NB: Gambar diambil dari Google
Cklek!
Dengan tangan kiriku yang bebas, kututup kembali pintu kamar tidurku, lalu dengan pelan mengayunkan sepasang kakiku menuju meja kecil di sisi kanan ranjang. Dengan sedikit membungkukkan badan, kuletakkan sebuah tatakan keramik yang menyangga sebuah gelas berisi susu hangat yang kubawa dengan tangan kananku, di atas meja kecil berbentuk persegi yang memiliki permukaan mengkilap itu. Kembali kutegakkan tubuhku, lalu melirik sedikit pada sosok gadis berambut kecoklatan sebatas bahu yang menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang sambil meluruskan kedua kakinya itu. Sebuah bantal persegi yang di ke-empat sisinya memiliki benang berumbai terletak di pangkuannya, menyangga sebuah buku yang cover-nya hanya setengah yang mampu ditangkap oleh indera penglihatanku. Gadis itu – oh, ayolah, aku masih senang sekali menyebutnya sebagai gadis ini, gadis itu, meski aku bisa memastikan kalau ia sudah tidak gadis lagi – sama sekali tak terusik dengan kehadiranku. Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum simpul. Selalu begitu. Sekian tahun mengenalnya membuatku hapal di luar kepala mengenai kebiasaannya ketika ia sedang larut dengan barisan kata-kata itu. Gadis itu – gadisku – akan membentuk dunia kecilnya sendiri, lalu menyelubunginya dengan cahaya, dan tak akan ambil peduli dengan keadaan di sekelilingnya.
Puas meliriknya, kuarahkan kembali sepasang kakiku memutari ranjang, hingga berhenti pada jendela yang terbuka lebar di sisi kiri pembaringan. Dengan kedua tangan berpegangan pada kusen, kutengadahkan kepalaku, memandangi awan hitam yang berarak hampir memenuhi hamparan langit. Angin kencang yang berhembus menguarkan aroma basah. Sepertinya sebentar lagi langit akan kembali memuntahkan hujannya, setelah beberapa jam memilih jeda. Segera kurapatkan daun jendela, beserta tirainya yang berwarna hijau muda. Warna kesayangan gadis itu. Setelah itu aku kembali berjalan memutar, dan berdiri tepat di sisi ranjang.
“Jangan lupa untuk menghabiskan susunya, Sayang…,” aku membuka pembicaraan, yang membuat gadis itu menurunkan buku yang sedang dibacanya. Sebuah senyuman manis dihadiahkannya untukku. Cukup untuk membuat darahku seperti berbalik sejenak. Gadis itu lalu menutup bukunya, dan sedikit mencondongkan tubuhnya untuk meletakkan buku yang telah ia batasi halamannya itu ke atas meja kecil lain yang berada di sisi kiri ranjang. Ia lalu menyingkirkan bantal persegi yang sejak tadi berada di atas pangkuannya dan menepuk-nepuk bagian kosong di sisi kanan tubuhnya, memintaku untuk duduk di sampingnya.
Tak perlu dipinta dua kali, aku segera melepas sandalku, lalu mendudukkan diri di sampingnya. Gadis yang memiliki sepasang mata berwarna coklat gelap yang kerap membuatku terhanyut di dalam pesonanya itu langsung menyurukkan wajahnya di dadaku. Kedua lengannya yang kecil memeluk pinggangku dengan sangat manja. Aku terkekeh pelan. Beberapa waktu belakangan ini, gadis yang sejak setengah tahun lalu telah resmi menjadi istriku itu memang memiliki kebiasaan baru. Ia senang sekali menyembunyikan wajahnya di dalam pelukanku. Katanya, ia seakan bisa mendengarkan suara hatiku bila merapatkan telinganya pada dadaku yang cukup bidang. Entahlah.
Kukecup lembut kening gadis itu seraya menyesap aroma apel dari shampoo kesayangannya. Kuacak rambutnya, lalu balas memeluknya dengan tak kalah posesif. Membuatnya semakin meringkuk dalam pelukanku, tak ubah anak kucing yang mendamba kehangatan tubuh induknya.
“Aya sedang membaca buku apa tadi?” tanyaku lembut, sedikit penasaran. Aya – nama gadis yang telah resmi menjadi istriku itu – mengangkat wajahnya. Untuk beberapa detik selanjutnya ia hanya diam, tanpa menjawab pertanyaanku. Ia justru melepaskan pelukannya di pinggangku, lalu mengangkat sebelah tangannya. Menyusuri setiap inci ruas wajahku. Jari telunjuknya yang halus membentuk pola melingkar di rahangku. Kubiarkan ia melakukan apa pun yang ingin dilakukannya, hingga akhirnya ketika ujung jari telunjuknya berhenti tepat di atas bibirku, dengan gemas kubuka bibirku, dan memberikan gigitan kecil di ujung jarinya. Membuat ia secepat kilat menarik kembali jarinya yang menyisakan semburat merah di kedua belah pipinya.
“Dylan nakal!” rajuknya manja. Gadisku kembali menyembunyikan wajahnya di dadaku. Aku tertawa pelan. Tak pernah bosan dengan semua sisi yang ia tunjukkan padaku.
“Aya belum menjawab pertanyaan Dylan, loh. Tadi Aya membaca buku apa?” aku mengulang pertanyaanku. Sejak menikah, aku dan Aya memang membuat kesepakatan tak tertulis mengenai penyebutan nama diri di dalam percakapan. Tidak lagi menggunakan kata daku-dikau, seperti yang kami lakukan semasa masih pacaran.
“Itu adalah buku catatan harian Aya sejak SMP. Seminggu lalu Aya meminta Mama untuk mengirimkannya ke sini. Baru dua hari yang lalu sampai. Tiba-tiba Aya ingin membaca kembali apa yang pernah Aya tulis dimasa lalu. Dylan tahu gak, Aya selalu memiliki kebiasaan-kebiasaan menuliskan hal-hal yang ingin Aya lakukan, atau hal-hal yang Aya harap terjadi di dalam kehidupan Aya. Sampai Aya tamat SMA, sudah begitu banyak buku catatan harian yang Aya habiskan. Jika catatan-catatan itu dijadikan naskah film, sepertinya Aya akan membuat sebuah film dengan durasi yang sangat panjang,” jelasnya. Dan cara menjelaskannya terlihat sangat menggemaskan di mataku, karena tak hanya bola matanya yang berputar jenaka, tangannya juga turut serta bergerak.
“Dan Dylan yakin, pertemuan dengan Dylan tak pernah ada di dalam daftar Aya yang panjang itu, kan?” jawabku. Gadisku itu mengangguk, membenarkan ucapanku.
“Memang tidak. Saat Aya kuliah, dimana Aya merasa kalau dari sana adalah titik awal perjalanan Aya untuk menjadi dewasa, Aya pernah memiliki keinginan untuk menikah dengan seseorang yang juga memiliki kecintaan pada seni daerah sama seperti Aya. Aya pernah berharap kalau calon suami Aya itu adalah seseorang yang juga memiliki visi dan misi yang sama untuk terus melestarikan kesenian tradisional daerah yang semakin hari semakin tergerus oleh roda kehidupan. Aya bahkan sempat menulis bagaimana prosesi pernikahan impian Aya. Juga mimpi Aya membina rumah tangga bak lakon dalam drama bangsawan yang sering Aya saksikan. Kebiasaan-kebiasaan seperti berbalas pantun saat bercengkerama, atau melagukan syair sebagai pengantar tidur. Yaaah…, semacam itulah…,” desahnya di ujung kalimat. Aku memutar bola mataku. Aya pernah menceritakan mengenai hal itu jauh-jauh hari, saat kami belum memiliki status sebagai kekasih.
“Saat itu Aya masih naïf,” lanjutnya, seolah bisa membaca pikiranku. Tak urung aku tergelak, dan mengangkat dagunya dengan ujung jari telunjukku. Kupandangi wajah cantiknya dengan tatapanku yang seolah berkata, bahkan-hingga-saat-ini-kau-masih-naif, Sayang.
“Dulu Aya juga membuat daftar kriteria-kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin Aya kencani. Haaah, di situlah letak salahnya. Seharusnya Aya membuat daftar mengenai kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin Aya nikahi, kan?” aku kembali terbahak. Lalu menjawil hidungnya yang mancung dengan setitik tahi lalat di atasnya.
“Apa Aya menyesal menikah dengan Dylan?” tanyaku tanpa maksud apa-apa. Aku tahu seberapa besar cintanya padaku. Sebelum menjadi sepasang suami istri, kami melalui perjalanan panjang sebagai sahabat yang terbiasa terbuka membicarakan apa saja. Kebiasaan yang tetap berlanjut bahkan setelah kini kami membina rumah tangga.
“Memangnya Dylan pernah mendengar sekali saja Aya bilang kalau Aya menyesal menikah dengan Dylan?” gadisku balik bertanya. Aku menggelengkan kepalaku. “Malahan sebaliknya Aya merasa teramat beruntung bisa memenangkan hati Dylan,” sambungnya, membuat sebuah senyum lebar terpatri di wajahku.
“Tentu saja Aya menjadi pemenang tunggal, Sayang. Karena hanya Aya sendiri yang bertarung memperebutkan sekerat hati ini,” timpalku dengan sedikit mengutip kata-katanya yang pernah kubaca. Tawa kami berderai serempak.
“Rasanya masih seperti mimpi, ya? Saat menjadi sahabat Dylan, Aya tak pernah membayangkan bahwa pada suatu hari kita akan duduk berdampingan seperti ini dengan status sebagai suami istri,” ujarnya sambil menautkan jemari kami. Aku mengangguk, membenarkan, lalu menciumi jemarinya yang berada di antara jari-jariku. Bukan hanya ia yang merasa bahwa ini seolah mimpi yang kami alami berbarengan. Terkadang, saat membuka mata di pagi hari dan menemukan raut wajah damainya yang berada tepat di depan wajahku, aku masih saja tidak percaya dengan status baruku sebagai suaminya. Suami dari seorang Cahaya Vallenia Dayana. Sahabatku sendiri.
Aku dan Aya dipertemukan oleh sebuah situs pertemanan di dunia maya. Kecintaan kami pada sebuah drama produksi Amerika membuat kami menjadi dekat dan saling berkirim pesan yang isinya tak jauh dari isi drama yang justru telah selesai masa tayangnya setelah melewati lima musim. Ending yang menggantung membuat kami berdua, seperti juga halnya dengan hampir seluruh penggemar drama tersebut di berbagai belahan dunia, murka. Di sebuah fans page yang lagi-lagi mempertemukan aku dan Aya, kami kerap mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan mengenai ending yang lebih layak, versi seorang fans tentunya. Aya yang ternyata memiliki sense of humour yang sangat tinggi, sukses membuatku terbahak-bahak setiap kali membaca deretan kalimatnya.
Dari fans page itu juga aku dan Aya mengenal beberapa orang lain yang akhirnya menjadi teman dekat tak hanya sebatas maya, tapi juga di dunia nyata. Ada Donna, gadis yang bekerja di sebuah rumah sakit ternama di Ibukota yang ternyata sangat mengidolakan BSB dan Kim Jae Joong, penyanyi lelaki berwajah androgini asal Korea. Lalu ada Rin yang ternyata lahir pada tanggal yang sama denganku, yang seperti halnya Donna, juga menyukai penyanyi lelaki cantik asal Korea itu. Ada Luni – aku lebih suka memanggilnya begitu – yang lebih sering dipanggil Rukiah oleh yang lain. Luni dan Rin sama-sama memiliki profesi sebagai seorang tenaga pengajar di lembaga yang berbeda. Hiru, gadis manis yang ternyata masih mahasiswa yang entah mengapa juga lebih sering dipanggil Pukpuk. Lalu ada juga tetua genk yang kalau bicara asal nyeplos bernama Mbak Shanty yang memegang jabatan cukup penting di sebuah hotel yang dikelolanya, serta Mei, gadis cantik berpipi tembam yang sering kami sebut sebagai Ensklopedia Bernyawa.
Entah siapa yang mengusulkan ide gila dan mendeklarasikan berdirinya sebuah kelompok pertemanan yang diberi nama Genk OOT yang isinya didominasi kaum hawa itu. Kupikir tak jauh-jauh dari campur tangan Aya yang mendapat kehormatan untuk menjadi salah satu pengelola fans page tersebut. Aku yang selama ini dikenal sebagai pribadi yang cukup tertutup mulai membuka diri. Menjadi satu-satunya pria di dalam sebuah kumpulan yang isinya wanita membuatku merasa seperti Jaka Tarub di antara para bidadari nirwana.
Seperti yang telah kukatakan, persahabatan kami tak hanya sebatas maya. Acap kali kami mengadakan pertemuan bergilir kota, yang kebanyakannya masih berputar sekitar Jawa. Satu-satunya yang tak pernah bertatap muka justru Aya yang tinggal di pulau Sumatera. Hingga pada liburan akhir tahun tiga tahun yang lalu, setelah melewati proses yang cukup panjang, kami ber-tujuh bisa saling bertemu muka dan mengenal pribadi Aya sesungguhnya secara lebih dekat. Bali, tanah kelahiranku, sepakat kami jadikan sebagai destinasi pertemuan.
Hari itu, Aya datang mengenakan sebuah kaos lengan pendek bertuliskan I love Batam berwarna hijau yang dipadukan dengan celana ¾ dan sepatu kets. Sebuah tas punggung nangkring di belakangnya. Rambutnya yang dipotong pendek ala Demi Moore di film Ghost diberi sebuah jepitan kecil di bagian poni. Penampilannya berhasil menyamarkan usianya yang sebenarnya. Tingginya yang hanya 150 centi tak ayal membuatnya menjadi bulan-bulanan di antara kami. Oh, God! Aya menjadi sosok termungil di antara kami ber-tujuh!
Akan tetapi, tak ada beda antara kepribadian Aya yang kukenal di dunia maya dengan di dunia nyata. Aya adalah seorang penyemarak suasana yang sangat pandai membangun percakapan dan memuat kami semua terlibat di dalamnya. Berbeda dengan kebanyakan gadis yang terkadang menjaga image-nya, Aya justru tak ragu tampil beda. Ia dengan banyolan-banyolan khasnya, kelucuannya, juga kepolosannya membuat kami tak henti menyuarakan tawa.
Satu hal lain yang kami ketahui tentang Aya, adalah betapa ia seorang gadis yang masih terperangkap pada cinta masa lalunya. Adalah seorang Shin, lelaki multitalenta berdarah Batak yang merupakan cinta pertamanya. Aya tipikal gadis yang tak mudah jatuh cinta, dan ketika ia jatuh cinta, maka ia akan memberikan seluruh cintanya, perhatiannya, kasih sayangnya, pada lelaki yang ia cintai. Terkadang tanpa disadari, Aya sering menyebut nama Shin dalam pembicaraannya. Shin yang sangat berbakat dalam hal mencipta lagu sekaligus menyanyikannya, Shin yang merupakan partner-nya menulis, Shin yang ini, Shin yang itu. Shin yang memilih mengakhiri kisah cintanya dengan Aya karena juga masih dibelenggu cinta masa lalu dengan kekasih pertamanya. Ah, rumit. Akan tetapi, satu hal yang kusalutkan dari seorang Aya, adalah bagaimana ia masih bisa tertawa di atas kehilangan terberatnya.
Meskipun aku dan Aya sangat nyambung sebagai sahabat, namun menurut prediksi teman-teman yang lain, aku dan Aya tidak akan pernah cocok menjadi sepasang kekasih. Hal itulah yang akhirnya membuat kami merahasiakan hubungan kami sebagai sepasang kekasih setelah setahun setelah pertemuan itu kami memutuskan untuk berpacaran. Dan aku masih ingat dengan jelas raut-raut wajah kaget penuh rasa tidak percaya dari anggota Genk OOT yang lain ketika aku menyerahkan undangan pernikahan aku dan Aya.
Sebenarnya aku sangat memahami keterkejutan mereka. Kami tak terlihat berinteraksi selayaknya sepasang kekasih di dunia maya. Hubungan kami juga merupakan hubungan jarak jauh, dengan intensitas pertemuan tiga bulan sekali. Selain itu, terlalu banyak beda antara aku dan Aya. Tak hanya mengenai hal paling principal, yakni keyakinan kami yang berbeda. Aya merupakan penggemar fanatik film horror, sementara aku lebih menyukai film berbau action dan comedy. Aya penyuka musik tradisional daerahnya, sementara aku lebih menyukai lagu-lagu luar negeri. Aya menyukai makanan serba seafood, sementara aku menyukai daging. Aya yang serba teratur dalam banyak hal, sementara aku lebih serampangan. Pendek kata, aku sama sekali tidak termasuk sebagai lelaki dengan criteria idaman Aya, begitu pun sebaliknya. Memiliki kekasih, terlebih seorang istri yang cukup perfeksionis tidak pernah terbayangkan dalam pikiranku.
Ngomong-ngomong soal sifat perfeksionis Aya-ku, sifat yang juga ingin ia kurangi itu, di awal-awal pernikahan cukup sulit bagiku untuk beradaptasi dengannya. Pernah, di bulan pertama pernikahan, aku dan Aya tak bertegur sapa seharian hanya karena ia kesal padaku yang secara tak sengaja meletakkan celana dalamku di atas wastafel, bukannya di dalam keranjang pakaian kotor yang sudah disediakannya di sudut pintu kamar mandi. Aya memang paling tidak suka jika aku meletakkan sesuatu tak sesuai dengan tempatnya. Pernah juga sekali waktu aku menemani Aya menjemur pakaian yang telah selesai dicuci. Betapa ribetnya menurutku ketika ia bahkan sampai menyesuaikan warna pakaian yang akan dijemur dengan warna hanger. Lalu ketika dia menyusun pakaian yang sudah digantung itu dengan pola: celana-celana, baju-baju, pakaian dalam-pakaian dalam. Gadisku itu juga memiliki tujuh sikat gigi yang diletakkan di tempat khusus, dimana di bagian bawahnya bertuliskan nama hari untuk penggunaannya. Aku sampai berpikir mungkin ia juga meletakkan tujuh kotak kondom aneka rasa di dalam laci meja nakas sehingga bisa kugunakan bergantian dalam seminggu!
“Apa yang Dylan lamunkan? Biar Aya tebak, Dylan membayangkan masa-masa awal pertemuan kita?” terkanya dengan benar. Aku tersenyum sambil menyatukan keningku dan keningnya, membuat batang hidung kami bersentuhan.
“Iya. Hhh…, katakan pada Dylan, apa yang membuat Aya mau menikah dengan Dylan yang tak tampan ini?”
“Hi hi hi, ini untuk ke-sekian kalinya Dylan menanyakan pertanyaan serupa. Tapi Aya juga gak bosan ngasih jawaban yang sama. Dylan memang tidak tampan, tapi apakah Dylan tahu kalau cinta memiliki caranya sendiri untuk memanipulasi pandangan, sehingga ketika kita jatuh di dalamnya, tanah yang berlubang pun akan terlihat datar? Aya bersedia menikah dengan Dylan, karena memang Dylan pria terbaik yang dipilihkan Tuhan buat Aya. Sesederhana itu,” tegasnya. Aku tersenyum lebar dan menciumi pipinya bergantian. Mendekap tubuh mungilnya yang terasa begitu pas dalam pelukanku.
“Siapa tahu untuk kali ini jawaban Aya akan berbeda. Seperti misalnya, alasan Aya mau menikah dengan Dylan karena Aya tahu bahwa Dylan adalah seorang nahkoda handal yang mampu mengendalikan biduk cinta kita sehingga membuat Aya seolah sedang mengarungi keindahan nirwana?” godaku yang tak urung membuat wajahnya kembali memerah.
“Dylan mesum!” kecamnya sambil mencubit pinggangku dengan kesal. Aku mengaduh kesakitan, dan sedikit heran. Dari mana kata-kata itu kudapatkan?
“Anak-anak kita nanti, biarkan mereka menentukan sendiri akan jadi apa mereka kelak. Sebagai orang tua, kita hanya bisa mengarahkan. Dylan harap Aya tak akan kecewa bila anak-anak kita nanti tak ada yang mewarisi jiwa seni ibunya, sebagaimana Dylan berusaha berbesar hati jika mereka tidak berminat untuk terjun dalam bidang keuangan seperti ayahnya. Jadi apa pun mereka, mereka tetap anak-anak kita, Sayang,” kuelus perutnya yang mulai sedikit membuncit. Buah cinta kami yang berusia enam belas minggu ada di sana.
“Tentu saja. Dan Aya hanya bisa berharap agar anak-anak kita nanti tidak mesum seperti Dylan,” jawabnya, membuatku segera membalikkan tubuhnya ke tempat tidur, dan mulai menggelitiki pinggangnya. Ah, dia sungguh Aya-ku yang manis. Gadisku. Istriku. Selamanya Aya-ku.