Shin,
Dengan ranting mahoni yang kupatahkan, masihkah
engkau melukis rembulan yang tinggal sepotong ketika musim tak lelah
membunuh sajak-sajak nestapa? Dengan akar kemuning yang kutanam di
beranda rumah, akankah engkau rajut bingkai kenangan untuk
fragmen-fragmen senja yang terkelupas melewati perputaran abad-abad
resah? Kukira aku tak membutuhkan anggukan kepala, sebab angin-angin
musim dingin telah membekukan jalur nuranimu, menutup luka di
semenanjung hati dengan timbunan kecewa yang tak temukan penawar.
Lihat
aku, yang dengan tangkai daun mengukir jejak di samudera hikayat pada
hamparan petang yang mengaburkan langit. Pada jemari gemetar yang pernah
hangat di dekapanmu, kukumpulkan dedaun gugur sebab pada setiap helainya
tertulis satu kenangan tentang engkau. Di sempadan kenang itu pula
kucabuti bebunga ilalang, menancapkannya pada astana luka-ku yang
bernisankan panah angkara dan perisai dusta. Dan pada akhirnya aku
terdiam letih pada altar-altar sepi yang menyeruakkan tawa menerabas
mega, melantunkan bait-bait do’a tanpa amin dengan birama yang masih
sama.
Tidakkah engkau mampu
mendengarkan musik-musik pada nadi embun yang dengan sempurna dimainkan
para biduan surga, sesaat setelah lonceng malam memejam mata? Tiap
lirik pada lagunya masih berkisah pada tanya serupa: tahukah engkau
makna rindu seorang wanita? Ah, kukira sekelopak senyum akan merekah di
bibirmu ketika engkau mendengar tanya itu. Senyum dengan makna tak hanya
satu. Dan aku tak tahu, mungkin juga tak akan pernah tahu makna di
sebalik senyum itu. Sehingga ketika ini aku tak pernah benar-benar tahu
tentangmu, sebab engkau bukan bulir padi yang dengan mudah dapat
diterka. Engkau lebih dari sekadar lukisan yang dilindungi kaca.
Mengapa
aku tak jua mampu mengubur deret namamu dalam lumpur tanpa tanda? Sebab
aku tak hanya memberi sekerat hati untukmu. Mencintaimu tak cukup
dengan hati yang tinggal separuh. Aku berjuang sendiri memungut serpihan
hatiku yang berserak di antara riak-riak samudera, tersangkut pada
karang terjal, melumut pada ganggang setelah badai menyapa buritan, dan
merekatkannya dengan kedua tangan untuk kuberi padamu. Semuanya. Dan
ketika akhirnya kembali ia retak, tak kutemukan cara yang tepat untuk
menambalnya seperti sedia kala. Namun apakah semuanya masih memiliki
makna di jantungmu yang terlanjur menyemai benih luka hingga akhirnya
bertunas kecewa?
Kadang aku pun
selalu disergap tanya, apa yang kuharap dengan lagi dan lagi menulis
tentang engkau? Sekadar berharap engkau tahu bahwa semuanya masih rapi
tersimpan dalam lemari ingatanku? Sekadar meyakinkan engkau bahwa dirimu
terlalu bermakna untukku? Tidak! Sebab aku tak hanya menyimpan kenang
tentangmu dalam ruang ingatan. Engkau merasuki setiap jalur pada
pembuluh nadiku, memberiku kekuatan untuk menggurat aksara. Menuntunku menata
kata yang kupungut dari kitab-kitab lama, dan semua kembali pada muara
satu nama: namamu.
Engkau terlalu banyak mengajariku mengartikan lambang yang tak mampu kueja…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar