NB: Gambar ini milik temanku, Sayyaf Azhar.
Adalah engkau,
setangkai pagi basah yang mencumbu risalah; silsilah rindu yang tumpah.
Rakitku akhirnya
bergerak menjauhi dermaga tua itu, meninggalkan remah-remah kenangan di
belakang punggungku yang tampak rapuh. Aku dan kau perlahan-lahan dipisahkan
oleh jarak yang semakin lama semakin jauh. Pelupuk mataku memanas oleh laju
airmata yang akhirnya tak kuasa untuk kutahan, agar tak jatuh dan membuat
pertahanku runtuh. Sesak mendekap hingga melahirkan isak yang beradu kecipak
dengan air laut, yang menyapa permukaan batang-batang buluh. Bibirku bergetar,
menggumamkan sepotong nama yang membuatku tergagap membilang perasaan, hikayat
rindu yang tak lagi utuh. Di relung pikir barisan aksara membentuk tanya
serupa: apa yang tersisa dari kebersamaan yang pernah kita tempuh?
Adalah aku, selembar senja memerah saga dengan
kenang purba; jazirah luka yang alpa kau tuba.
Rakitku terus melaju mengikuti
aliran air, meninggalkan bayang pepohonan bakau yang tumbuh subur di kiri dan
kanan dermaga, hingga yang tertangkap pandangan hanyalah titik di sudut mata.
Dalam kabut, aku menghitung telah seberapa batu perjalanan membuang kenangan
kuhela. Serupa mantera yang berulang dibaca, aku memohon pada hati agar luka
itu mereda, saat fragmen-fragmen kenang datang menyapa. Awalnya aku berpikir,
semakin jauh jarak antara aku dan kau akan membuatku semakin mudah memadamkan
perasaan dan bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa. Kenyataannya, aku tak
mampu menahan perih dan sesak yang acap bertamu menghantam dinding sukma. Aku
remuk redam dirantai angkara!
Adalah engkau, kembara
yang memulai segalanya dengan senoktah tinta, hingga rindu merajalela.
Rakitku masih terus melaju, di antara
kanak-kanak hujan yang menyulam renda di
ceruk mata, dan isak yang masih bertahan. Adalah remah-remah tegar yang
tersisa, yang membuatku mampu memasung keinginan untuk membalik pandang, dan
menatap punggungmu yang mungkin telah menghilang dari penglihatan. Sekerat
hatiku masih menaruh harap, agar kau berbalik lalu meneriakkan namaku, dan
memintaku untuk menghentikan ayunan dayungku, lalu merapat ke tepian. Tapi yang
kutemui hanya desir angin yang mempermainkan helaian rambut dan mengingatkan akan
sebuah kenyataan. Semua sudah usai, itulah realita yang tak mungkin kunafikan.
Sececap empedu bergelayut di ujung lidah, saat bibir berusaha merangkai
sebentuk senyuman. Bukankah pernah kupintal aksara di bilik jiwa, tentang
hikayat pertemuan yang akan selalu bersanding dengan perpisahan? Besok atau
lusa, apalah dayaku melawan, meniadakan garis takdir yang nyata terukir di
telapak tangan?
Adalah aku, yang menutup kisah dengan ranting akasia
sebagai perlambang; lara hati seorang perempuan.
Rakitku
tetap melaju, menerobos alunan ombak yang kadang bersahabat, namun tak jarang
begitu beringas mempermainkan hatiku yang timpang. Dari kejauhan, padang
ilalang menyenandungkan kidung pujian, bersahut sapa dengan temaram petang. Airmataku
masih berulang datang, silih berganti dengan potongan kenangan yang tak lelah
datang bertandang. Mengaburkan pandangan, meski telah kuajari ikhlas mengambil
alih kendali perasaan, serupa permukaan danau yang dipenuhi kiambang. Inilah
kehidupan, Sayang, dengan rupa-rupa cerita yang akan terus berulang. Terus
berulang.