Minggu, 13 September 2015

Surat Kepada Shin: Lelaki yang Mengajarkan Perlambang

NB: Gambar diambil dari Google

Shin,
Dengan ranting mahoni yang kupatahkan, masihkah engkau melukis rembulan yang tinggal sepotong ketika musim tak lelah membunuh sajak-sajak nestapa? Dengan akar kemuning yang kutanam di beranda rumah, akankah engkau rajut bingkai kenangan untuk fragmen-fragmen senja yang terkelupas melewati perputaran abad-abad resah? Kukira aku tak membutuhkan anggukan kepala, sebab angin-angin musim dingin telah membekukan jalur nuranimu, menutup luka di semenanjung hati dengan timbunan kecewa yang tak temukan penawar.

Lihat aku, yang dengan tangkai daun mengukir jejak di samudera hikayat pada hamparan petang yang mengaburkan langit. Pada jemari gemetar yang pernah hangat di dekapanmu, kukumpulkan dedaun gugur sebab pada setiap helainya tertulis satu kenangan tentang engkau. Di sempadan kenang itu pula kucabuti bebunga ilalang, menancapkannya pada astana luka-ku yang bernisankan panah angkara dan perisai dusta. Dan pada akhirnya aku terdiam letih pada altar-altar sepi yang menyeruakkan tawa menerabas mega, melantunkan bait-bait do’a tanpa amin dengan birama yang masih sama.

Tidakkah engkau mampu mendengarkan musik-musik pada nadi embun yang dengan sempurna dimainkan para biduan surga, sesaat setelah lonceng malam memejam mata? Tiap lirik pada lagunya masih berkisah pada tanya serupa: tahukah engkau makna rindu seorang wanita? Ah, kukira sekelopak senyum akan merekah di bibirmu ketika engkau mendengar tanya itu. Senyum dengan makna tak hanya satu. Dan aku tak tahu, mungkin juga tak akan pernah tahu makna di sebalik senyum itu. Sehingga ketika ini aku tak pernah benar-benar tahu tentangmu, sebab engkau bukan bulir padi yang dengan mudah dapat diterka. Engkau lebih dari sekadar lukisan yang dilindungi kaca.

Mengapa aku tak jua mampu mengubur deret namamu dalam lumpur tanpa tanda? Sebab aku tak hanya memberi sekerat hati untukmu. Mencintaimu tak cukup dengan hati yang tinggal separuh. Aku berjuang sendiri memungut serpihan hatiku yang berserak di antara riak-riak samudera, tersangkut pada karang terjal, melumut pada ganggang setelah badai menyapa buritan, dan merekatkannya dengan kedua tangan untuk kuberi padamu. Semuanya. Dan ketika akhirnya kembali ia retak, tak kutemukan cara yang tepat untuk menambalnya seperti sedia kala. Namun apakah semuanya masih memiliki makna di jantungmu yang terlanjur menyemai benih luka hingga akhirnya bertunas kecewa?

Kadang aku pun selalu disergap tanya, apa yang kuharap dengan lagi dan lagi menulis tentang engkau? Sekadar berharap engkau tahu bahwa semuanya masih rapi tersimpan dalam lemari ingatanku? Sekadar meyakinkan engkau bahwa dirimu terlalu bermakna untukku? Tidak! Sebab aku tak hanya menyimpan kenang tentangmu dalam ruang ingatan. Engkau merasuki setiap jalur pada pembuluh nadiku, memberiku kekuatan untuk menggurat aksara. Menuntunku menata kata yang kupungut dari kitab-kitab lama, dan semua kembali pada muara satu nama: namamu.

Engkau terlalu banyak mengajariku mengartikan lambang yang tak mampu kueja…
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar