, aku tak ikhlas. Dasar Syapril nyebelin. Terkadang aku ingin teriak saat sifat tidak tegaanku dengan semena-mena dimanfaatkan orang lain.

Akhirnya, aku mengalah dan memutuskan untuk pulang ke rumahku, mengambil kaktus yang dimintanya. Tak sampai tiga menit kemudian, aku sudah kembali ke sekolah sambil menenteng sekresek penuh kaktus. Dan dengan hati masih gondok, kuserahkan kaktus itu padanya, lalu melangkah masuk kelas tanpa basa-basi lagi padanya. Ulangan Matematika jauh lebih penting daripada mendengar apapun yang ingin ia katakan.

Setelah kejadian itu, aku tak lagi bertemu Syapril. Tapi ketika aku sedang Persami di sekolah, dia dan kakaknya, Kak Nanda, datang untuk menyaksikan atraksi kelompok kami. Demi apa pula, ketika itu aku kedapatan peran sebagai kuntilanak dalam drama di kelompok kami? Malunya. Aku sangat berharap dia tak melihat wajahku yang ketika itu begitu cantik dengan polesan arang di mana-mana, hasil kreatifitas teman-teman sekelompokku tentunya. Huhuhu. Tapi syukur beribu syukur, cuaca tak bersahabat. Selepas atraksi, angin kencang bertiup, dan, sukses merubuhkan tenda kami. Alhasil, kami pun tunggang-langgang menyelamatkan diri ke kelas, dan Syapril dan kakaknya pun terlupakan. Lagian, saat itu di kelas, ada Kak Eko yang lebih menarik perhatianku, hahaha… 

Aku akhirnya tak lagi melihat Syapril setelah itu. Ria pun berhenti mengirimkan salam-salamnya untukku. Mungkin capek. Tapi, ketika aku kelas 2 SMA, suatu hari Ria marah-marah ketika datang ke rumahku. 

“Kamu ini keterlaluan, Aya. Syapril capek-capek datang dari Medan hanya untuk menemuimu, tapi kamu malah sama sekali tak melihatnya!” kecam Ria. 

“Kamu ngomong apa sih, Ria? Syapril? Ada hubungan apa aku dengannya?” tanyaku bingung. Jelas saja, aku merasa tak salah apa-apa. 

“Kamu tahu gak, Syapril itu awalnya mau mendaftar di sekolah yang sama denganmu, tapi akrena NEM-nya tak cukup, dia masuk ke Harmoni. Cuma, di sana dia malah jadi doyan berantem, makanya Papanya memindahkannya ke Medan. Tapi dia kabur, dan belum nyampe ke rumahnya, dia langsung ke SMA-mu, pengen ketemu kamu. Dia ngelihat kamu di lapangan basket, dan pulang dengan kecewa karena kamu sama sekali tak menoleh ke arahnya. Jahat banget sih!” lagi-lagi Ria mengecamku. Aku sampai terkesiap? Sampai sebegitukah dia menyukaiku? Ta-tapi, aku memang tak melihat siapa pun ketika latihan basket. 

“Ria, aku benar-benar tak melihatnya. Kamu tahukan, mataku minus. Aku tak bisa melihat kalau jaraknya sejauh itu. Kalau dia memang niat menemuiku, harusnya dia menghampiriku, kan? Kenapa dia sama sekali tak menegurku?” aku coba membela diri. 

Setelah itu, aku betul-betul kehilangan kontak dengan Syapril, lelaki itu. Entahlah, mungkin ia sudah menikah dan memiliki anak lebih dari 1. Hahaha, teringat padanya, malah membuatku senyum-senyum sendiri. Bangga juga sih, ada lelaki yang menyukaiku sampai segitunya *diketok Papih… 



Aku, Dayana, Amelia, Riana dan Rei pada Suatu Sore

NB: Gambar diambil dari Google



Aku sedang asyik mencoret-coret kertas di atas meja kerjaku sembari membiarkan Adele menyemburkan api ke dua belah gendang telingaku ketika ke-empat makhluk yang kulabeli embel-embel sebagai rekan sejawat itu mengerubungiku dengan semangat empat puluh lima. Dayana, Amelia, Riana dan Rei. Tanpa dikomando, ke-empat makhluk manis itu duduk di tempat duduk mereka masing-masing yang entah disengaja atau tidak, didekorasi dengan bentuk mengelilingi mejaku. Spontan, kuhentikan keasyikanku menyusun plot untuk naskah cerita yang akan kuperlombakan, lalu bergantian merayapi wajah-wajah mereka yang balas menatapku dengan ekspresi beragam.

“Ada apa?” tanyaku, datar. Kukecilkan volume Adele yang masih melantun indah.

“Ah, Ay, muka udah datar, tak perlulah ikut-ikut kau tambahin dengan nadamu yang makin menambah kadar kedataran wajahmu itu,” sahut Rei yang sukses membuatku melempar kepalanya dengan pelobang kertas. Namun, dengan gerakan refleks, ia berhasil menghindari lemparanku hingga akhirnya pembolong kertas itu sukses mendarat pada tembok mulus bercat biru yang berdiri angker di belakangnya. – Oh, tidak. Lupakan, tidak ada kejadian seperti itu. Pelobang kertas celaka itu sedang tak bersahabat denganku ketika aku membutuhkannya karena terakhir kulihat ia malah nangkring dengan indahnya di sudut meja Riana.

“Jika kau masih ingin merasakan bagaimana bibir jontormu itu diperawani, sebaiknya kau menjaganya baik-baik, Rei. Kau tahu, urat marahku saat ini sudah sedemikian pendek,” balasku murka. Dayana, Amelia dan Riana terbahak berbarengan. Namun tawa mereka menghilang ketika aku menatap mereka dengan pandangan tajam.

“Tuh, kan, Rei. Apa kubilang? Lagian, mulutmu itu apa tak pernah makan bangku sekolahan?” cerca Riana, sok membelaku.

“Halah. Kau kira aku kambing? Kambing aja tak doyan makan bangku, apalagi aku yang kembarannya Leonardo di Caprio ini,” jawab Rei yang membuatku ingin menokok kepalanya.

“Leo katamu? Jiah, punya wajah dengan gigi gak pernah kompak ama bibir aja kau banggain. Nih, ngaca dulu,” Amelia ikut nimbrung dengan menyerahkan potongan keramik yang entah didapatnya dari mana pada Rei. Dengan bersungut, Rei menampik potongan keramik yang diayun-ayunkan Amelia tepat di depan batang hidungnya.

“Haha, kau benar-benar korban iklan, Mel. Aku mengerti maksudmu. Kau ingin meniru iklan yang mengatakan bahwa Rei bisa ngaca di lantai, kan?” sambung Dayana, ditingkahi derai tawanya. Rei semakin manyun.

“Ehem!”

Aku pura-pura terbatuk untuk mendapatkan perhatian ke-sepuluh pasang mata di sekelilingku itu. Hei, biar kata aku paling benci dengan mata pelajaran yang berhubungan dengan angka-angka, aku sedang tidak salah meramu kata ketika aku menulis ke-sepuluh pasang mata. Tahu sebabnya? Itu karena Dayana berkacamata, sehingga otomatis matanya dihitung ada empat. Plaaakkk. Entah bagaimana, pipiku sudah memanas karena sapaan jemari lembut Dayana.

“Hemmm, bisakah kalian hentikan pembicaraan kalian yang tidak ada pentingnya sama sekali itu dan membantuku dengan hal-hal yang jauh lebih penting?” tanyaku dengan wajah tanpa dosa. Namun tak dinyana, ke-empat rekan sekantor dan seruangan itu kompak terdiam.

“Misalnya?” tanya Amelia dengan kerut di dahi yang menyerupai jemuran.

“Misalnya, kalian cerita padaku mengenai kisah patah hati kalian yang paling mengharu biru. Aku mau ikutan lomba menulis dongeng patah hati, tauk? Kalau aku menang, hadiahnya kan bisa kita pake buat karaokean  dan makan-makan bareng,” jawabku, makin tanpa dosa.

“Hah? Patah hati? Duh, sorry banget, Ay, aku ini playgirl, otomatis yang ada cowok-cowok yang kubuat patah hatinya, bukan sebaliknya,” sahut Amelia yang langsung memundurkan kursi putarnya dan kembali menatap layar komputernya. Tapi sebelum itu ia sempat-sempatnya berbagi toss denganku.

“Aku kurang lebihnya sama dengan Amel, Ay. Lagian, kau tahu sendiri pacarku tak banyak, udah gitu dapatnya bangsat pula,” Duh, tumben Dayana menggunakan kata terlarang itu.

“Kau, Riana?” tanyaku.

“Patah hati? Bilang gak yaaa? Udah lupa tuh, Ay,” sahut Riana yang kali ini dibalas dengan sambitan clurit oleh Amelia.

“Sebelum kau tanya, aku akan bilang kalau aku belum berpengalaman sama sekali dalam hal patah-mematahkan hati, Ay. Pacaran aja belom pernah,” Rei buru-buru bicara sebelum aku sempat membuka mulut.

“Yeee, ge-er betul. Sapa juga yang mau nanya dirimu,” godaku, setelah berhasil meredam emosi yang mendadak naik mendengar ucapannya.

Aku akhirnya kembali dengan keasyikanku, mencoret-coret kertas setelah tak berhasil menemukan satupun cerita patah hati dari rekan-rekanku yang sungguh tak bisa diharapkan itu. Dengan sudut mata aku melirik Rei yang masih berdiri di samping mejaku. Eeh, kapan tuh anak berdirinya?

“Apa lagi?” tanyaku ketus.

“Anu, Ay…,”

“Anunya siapa? Aaaah, aku tidak ada urusan dengan anu siapa pun, Rei!”

“I-itu…. Izam…,” sambungnya, terbata. Kuhempaskan penaku dengan kesal, lalu berdiri, berhadapan dengan Rei yang jelas lebih tinggi dariku.

“Ada apa lagi dengan Izam? Udah, ah, aku capek. Bosan dengerin curhatanmu tentang dia. Kau tahu, mulutku atas bawah rasanya hampir berbusa, berbuih-buih memberimu saran dan nasehat. Tapi apa? Tak ada satu pun yang kau praktekkan. Jadi, jangan lagi kau berani-beraninya mengambil waktuku hanya supaya aku mendengarkan curhatan tak pentingmu itu!” semburku kalap. Rei melengak. Dayana, Amelia dan Riana menanggalkan headset masing-masing dari kepala dan memandangi kami berdua dengan wajah mengandung tanya. Paras Rei memerah. Demi Medusa, jangan sampai dia menangis di depanku.

“Harusnya kau dengar dulu ucapanku. Aku hanya ingin bilang kalau malam ini Izam mengajak kau, aku, Riana, Amel, dan Dayana makan di GePe,” jawab Rei. Hah? Apa katanya?

“K-kalian…?” Rei mengangguk. Sebuah senyum malu-malu memalukan tersungging dari bibirnya.

“Huaaa, selamaaattt, Reiii!” entah siapa yang memulai, tubuh jangkung Rei sudah menjadi karung tinju untuk kami berempat. Eh, maksudku, ia menjadi korban pelukan gratis dari kami berempat karena berita gembira yang dibawanya itu.

“Bilang kek dari tadi. Tau gitu, aku kan gak perlu marah-marah,” ujarku sambil mengacak-acak rambut Rei. Sosok pria agak lumayan tampan kalau dilihat dari Monas pakai pipa itu hanya tersenyum. Kiranya senyumannya manis, padahal sih rasanya gado-gado.

“Huh, Ay, kau kan memang paling mudah dibungkam kalau sudah ngomong soal makanan,” sindirnya, yang kali ini tak mampu lagi mengelak ketika jari lentikku menjewer kupingnya.

“Sepertinya aku harus menatar bibirmu, Rei. Dan kali ini, kau tak akan selamat dari Bu Guru Aya, hohoho,” aku tertawa nista, dengan backsound kekehan Dayana, Amel dan Riana. Sementara Rei meringis-ringis memegangi ujung telinganya yang memerah. Hahaha.


Aku, Lian dan Dayana

NB: Gambar diambil dari Google
Aku baru saja selesai mengeringkan rambut dengan handuk hijau kecil kesayanganku ketika Dayana – salah satu sahabat karibku – meletakkan segelas teh di atas meja kecil di sudut tempat tidur. Kuanggukkan kepala sedikit sebagai ganti ucapan terima kasih, lalu menghenyakkan tubuh di sofa hijau lumut yang telah terlebih dahulu ia tempati.
“Kurasa kau terlalu keras pada Lian,“ Dayana memecah kesunyian yang tercipta di antara kami. Aku mengerutkan kening, memandangi wajahnya, menebak kemana arah pembicaraan kami. Sejurus kemudian, kualihkan pandang keluar jendela, menatap larik-larik hujan yang masih merajam sudut-sudut tanah yang kerontang. Oktober yang basah, desahku.
“Menurutmu begitu?“ aku balik bertanya pada Dayana. Aku ingat kejadian tadi pagi ketika aku dengan keras mengatakan bahwa aku benci perempuan yang lemah pada Lian, sahabatku selain Dayana. Mungkin benar aku bersikap terlalu keras padanya seperti yang Dayana katakan, tapi Lian benar-benar membuatku kesal. Tak cukupkah waktu seminggu untuknya guna menanggulangi kejadian bodoh yang disebutnya patah hati?
“Jangan menyamakan Lian seperti dirimu, Aya. Kau mungkin dengan gampang mengubur perasaan sakit hatimu setelah perpisahanmu dengan Damar. Tapi Lian? Kau tahu sendiri gadis seperti apa dirinya,“ aku tergelak mendengar pembelaan Dayana pada Lian. Justru karena aku pernah mengalaminya maka aku membenci sikap Lian yang seolah terlalu bergantung pada makhluk bernama Ryan itu, sungutku.
“Apa menurutmu aku akan dengan mudah mengeluarkan kata-kata yang kuucapkan tadi pagi kalau tidak berdasarkan pada apa yang telah kualami, Dayana? Kau memakai kata “mungkin” dalam melihat caraku menyikapi kasusku. Itu berarti kau sendiri tidak tahu benar apa yang kualami. Kata siapa perpisahanku dengan Damar tak membuatku menderita? Aku terluka, Dayana. Aku sangat-sangat terluka, dan berbagai pertanyaan yang dimulai dengan kata mengapa, kenapa, sebab apa dan sebangsanya itu menggerogoti benakku selama seminggu. Ya, seminggu. Aku cuma butuh seminggu untuk mencari jawaban, bahwa sesungguhnya perpisahanku dengan Damar tak berdampak apa-apa bagi hidupku, malah menguntungkan. Aku tak perlu repot membeli pulsa setiap akan menghubunginya, aku tak perlu menyediakan waktu untuk menemaninya melihat pameran photografi yang disukainya, dan banyak hal-hal lain yang tak perlu kulakukan. Hal-hal yang sesungguhnya bisa kuisi dengan kegiatan lain yang lebih berguna. Jika aku bisa, kenapa tidak dengan Lian? Apa yang membuatnya berbeda denganku? Bahwa pada dasarnya ia perempuan rapuh? Kau lupa, di antara kita bertiga akulah yang kalian sebut makhluk paling rapuh. Bukan begitu, Dayana?“ kuambil nafas panjang, berusaha mengisi kerongkonganku yang terasa sesak. Dayana menyodorkan gelas teh yang mulai dingin kepadaku.
“Setidaknya menurutku, kau tak perlu membentaknya seperti itu di parkiran kampus. Kau masih bisa bicara baik-baik dengannya ketika kita berada di rumah,“ kuletakkan gelas teh yang tinggal berisi setengah. Kupandangi dalam-dalam wajah Dayana yang selalu tenang umpama permukaan samudera yang lengang. Di antara kami bertiga, Dayana memang yang paling mampu menetralisir sikapku dan Lian yang bertolak belakang. Aku yang blak-blakan dan pemarah, serta Lian yang kadang bersikap bak puteri Solo itu.
“Kukira untuk bagian itu kau benar. Aku hanya terlalu muak mendengar kata patah hati, dan ia menyebut kata itu selama seminggu belakangan ini. Aku masih memakluminya jika dua hari pertama ia mengatakan itu berulang-ulang. Hey, jangan salahkan sikapku. Aku begini juga karena pengalaman. Aku sudah menasehatinya untuk melakukan ini itu untuk melupakan sakitnya perpisahan dengan Ryan, tapi Lian tetap tak mau mendengarkanku. Jadi, jangan salahkan aku jika pada akhirnya aku harus bersikap “agak” keras padanya,“ sahutku, membela diri. Dayana akhirnya tertawa. Ditutupnya tirai jendela ketika hujan yang turun semakin deras, dan hawa dingin mulai memenuhi kamarku.
“Wajar kalau Lian bersikap begitu. Ryan itu pacar pertamanya. Kau harus tetap minta maaf padanya ketika ia pulang nanti, Aya.”
“Oke, oke. Apa sih yang tidak akan kulakukan untukmu, heh?“ candaku. Dayana menimpukku dengan bantal. Aku balas menimpuknya hingga akhirnya kami larut dengan perang-perangan bantal berdua.
“Bagaimana keadaan Damar sekarang?“ tanya Dayana ketika kami mengakhiri permainan kekanak-kanakan itu.
“Entahlah. Aku tak ingin tahu, dan tak mau tahu. Awalnya kupikir aku masih bisa bersahabat dengannya, tapi dia tak menyambut baik niatku. Ya sudah, aku tak peduli. Kata teman-temannya dia mau menikah tahun depan, hohoho, siapakah wanita malang yang akhirnya termakan rayuan gombal lelaki kembaran buaya darat itu selain aku dan tiga mantannya yang lain itu?“ aku bertanya dengan raut wajah seolah sedang bermain teater. Dayana kembali tergelak. Sejurus kemudian ia berdiri, dan melangkah keluar dari kamarku.
“Biar bagaimanapun, kau pernah mencintainya, Aya. Hahahaha, aku jadi ingin kembali merasakan indahnya jatuh cinta,“ Dayana perlahan menutup pintu kamarku. Aku tersenyum sendiri mendengar ucapan terakhirnya. Dasar Dayana.

Aku dan Gadis Pembenci Hujan

NB: Gambar diambil dari Google



“Aku benci hujan, Aya!“ bukan sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan – tepatnya sebuah pernyataan yang tidak kuharap akan kudengar, apalagi ditengah keasyikanku menikmati hujan yang tumpah ruah dari langit di siang ini. Kualihkan posisiku yang sedari tadi berdiri mematung memandangi tetes demi tetes air dari tirai awan yang bergelayut gemulai di helaian dedaunan, dari balik teralis besi yang memagari jendela kamar tidurku. Kutatap sepasang bola mata gadis itu – gadis yang mengatakan bahwa ia membenci hujan – yang sesungguhnya belum lepas seminggu kukenal. Pandanganku tepat menghunjam sepasang bola mata indahnya yang berwarna cokelat tua dibingkai bulu-bulu lentik, yang kerap berbinar jenaka. Kuhadiahkan senyuman terbaikku untuknya, yang hanya dibalas dengan ekspresi stoic, pertanda ada sesuatu yang membebani pikirannya.

“Kau benci hujan karena kau menyadari bahwasanya ia tak hanya singgah dan menyapa taman melatimu, atau kau benci hujan karena kau tak akan pernah mampu untuk menahannya agar ia tak menyapa taman-taman lain?“ aku menanti jawaban gadis itu dalam posisiku yang bersidekap. Tempias hujan serasa menelusup ke setiap persendianku. Aku tahu persis ke arah mana gadis itu menuntunku dalam pembicaraan kami. Riak kecil bermain di mata indahnya.
“Entahlah. Mungkin karena aku sendiri telah terlalu lelah untuk memahami hujan. Aku merasa letih untuk mengerti dirinya sebaik yang engkau lakukan,“ jawaban pasrah serta memelas, batinku. Jawaban yang tidak kusangka akan kudengar dari bibirnya yang biasanya lancar melafalkan berbagai jenis obat-obatan beserta fungsinya bagi kesehatan.
Gadis itu – yang sejak semula duduk di kursi kayu di hadapanku – akhirnya beranjak, dan memilih untuk duduk manis di atas kasurku yang dilapisi seprai hijau pucuk teh, warna kesukaanku.
“Kau mengira aku mengerti hujan dengan baik? Kau salah kalau beranggapan demikian. Aku sama tidak mengertinya denganmu. Aku tak pernah mampu meraba ataupun membaca ke arah mana akhirnya hujan itu akan menetes. Kurasa meski sedikit kau telah mengetahui bahwa kisahku dan hujan tak berujung manis. Aku memberikan hujan itu pilihan, antara tinggal di istana rumputku, atau berpaling pada taman bunga lain yang menurutnya lebih pantas untuk ia singgahi. Dan ia memilih yang kedua – ia meninggalkanku – lalu berpaling padamu. Tapi tak lantas juga karena itu maka serta merta aku membenci hujan. Aku perempuan hujan, Ratih. Hujan semusim yang sekedar datang lalu pergi tak akan membuatku membenci hujan-hujan yang lain,” lagi-lagi aku tersenyum, seraya membalikkan badan, kembali memandangi panah-panah bening yang berlomba mencipta tanda pada genangan-genangan air yang terlebih dahulu menjelma telaga-telaga kecil. Kuhulurkan sepasang tanganku melewati besi-besi teralis, membiarkan titik-titik air dari langit itu membasahi tanganku dan menghadirkan sensasi dingin yang mengalir ke seluruh pembuluh darah.
“Kau memaafkannya begitu saja setelah hujan itu berpaling darimu, Aya? Sungguh, aku tak tahu apakah harus memujimu, atau menertawakan kebodohanmu!“ kecamnya. Aku tertawa pelan. Ia orang kesekian yang melontarkan pendapat seperti itu, juga orang kesekian yang kuacuhkan ketika pendapat senada terlontar.
“Dan aku sungguh tak membutuhkan tertawaan, apatah lagi pujianmu. Memangnya kau berharap agar selamanya aku membenci hujan, sama seperti yang kau lakukan? Untuk apa? Apa yang kau harap dari memupuk keeping-keping benci di hati? Asal kau tahu saja, dia bukan hujan pertama yang sekedar singgah dan pergi sambil menjanjikan pelangi padaku. Ia hanyalah hujan kesekian yang harus kuakui, singgah lebih lama dari yang lain lalu pergi. Bukankah pada akhirnya juga akan begitu? Semuanya hanya masalah waktu, kan?“ aku menghela nafas panjang, dengan sedikit kejutan. Ajaib, aku tak menemukan gurat luka barang sedikitpun ketika berbicara tentang hujan yang sama padanya.
“Tapi apa yang telah hujan lakukan itu benar-benar tak bisa dimaafkan, Aya!“ sungutnya. Aku tergelak.
“Kau lupa? Hujanmu pernah menjadi hujanku, bahkan pernah menjadi hujan bagi ke-empat sahabat baikku. Hujanmu adalah hujan yang sama, yang selalu menjanjikan semburat pelangi setelah kepergiannya. Hujan yang tak pernah mampu untuk kita perangkap di dalam kendi lalu menjadikannya azimat. Hujan yang pada akhirnya membuatku melahirkan anak-anak gerimis dari pelupuk mataku. Tapi berhakkah aku membenci hujanmu? Aku memaafkannya, berbesar hati menghapus jejak-jejaknya seperti ia dengan mudahnya menghapus aku dari hatinya.”
“Hujan itu tak pernah melupakanmu, Aya.”
“Oh ya? Sungguh kejutan luar biasa,“ sahutku, sarkastis. Mataku berputar, menunjukkan ekspresi keterkejutan yang sungguh merupakan sebuah kepura-puraan.
“Aku minta maaf!“
“Untuk apa?“
“Aku minta maaf karena sesungguhnya akulah yang merebut hujanmu, Aya. Aku minta maaf karena aku yang telah membujuk hujanmu agar meninggalkanmu dan berpaling padaku. Aku yang tidak pernah mendengarkanmu dan ceritera tentang hujan, aku yang membencimu dengan rasa cemburu tak beralasan. Aku yang bahkan terus-terusan menyakitimu dengan segala perlakuanku terhadap hujan. Aku benar-benar menyesalinya. Aku baru merasakan semuanya ketika hujanku pada akhirnya juga memutuskan untuk meninggalkanku,” gerimis menyemburat dari pelupuk mata gadis itu.
“Tak perlu meminta maaf padaku, Ratih. Seperti yang telah kukatakan, aku tak akan menyimpan dendam hanya karena hujan semusim yang datang lalu pergi. Kurasa kau juga perlu memaafkan hujanmu, terlebih lagi memaafkan dirimu sendiri karena kau merasa telah menyakitiku. Lihat ini!“ kutunjukkan tetes hujan yang bermain riang di telapak tangan kiriku. “Hujan kali ini tak menyakitiku, kan?“ gadis itu mengangguk.
Jangan pernah membenci hujan hanya karena kau tak mampu meraba ke arah mana ia akan singgah, kawan. Seperti layaknya laju airmata yang tak pernah merencanakan bila waktunya ia akan jatuh, begitu pun dengan hujan…