Minggu, 13 September 2015

Surat Kepada Shin: Cukup Engkau Saja

 NB: Gambar diambil dari Google
 
Shin,
 
Apakah yang sedang engkau lakukan malam ini? Masihkan engkau bergelut dengan rangkaian kata, meramu tembang-tembang penyejuk sukma dalam dekap cuaca yang kian mendirikan bulu roma? Ataukah cengkeraman dingin malah begitu leluasa mengantarkan engkau menuju pesanggrahan mimpi? Entahlah, sebab aku mengira engkau masih terjaga dan sedang memutar kalam mencipta bebaris sajak untuk para bidadari surgawi. Sementara aku terperangkap dalam gelombang rindu yang mengepung dari segala arah, di sini. Tepat ketika penghujung Juni menutup kisah dan Juli membuka hari.

Nun di atas sana, hamparan langit mulai mementaskan melodrama cinta Hang Tuah dan Tun Teja dalam pesona sempurna purnama. Jikalau engkau belumlah mampu memejam mata, sibaklah tirai jingga pada daun jendela dan lihatlah padanya. Tidakkah engkau perhatikan armada semesta melambaikan tangan meminta kita menjadi lakon utama dalam rangkaian cerita? Maka genggamlah jemariku dan bawa aku menaiki tangga-tangga cahaya! Dengan bahtera awan, engkau dan aku akan menyibak cadar malam, mengelilingi tasik yang tenang di utara dengan bebintang sebagai lentera. Hanya berdua.

Ingatkah engkau, ketika dahulu aku begitu terpesona pada gemulai jemarimu yang memainkan nada-nada di atas piano tua, di suatu petang manakala hujan mencipta telaga mungil di pelataran rumah, sementara tempias tak henti menyapa pucuk-pucuk beranda? Alunan senandungmu memasungku pada pusaran diam, membuatku tak ingin mengalihkan pandang pada kemilau berpijar di sudut perapian yang hampir padam. Pun diluar, gigil kian merajam, merasuk ke sumsum tulang terdalam. Tetap saja semua itu tak mampu membuatku memalingkan wajah darimu, sang terkasih dengan balada-balada syahdu mendayu.

Sungguh, tak kurasa kantuk yang akan menenggelamkan kelopak mata pada malam penghujung ini. Menikmati panorama waktu yang akan beringsut menjelma pagi adalah hal yang paling kuinginkan saat ini, seraya mengenang beberapa pekan yang telah kita lewati. Aku ingin sekali menjadi orang pertama yang melihat kuncup-kucup mawar yang kita tanam seminggu yang lalu mekar dan menggeliat dalam kecupan embun yang menelusup nadi-nadi. Bebaris mawar putih dan merah yang tumbuh subur di taman mungil yang engkau bina buatku itu tentu akan sangat menarik hati. Tak hanya buat kita, tapi juga untuk sepasang kupu-kupu yang merindu madu. Apakah ada yang lebih indah selain itu?

Aku tak tahu apakah engkau menyimpan memori yang sama tentang awal jumpa kita. Perjumpaan tak disengaja, ketika perahu kertasku kehilangan sebelah dayungnya. Engkau yang menangkap tanganku ketika samudera sedemikian buas melahap naskah-naskah bertuliskan beribu jejak cinta jelata pada tiap lembarnya. Engkau yang menyediakan sehelai saputangan untuk menyeka airmataku ketika sang nahkoda menaikkan layar dan berlalu meninggalkanku, di petilasan kata yang mulai kehilangan makna. Dan akhirnya engkau juga yang memayungiku dengan sehelai daun pisang muda ketika hujan datang tanpa memberi sekerat pertanda. Semua begitu berarti untukku.

Dan, ingatkah engkau ketika kita berlarian sembari berpegangan tangan mengelilingi kebun teh, menggoda para pemetik yang hanya bisa menggeleng kepala menyaksikan tingkah kita yang serupa anak-anak? Bersamamu aku memiliki tak hanya satu atau dua catatan indah, tapi berjuta yang akan kuabadikan dengan pigura emas yang akan membuat kisah sendiri bagi kehidupan anak cucu kita kelak. Denganmu aku tak perlu merasakan betapa tiap perputaran menit adalah hitungan mundur seberapa lama aku bisa menemanimu sebelum peri kecilmu kembali datang menjemput, menagih janji yang terselubung dalam kotak. Mendampingimu membuatku tak perlu menghabiskan seperempat malam dengan tangisan yang mampu menjelma sungai, menenun luka yang senantiasa beranak pinak. Aku bahkan lupa bagaimana rasanya luka tertusuk onak, sebab aku memilikimu.

Rasanya aku tak memiliki cukup perbendaharaan kata untuk mengungkapkan tentang dirimu, pun tak memiliki tinta yang cukup pabila harus melukismu, sehingga kurasa lebih baik jika esok hari aku mengajakmu duduk di tepian kolam kecil yang menawarkan kiambang yang sedang berbunga itu. Nanti jika telah cukup kita mengisi rongga dada dengan udara, mari kita kumpulkan ranting-ranting kering untuk api unggun yang akan menghangatkan malam kesekian yang akan kita lewati bersama. Dari kemarin aku telah menyusun tungku di tanah lapang di belakang rumah yang akan kita pakai untuk membakar ikan hasil pancinganmu. Ah, aku tak sabar menunggu esok!

Apakah engkaupun tahu jika aku tak pernah ingin melihat ada mendung bergelayut di bola mata indahmu? Sebagaimana engkau sanggup mengikis awan hitam dari relung kalbuku, ku ingin berlaku serupa padamu. Aku selalu ingin hadirkan senyuman bak lengkung pelangi di bibir tipismu. Dan jika engkau dapat kuumpamakan sebuah lukisan, takkan kubiarkan sebutir debu menusuk sukma kanvasmu, pun takkan kubiarkan ada tangan-tangan nakal yang akan menambahkan warna lain di atasmu. Sungguh!

Kadang aku bahkan tak mampu membendung badai cemburu yang menghantamku dari segala sisi, menyesakkan ulu hati. Tapi tatapan teduhmu selalu dapat meredam gemuruh di sanubari. Suaramu selalu bisa membuatku meredakan amarah yang mendesak ke permukaan setiap kali. Hhh, sungguh hidupku seperti berada di negeri mimpi. Engkau berhasil memenuhi janjimu untuk membuatku selalu menjalani hidup dengan wajah penuh seri. Padahal jika boleh jujur, aku merasa tak layak mendampingimu. Siapalah diriku, sementara para dewi-dewi rela meninggalkan peraduan demi bersamamu?

Ah, titik embun telah jatuh. Purnama meninggalkan singgasana, sementara sandiwara langit pun telai usai. Jika kantukmu telah datang, merebahlah di singgasanamu. Tidurlah beriring do’a-do’a yang senantiasa kuhadiahkan untukmu. Esok ketika mentari menyapa roman wajahmu pertama kali, dengarkanlah bisik kerinduanku yang kutitipkan pada denting-denting kecapi untukmu. Dan ketahuilah, saat ini ataupun masa yang akan datang, tak ada hal yang paling kuinginkan selain engkau. Ya, cukup engkau saja!
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar