Jumat, 11 September 2015

Surat Kepada Shin: Melodrama Empat Babak


 NB: Gambar diambil dari Google


(…telah empat purnama. Masihkah engkau percaya...?) 

Shin, 

Rakit mungil berlenterakan cahaya dengan mahligai jingga yang engkau bina untukku sejak empat lembar purnama dahulu, kini telah merapat pada pelantar kayu tua yang tak kehilangan pesona dalam dekapan mata, tepat ketika rembulan membentuk bayang sempurna di permukaan telaga. Pada temaram bersanding gulita, kembali engkau mengajakku mengeja jejak aksara yang berserakan di semenanjung mayapada, memungut satu demi satu kerlip bintang seraya duduk bersisian berbagi rerupa cerita, melantunkan senandung-senandung syukur ke segenap semesta. Engkau lihat sekelompok kunang-kunang yang menganggukkan kepala dari balik rerimbunan daun di sudut sana? Mereka seolah memberi salam takzim pada kita. Pun senyuman manis bak lengkung pelangi yang mereka hadiahkan untuk kita, sama nyata tersungging dari sepasang kura-kura yang asyik beradu pandang pada batang kayu mati di hadapan mata. Entah bercengkerama tentang apa.

Apakah engkau tahu sebab apa aku sanggup menahan gigil cuaca, menerima pagutan dingin di sumsum tulang selayak menerima usapan bulu angsa? Sebab aku ingin bersamamu, menikmati titik-titik embun yang merona di pucuk-pucuk cemara setelah sang fajar mengirimkan titah untuknya bertahta. Aku ingin menghabiskan setiap perputaran masa hanya denganmu saja. Di dadamu selalu ingin kurebahkan kepala, menikmati irama jantungmu yang senantiasa membahasakanku pada aliran sukma, sementara tanganmu kubiarkan menggenggam erat jemariku, lalu kita membisu tanpa sebarang kata. Mungkin kita tak lagi butuh kata, sebab mata kita telah mengukir selaksa pertanda. Atau mungkin kita terlanjur percaya, diam adalah bahasa yang indah, yang mampu menjabarkan segala rasa.

Kadang, masih saja tak kupercayai nyata yang terhampar di depan mata ketika mengarah pandang pada kisaran hari-hari yang berhambur . Empat purnama menyatukan jarak, membingkai asa dalam pigura kasih berhias noktah berlapis kaca yang kian mengabur. Bahkan, ketika hari ini kian nyata hadirmu, dengan bayang kaki yang dipermainkan buih-buih air asin, masih saja kurindu selarik sabit dari tepian bibirmu yang mengaduk rindu umpama serbuk-serbuk bunga yang bertabur. Aku tak ingin lagi menjinjing bejana yang menyimpan setiap tetes airmata dalam kesendirian, sebab aku memilikimu, yang selalu melagukan kidung-kidung penghalau resah, ataupun sekedar membacakanku sajak-sajak pengantar tidur.

Aku merasa teramat beruntung menemukanmu di antara kuncup-kuncup hari yang berlarian, di sela tangkai-tangkai ilalang yang berlomba menyuarakan tawa. Ah, tidakkah engkau perhatikan sepasang senjulung remaja yang sedari tadi timbul tenggelam di bawah anak tangga, seolah berusaha merekam warta tentang kita? Pada paras mereka kutemukan gurat kecewa, mungkin tak kuasa menyembunyikan duka, sebab kita telah sedemikian menyatu dalam jalinan bernama cinta. Pernahkah terlintas di sudut benakmu, suatu ketika tamadun akan mencatat melodrama kasih kita dengan tinta bersepuh emas, setelah perjalanan mengantarkan kita menuju pantai bahagia, meski harus berkalang nyawa melewati palung-palung derita? Kita tak akan pernah benar-benar tahu kemana akhirnya rakit kecil kita akan berhenti, kan? Sebab setelah embun terakhir menetes pagi nanti, kita akan kembali mendayung rakit ini, menelusuri samudera tanpa tepi, menyaksikan senja menghias buana dalam rasa yang akan berbeda pula…
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar