Minggu, 30 November 2014

Mengais Maaf yang Tersisa

NB: Gambar diambil dari Google



     Kembali, riak-riak hujan mencumbu rekahan tanah akibat kemarau, menyulam senyum pada baris pepohonan di kiri kanan jalan sepanjang perjalanan menuju pulang. Sumringah dara remaja, memanggul kendi-kendi sajak berbingkai canda di selasar senja; menjaring makna di tingkap petang. Berkali kau membagi lirikan, berharap aku membuka jalan percakapan dan berbalas pandang. Namun sayang, untuk kali ini aku tak lagi mampu jadi pendahulu, mengajak engkau bertukar sapa bersahut kata, berbagi rerupa cerita tentang ilalang. Perih ini membuat berbilang waktu terlewatkan dalam episode diam yang nyata terpancang.

     Hening merajam, memaksa persada pikirku mengulang silsilah luka dalam rentang jarak. Di simpul ingatan, membayang remah noda yang menuai kecam tersalah pijak. Dengan dalih tak sengaja, lagi-lagi kau cipta luka serupa yang membuka kenang lama di setapak jejak. Sungguh, terkadang kukira kau benar-benar tak ingat bagaimana rasanya perih yang memilih hati sebagai muara untuk beranak-pinak.

     “Aku benci rintik hujan ini. Mengingatkanku pada luka yang berkali kucipta pada perempuan yang sama. Perempuan yang terlalu sempurna untuk kuhadiahkan nestapa sepanjang usia,” akhirnya kau membuka suara. Aku melirik sekilas tanpa selera. Lalu membuang pandang, tak ingin bertentang mata.

    “Aku selalu suka suasana hujan. Tameng terbaik untuk menyamarkan bebutir airmata. Pun pendengar setia yang tak akan menyela saat aku berteriak menyuarakan murka,” sahutku. Dan kau tergugu lagi tanpa suara. Mungkin kehilangan kata-kata.

     “Untuk airmatamu yang tumpah, permintaan maafku akankah mampu meredakan amarah?” tanyamu lagi setelah sekian lama merenung, memilih kata yang tepat untuk menguak bisu yang memasung.

     “Amarah sebab kau menyemai benih sengketa di sekeping hatiku yang kini tinggal remah sahaja? Amarah sebab kau selalunya membisu atas semua isyarat pedihku dan berlagak lupa akan ikatan tak kasat mata yang mengungkung kita, sebab tak ada sebentuk cincin pun melingkar di jari sebagai penanda? Amarah sebab aku merasa terbuang, meski sesungguhnya akulah sebelah rusukmu yang hilang? Amarah sebab kesekian kalinya kau dilanda penyakit lupa, bersikap biasa setiap kali kau merajah luka di perjalanan usia? Katakan, permintaan maafmu untuk amarah yang mana, Kanda?” aku menyeka airmata di penghujung tanya. Aduhai perih, kenapa tak lekas kau beralih?

     Lagi, kubuang pandang dan mematung. Memerhatikan gerbang senja tempat bernaung. Bougenvil jingga di sudut taman menebar rimbun di pagar yang terpasung. Selarik senyum simpul tersungging di bibir perempuan tua yang menyimpan dekik pipi di sebalik payung. Akan tetapi, tetap saja tak membuatku mampu meredakan amarah yang kembali menjelma diantara temaram yang melahap lembayung.

     “Aku minta maaf, Dinda. Untuk semua perihmu, kesakitanmu. Untuk semua airmatamu. Aku minta maaf,” kau beranjak dari dudukmu, bersimpuh memeluk kakiku yang menjelma arca, tak bergerak. Lara itu mengirim kepingan kenang ke sudut benak, memunculkan sebak. Berbilang purnama, kau mengebumikan sayap-sayap batin dalam kotak kematian sajak. Ingatan itu berlintasan, berbenturan dengan rak membeku dimana berlembar sejarah meruah tumpah seumpama embun di titian kelopak. Aku terperangkap, dalam bimbang tak berkesudahan untuk memberi sepenggal maaf sebagai penenang jiwa yang bergejolak.

     “Andai saja sehelai maaf mampu mengembalikan hati seperti semula, tanpa gurat luka…,” lirihku dalam berkata. Sebenarnya aku tak ingin menghukummu dalam sehampar sunyi yang membuat bayang purnama terlihat semakin nyata. Di sudut hati, masih bersisa setitik iba yang mengirim pesan ke ruang minda untuk melupakan noda yang kau rajah dengan sengaja. Mungkin itulah serpihan kecil cinta yang masih mampu memancarkan sinar di pelupuk mata, saat bagian yang lain kehilangan rasa. Entahlah, Kanda. Untuk sementara biarkan begini saja, beri jeda untuk kita agar bisa menerjemahkan makna dengan seksama. Beri waktu pada hati yang kau beri luka untuk berdamai dengan perasaan tanpa terpaksa, tanpa prasangka yang akan kembali membuat hilang percaya. Biarkan begini saja. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar