NB: Gambar diambil dari Google
Shin,
Apakah yang sedang engkau lakukan malam ini?
Masihkan engkau bergelut dengan rangkaian kata, meramu tembang-tembang
penyejuk sukma dalam dekap cuaca yang kian mendirikan bulu roma? Ataukah
cengkeraman dingin malah begitu leluasa mengantarkan engkau menuju
pesanggrahan mimpi? Entahlah, sebab aku mengira engkau masih terjaga
dan sedang memutar kalam mencipta bebaris sajak untuk para bidadari
surgawi. Sementara aku terperangkap dalam gelombang rindu yang mengepung
dari segala arah, di sini. Tepat ketika penghujung Juni menutup kisah
dan Juli membuka hari.
Nun di atas
sana, hamparan langit mulai mementaskan melodrama cinta Hang Tuah dan
Tun Teja dalam pesona sempurna purnama. Jikalau engkau belumlah mampu
memejam mata, sibaklah tirai jingga pada daun jendela dan lihatlah
padanya. Tidakkah engkau perhatikan armada semesta melambaikan tangan
meminta kita menjadi lakon utama dalam rangkaian cerita? Maka genggamlah
jemariku dan bawa aku menaiki tangga-tangga cahaya! Dengan bahtera
awan, engkau dan aku akan menyibak cadar malam, mengelilingi tasik yang
tenang di utara dengan bebintang sebagai lentera. Hanya berdua.
Ingatkah
engkau, ketika dahulu aku begitu terpesona pada gemulai jemarimu yang
memainkan nada-nada di atas piano tua, di suatu petang manakala hujan
mencipta telaga mungil di pelataran rumah, sementara tempias tak henti
menyapa pucuk-pucuk beranda? Alunan senandungmu memasungku pada pusaran
diam, membuatku tak ingin mengalihkan pandang pada kemilau berpijar di
sudut perapian yang hampir padam. Pun diluar, gigil kian merajam,
merasuk ke sumsum tulang terdalam. Tetap saja semua itu tak mampu
membuatku memalingkan wajah darimu, sang terkasih dengan balada-balada
syahdu mendayu.
Sungguh, tak kurasa
kantuk yang akan menenggelamkan kelopak mata pada malam penghujung ini.
Menikmati panorama waktu yang akan beringsut menjelma pagi adalah hal
yang paling kuinginkan saat ini, seraya mengenang beberapa pekan yang
telah kita lewati. Aku ingin sekali menjadi orang pertama yang melihat
kuncup-kucup mawar yang kita tanam seminggu yang lalu mekar dan
menggeliat dalam kecupan embun yang menelusup nadi-nadi. Bebaris mawar
putih dan merah yang tumbuh subur di taman mungil yang engkau bina
buatku itu tentu akan sangat menarik hati. Tak hanya buat kita, tapi
juga untuk sepasang kupu-kupu yang merindu madu. Apakah ada yang lebih
indah selain itu?
Aku tak tahu
apakah engkau menyimpan memori yang sama tentang awal jumpa kita.
Perjumpaan tak disengaja, ketika perahu kertasku kehilangan sebelah
dayungnya. Engkau yang menangkap tanganku ketika samudera sedemikian
buas melahap naskah-naskah bertuliskan beribu jejak cinta jelata pada
tiap lembarnya. Engkau yang menyediakan sehelai saputangan untuk menyeka
airmataku ketika sang nahkoda menaikkan layar dan berlalu
meninggalkanku, di petilasan kata yang mulai kehilangan makna. Dan
akhirnya engkau juga yang memayungiku dengan sehelai daun pisang muda
ketika hujan datang tanpa memberi sekerat pertanda. Semua begitu berarti
untukku.
Dan, ingatkah engkau
ketika kita berlarian sembari berpegangan tangan mengelilingi kebun teh,
menggoda para pemetik yang hanya bisa menggeleng kepala menyaksikan
tingkah kita yang serupa anak-anak? Bersamamu aku memiliki tak hanya
satu atau dua catatan indah, tapi berjuta yang akan kuabadikan dengan
pigura emas yang akan membuat kisah sendiri bagi kehidupan anak cucu
kita kelak. Denganmu aku tak perlu merasakan betapa tiap perputaran
menit adalah hitungan mundur seberapa lama aku bisa menemanimu sebelum
peri kecilmu kembali datang menjemput, menagih janji yang terselubung
dalam kotak. Mendampingimu membuatku tak perlu menghabiskan seperempat
malam dengan tangisan yang mampu menjelma sungai, menenun luka yang
senantiasa beranak pinak. Aku bahkan lupa bagaimana rasanya luka
tertusuk onak, sebab aku memilikimu.
Rasanya
aku tak memiliki cukup perbendaharaan kata untuk mengungkapkan tentang
dirimu, pun tak memiliki tinta yang cukup pabila harus melukismu,
sehingga kurasa lebih baik jika esok hari aku mengajakmu duduk di tepian
kolam kecil yang menawarkan kiambang yang sedang berbunga itu. Nanti
jika telah cukup kita mengisi rongga dada dengan udara, mari kita
kumpulkan ranting-ranting kering untuk api unggun yang akan
menghangatkan malam kesekian yang akan kita lewati bersama. Dari kemarin
aku telah menyusun tungku di tanah lapang di belakang rumah yang akan
kita pakai untuk membakar ikan hasil pancinganmu. Ah, aku tak sabar
menunggu esok!
Apakah engkaupun
tahu jika aku tak pernah ingin melihat ada mendung bergelayut di bola
mata indahmu? Sebagaimana engkau sanggup mengikis awan hitam dari relung
kalbuku, ku ingin berlaku serupa padamu. Aku selalu ingin hadirkan
senyuman bak lengkung pelangi di bibir tipismu. Dan jika engkau dapat
kuumpamakan sebuah lukisan, takkan kubiarkan sebutir debu menusuk sukma
kanvasmu, pun takkan kubiarkan ada tangan-tangan nakal yang akan
menambahkan warna lain di atasmu. Sungguh!
Kadang
aku bahkan tak mampu membendung badai cemburu yang menghantamku dari
segala sisi, menyesakkan ulu hati. Tapi tatapan teduhmu selalu dapat
meredam gemuruh di sanubari. Suaramu selalu bisa membuatku meredakan
amarah yang mendesak ke permukaan setiap kali. Hhh, sungguh hidupku
seperti berada di negeri mimpi. Engkau berhasil memenuhi janjimu untuk
membuatku selalu menjalani hidup dengan wajah penuh seri. Padahal jika
boleh jujur, aku merasa tak layak mendampingimu. Siapalah diriku,
sementara para dewi-dewi rela meninggalkan peraduan demi bersamamu?
Ah,
titik embun telah jatuh. Purnama meninggalkan singgasana, sementara
sandiwara langit pun telai usai. Jika kantukmu telah datang, merebahlah
di singgasanamu. Tidurlah beriring do’a-do’a yang senantiasa kuhadiahkan
untukmu. Esok ketika mentari menyapa roman wajahmu pertama kali,
dengarkanlah bisik kerinduanku yang kutitipkan pada denting-denting
kecapi untukmu. Dan ketahuilah, saat ini ataupun masa yang akan datang,
tak ada hal yang paling kuinginkan selain engkau. Ya, cukup engkau saja!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar