Senin, 09 November 2015

Hikayat Luka Seorang Perempuan



NB: Gambar ini milik temanku, Sayyaf Azhar.



Adalah engkau, setangkai pagi basah yang mencumbu risalah; silsilah rindu yang tumpah.

Rakitku akhirnya bergerak menjauhi dermaga tua itu, meninggalkan remah-remah kenangan di belakang punggungku yang tampak rapuh. Aku dan kau perlahan-lahan dipisahkan oleh jarak yang semakin lama semakin jauh. Pelupuk mataku memanas oleh laju airmata yang akhirnya tak kuasa untuk kutahan, agar tak jatuh dan membuat pertahanku runtuh. Sesak mendekap hingga melahirkan isak yang beradu kecipak dengan air laut, yang menyapa permukaan batang-batang buluh. Bibirku bergetar, menggumamkan sepotong nama yang membuatku tergagap membilang perasaan, hikayat rindu yang tak lagi utuh. Di relung pikir barisan aksara membentuk tanya serupa: apa yang tersisa dari kebersamaan yang pernah kita tempuh?

 Adalah aku, selembar senja memerah saga dengan kenang purba; jazirah luka yang alpa kau tuba.

Rakitku terus melaju mengikuti aliran air, meninggalkan bayang pepohonan bakau yang tumbuh subur di kiri dan kanan dermaga, hingga yang tertangkap pandangan hanyalah titik di sudut mata. Dalam kabut, aku menghitung telah seberapa batu perjalanan membuang kenangan kuhela. Serupa mantera yang berulang dibaca, aku memohon pada hati agar luka itu mereda, saat fragmen-fragmen kenang datang menyapa. Awalnya aku berpikir, semakin jauh jarak antara aku dan kau akan membuatku semakin mudah memadamkan perasaan dan bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa. Kenyataannya, aku tak mampu menahan perih dan sesak yang acap bertamu menghantam dinding sukma. Aku remuk redam dirantai angkara!

Adalah engkau, kembara yang memulai segalanya dengan senoktah tinta, hingga rindu merajalela.

Rakitku masih terus melaju, di antara kanak-kanak hujan yang menyulam renda di  ceruk mata, dan isak yang masih bertahan. Adalah remah-remah tegar yang tersisa, yang membuatku mampu memasung keinginan untuk membalik pandang, dan menatap punggungmu yang mungkin telah menghilang dari penglihatan. Sekerat hatiku masih menaruh harap, agar kau berbalik lalu meneriakkan namaku, dan memintaku untuk menghentikan ayunan dayungku, lalu merapat ke tepian. Tapi yang kutemui hanya desir angin yang mempermainkan helaian rambut dan mengingatkan akan sebuah kenyataan. Semua sudah usai, itulah realita yang tak mungkin kunafikan. Sececap empedu bergelayut di ujung lidah, saat bibir berusaha merangkai sebentuk senyuman. Bukankah pernah kupintal aksara di bilik jiwa, tentang hikayat pertemuan yang akan selalu bersanding dengan perpisahan? Besok atau lusa, apalah dayaku melawan, meniadakan garis takdir yang nyata terukir di telapak tangan? 

Adalah aku, yang menutup kisah dengan ranting akasia sebagai perlambang; lara hati seorang perempuan.


Rakitku tetap melaju, menerobos alunan ombak yang kadang bersahabat, namun tak jarang begitu beringas mempermainkan hatiku yang timpang. Dari kejauhan, padang ilalang menyenandungkan kidung pujian, bersahut sapa dengan temaram petang. Airmataku masih berulang datang, silih berganti dengan potongan kenangan yang tak lelah datang bertandang. Mengaburkan pandangan, meski telah kuajari ikhlas mengambil alih kendali perasaan, serupa permukaan danau yang dipenuhi kiambang. Inilah kehidupan, Sayang, dengan rupa-rupa cerita yang akan terus berulang. Terus berulang.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar